Penyandang Autisme di AS Melonjak 50 Persen Sejak 2017

Sebuah studi baru mengungkapkan prevalensi ganguan spektrum autisme di antara anak-anak dan remaja di AS antara tahun 2017 dan 2020, melonjak hampir mencapai 52%.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 12 Jul 2022, 10:43 WIB
Ilustrasi anak autisme. Photo by Caleb Woods on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi baru mengungkapkan prevalensi ganguan spektrum autisme (ASD) di antara anak-anak dan remaja di AS antara tahun 2017 dan 2020, melonjak hampir mencapai 52%.

Artinya, kini satu dari setiap 30 anak akan didiagnosis dengan gangguan perkembangan yang gejalanya beragam berupa perilaku atau kognitif.

Dilansir dari NYPost, temuan tersebut dari peneliti kesehatan masyarakat di Guangdong Pharmaceutical University di China diterbitkan di JAMA Pediatrics, Senin. Penulis studi tidak membahas penyebab potensial kenaikan tajam, meskipun banyak ahli telah menghubungkan peningkatan kesadaran yang lebih besar dari kondisi di antara orang tua dan dokter.

Menggunakan data dari National Health Interview Survey tahunan, yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, para peneliti menunjukkan bahwa angka telah meningkat secara bertahap sejak tahun 2014, dengan penurunan kasus antara tahun 2016 dan 2017, kemudian terus meningkat lagi pada tahun 2020.

Pada tahun 2014, 2,24% anak-anak dan remaja didiagnosis ASD. Pada 2016, mencapai 2,76%, kemudian turun menjadi 2,29% pada 2017. Hingga 2020, statistik terbaru yang tersedia, angka itu adalah 3,49%.

Mereka juga mencatat perbedaan yang signifikan dalam prevalensi antara kelompok-kelompok tertentu. Pada tahun 2020, 4,64% anak laki-laki didiagnosis dengan ASD dibandingkan hanya 1,56% anak perempuan. Pendapatan keluarga juga tampaknya berperan karena mereka yang berstatus ekonomi rendah lebih sering didiagnosis ASD. Namun, penyebab perbedaan tersebut tidak termasuk dalam penelitian ini.

Seperti namanya, gangguan spektrum autisme dapat terlihat pada usia berapa pun dan dalam berbagai tingkat keparahan. ASD berdampak pada bagaimana orang-orang ini berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, dan untuk sebagian spektrum, situasi sosial yang khas bisa sangat sulit untuk dinavigasi. Di sisi lain, gejalanya mungkin tidak begitu nampak dari luar, tetapi lebih terasa secara internal.

 

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Komunikasi bisa menjadi sumber stres anak autisme

Penyandang ASD tidak bisa berkelakuan sama seperti yang sudah terprogram pada masyarakat pada umumnya.

Menurut CDC, anak-anak dengan ASD mungkin tidak melakukan kontak mata, dan mudah terlibat dalam percakapan atau emosi, sementara juga sering salah memahami isyarat emosional pada orang lain.

Seiring bertambahnya usia, mereka dapat membentuk perilaku dan minat yang membatasi, berulang atau obsesif. Karena hambatan tersebut, komunikasi dan sosialisasi dapat menjadi sumber kecemasan dan stres bagi penyandang ASD.

Belum ada tes tunggal yang dapat menentukan apakah seseorang berada dalam spektrum autisme, dan mengingat luasnya tanda dan gejala yang terkait dengan ASD, skrining dan diagnosis mungkin tidak mudah diperoleh, kata CDC.

Namun, mereka merekomendasikan agar orang tua dan wali anak-anak kecil segera memeriksakan anak jika memiliki gejala sejak dini sehingga mereka dapat beradaptasi dengan lebih baik saat mereka dewasa.


Manfaat terapi musik untuk anak disabilitas

Bagi kebanyakan orang, musik adalah bagian dari hidup. Begitu terapi musik memiliki banyak manfaat untuk anak-anak dengan gangguan perkembangan dan belajar seperti penyandang autisme.

Dilansir dari Tunisiesoir, terapi musik merupakan suatu proses dimana terapis menggunakan musik untuk membantu klien meningkatkan kesehatannya, baik dalam aspek sehat secara fisik, emosional, mental, sosial, estetika, bahkan spiritual.


Mampu mengelola stres

Menurut Suzanne Hanser, Ed.D., ketua di Departemen Terapi Musik Berklee, ada bukti ilmiah bahwa terapi musik telah mempengaruhi anak-anak dengan spektrum autisme secara positif dalam banyak hal. Diantaranya meningkatkan keterampilan dalam komunikasi, hubungan interpersonal, pengaturan diri, strategi mengatasi, manajemen stres dan memusatkan perhatian.

Asosiasi Terapi Musik Amerika, percaya bahwa Terapi Musik meningkatkan kualitas hidup seseorang, yang melibatkan hubungan antara terapis musik yang berkualitas dan individu; antara satu individu dengan individu lainnya; antara individu dan keluarganya; dan antara musik dan peserta.

Hubungan ini terstruktur dan diadaptasi melalui elemen musik untuk menciptakan lingkungan yang positif dan mengatur kesempatan untuk pertumbuhan yang sukses. Selain itu, intervensi terapi musik dapat:

– Meningkatkan Kesehatan

– Mengelola Stres

– Mengurangi Rasa Sakit

– Mengungkapkan Perasaan

– Meningkatkan Memori

– Meningkatkan Komunikasi

– Mempromosikan Rehabilitasi Fisik

Pelopor terapi musik, Nordoff dan Robbins, menggambarkan keberhasilan mereka dalam bekerja dengan beberapa anak muda yang didiagnosis dengan Autisme. 

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya