Batasan Produksi Klembak Kemenyan Bisa Diterapkan di Rokok Biasa

Langkah pemerintah menetapkan batasan produksi untuk membedakan antara perusahaan rokok besar dan kecil pada segmen kelembak kemenyan (KLM) dinilai dapat diberlakukan pada segmen rokok biasa.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Jul 2022, 19:38 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Langkah pemerintah menetapkan batasan produksi yang tegas untuk membedakan antara perusahaan rokok besar dengan perusahaan kecil pada segmen kelembak kemenyan (KLM) dinilai dapat diberlakukan juga pada segmen rokok biasa, terutama buatan mesin.

Apalagi, sebagian besar rokok buatan mesin yang beredar di Indonesia saat ini diproduksi oleh perusahaan besar dan asing.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, kebijakan tarif dan struktur cukai rokok KLM yang ditetapkan pemerintah kini lebih proporsional.

Kebijakan ini dapat mengendalikan konsumsi, mengoptimalkan penerimaan negara, serta membedakan perusahaan besar dan kecil.

“Selama ini, rokok jenis itu harga cukainya rendah sekali,” katanya kepada para wartawan di Jakarta.

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK. 010/2022 menetapkan kelompok tarif cukai yang lebih tinggi (setara dengan sigaret kretek tangan) pada produk KLM yang diproduksi oleh perusahaan yang produksinya melebihi 4 juta batang. Hal ini bertujuan melindungi perusahaan rokok KLM skala rumahan.

Selain itu, dengan kebijakan ini, pemerintah secara tidak langsung telah mengkategorikan perusahaan yang memproduksi minimal 4 juta batang rokok KLM per tahun sebagai pabrikan besar. Sementara yang memproduksi di bawah itu tergolong perusahaan kecil atau rumahan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Batasan Produksi

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Sama halnya dengan rokok KLM, Faisal menilai kebijakan batasan produksi pada segmen rokok biasa juga perlu ditinjau. Sejak 2017, batasan produksi tertinggi untuk rokok biasa adalah 3 miliar batang per tahun, mengacu kepada batasan rokok mesin. Batasan ini dinilai membuka celah bagi perusahaan besar dan asing untuk menikmati tarif cukai murah.

Sebelumnya, hingga tahun 2016, batasan produksi tertinggi untuk rokok mesin yang tidak padat karya adalah 2 miliar batang per tahun.

“Makanya perlu diawasi dan dilihat celah yang memungkinkan perusahaan bermanuver dalam pembatasan itu. Jadi, kalau misalnya batasan 3 miliar batang, perusahaan-perusahaan besar bisa mengirit produksinya supaya tidak sampai batas pagunya atau batas threshold-nya. Ini harus diantisipasi oleh pemerintah,” katanya.

Faktanya, praktik ini memungkinkan perusahaan besar dan asing masuk ke golongan yang lebih rendah dengan tarif cukai yang lebih murah. Padahal, seharusnya perusahaan itu mampu membayar tarif cukai yang tinggi sesuai golongannya.

 

 


Sudah Tak Relevan

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Sebelumnya, Pakar Hukum Oce Madril menegaskan, pengaturan batasan produksi pada rokok biasa saat ini sudah tidak relevan untuk mengatur besaran tarif cukai yang harus dibayarkan oleh perusahaan. Kebijakan pengaturan volume produksi yang kurang tepat berpotensi membuka peluang penghindaran cukai yang membuat penerimaan negara tidak optimal.

Ia menjelaskan, penelitian yang dilakukannya sepanjang tahun 2021 menunjukkan ada beberapa potensi penghindaran yang bisa muncul dari skema struktur tarif cukai saat ini. Hal tersebut disebabkan, antara lain, lebarnya selisih tarif cukai rokok antara golongan I yang paling tinggi dengan golongan II yang lebih murah.

“Dengan selisih tarif yang lebar antara golongan I dan II, maka pengusaha memiliki peluang yang lebih menguntungkan dengan bertahan di golongan II, meskipun sebenarnya secara kemampuan produksi, mereka masuk dalam kategori golongan I. Pengusaha yang masuk dalam golongan II tersebut tentu akan membayar tarif cukai yang jauh lebih murah,” katanya.

Saat ini, pabrikan dengan produksi lebih dari 3 miliar batang rokok per tahun akan masuk dalam golongan I dan masuk ke dalam golongan II jika produksinya tidak lebih dari 3 miliar batang rokok.Salah satu dugaan modus yang dapat terjadi untuk pabrikan menghindari membayar cukai tinggi adalah tidak melaporkan produksi secara benar dan faktual. Apalagi jika pengawasan yang dilakukan lemah, maka pelanggaran jenis ini dapat terjadi.

 


Selisih

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Modus ini bisa terlihat ketika terjadi selisih antara jumlah pelekatan pita cukai dengan jumlah produksi yang dilakukan perusahaan. Ia menegaskan, praktik modus tidak melaporkan jumlah produksi rokok secara benar dapat merugikan penerimaan negara.

Praktik tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menghindari tarif cukai tinggi, mengingat penetapan golongan tarif sangat berkaitan dengan jumlah produksi dalam satu tahun.Kedua, perusahaan menahan produksi rokok. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan agar produksi mereka tetap berada di bawah 3 miliar dan menikmati tarif cukai yang lebih murah.

Untuk menghindari potensi kerugian negara, Oce merekomendasikan pemerintah menurunkan skema jumlah produksi yang menjadi dasar penggolongan pabrikan rokok. Ia juga menyarankan agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat audit secara berkala untuk verifikasi laporan produksi pabrikan rokok.

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya