Marak Fenomena Post Truth, Puan Maharani: Indonesia Masih Darurat Hoaks

Post truth merupakan era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran maka harus dilawan

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Jul 2022, 13:00 WIB
Ketua DPR RI Puan Maharani di Rapat Paripurna DPR RI dalam rangka ulang tahun ke-75 DPR. (Foto: Dokumentasi DPR).

Liputan6.com, Jakarta Fenomena post truth masih menjadi sorotan pemerintah di era digital dan maraknya pengguna gawai saat ini.

Diketahui, post truth merupakan era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran itu lewat gerakan hantam hoaks.

Ketua DPR RI Puan Maharani mengajak mahasiswa untuk melawan fenomena yang dapat memicu perpecahan. 

“Fenomena post-truth sudah seperti pandemi, dia menyebar secara cepat dan global, serta dapat menjangkiti siapapun tanpa pandang bulu,” kata Puan saat menjadi pembicara dalam Webinar Internasional Prodi Psikologi Institut Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik (IAIN SAS), Bangka Belitung, Kamis (14/7/2022).

Menurut Puan, saat ini banyak terjadi orang dari kelompok masyarakat mana pun dan tingkat pendidikan apapun dengan mudah terjangkit post-truth. 

Seseorang yang terjangkit post truth, cenderung mengabaikan fakta dan etika dalam berpendapat dan lebih menyepakati hal-hal yang dekat dengan keyakinan pribadinya.

“Di dunia post-truth, yang berjaya adalah hoaks dan teori konspirasi yang tidak berdasar fakta tetapi tersebar dengan luas dan dipercaya banyak orang. Dan ketika ingin diluruskan malah bersembunyi di balik istilah kebebasan berpendapat,” kata Puan.

Ditambahkan Puan, dewasa ini banyak orang tidak sadar melakukan tindakan bias konfirmasi. Yakni kecenderungan mencari bukti-bukti untuk mendukung pendapat atau kepercayaannya. 

Saksikam video pilihan berikut ini:


Lawan Hoaks

Tindakan tersebut dilakukan dengan mengabaikan bukti-bukti empiris yang menyatakan sebaliknya.

“Bahkan tidak berlebihan jika kita mengatakan Indonesia sebenarnya masih dalam kondisi darurat hoaks,” ucap Puan.

“Sepanjang tahun 2021 saja, Pemerintah menyebutkan sudah memblokir ratusan ribu konten di media sosial dan internet karena masuk dalam kategori hoaks,” lanjutnya.

Puan menyebut post truth mengambil energi dari rasa ketakutan dan kecemasan masyarakat. Sebab Post truth dimulai dengan menanam benih keraguan di hati masyarakat dan kemudian bertumbuh besar dengan pupuk ketakutan. 

Ketakutan itu menjadi semakin cepat membesar besar terlebih di dalam situasi seperti Pandemi Covid-19 yang dapat berujung kepada munculnya kepanikan publik dan dekadensi trust.

“Kita lihat saat di awal Covid-19 masuk ke Indonesia sempat terjadi panic buying, orang saling mencurigai dan banyak hal negatif lainnya terjadi karena hoaks merajalela di media sosial dan aplikasi chat,” sambungnya.

Menurut Puan, post-truth menyebabkan munculnya fenomena di mana sebagian orang tidak percaya bahwa Covid-19 nyata. 

Kelompok tersebut menganggap Covid-19 adalah konspirasi belaka sehingga ada yang tidak mau menjaga protokol kesehatan.

Akibatnya angka penularan Covid-19 meningkat serta bisa berujung kepada hilangnya nyawa seseorang. 

"Ikhtiar kebangsaan kita untuk melawan Covid-19 dengan melakukan vaksinasi pun turut terpengaruhi oleh post-truth,” ujar Puan.

Hoaks soal vaksinasi memang sempat menyebar beberapa waktu lalu. Informasi bohong itu menyebut vaksinasi hanyalah proyek untuk keuntungan pihak tertentu, bahkan ada yang mengklaim vaksin berbahaya serta munculnya berbagai teori konspirasi lainnya.

“Padahal bukti-bukti ilmiah-nya sudah jelas, bahwa vaksinasi menyelamatkan nyawa orang dari Covid-19,” kata Puan.

Oleh karen itu, Puan mengajak semua pihak untuk melawan fenomena post-truth. Terutama, kata Puan, kalangan akademisi termasuk mahasiswa.

Menurut Puan, perlu pemahaman variabel-variabel yang dapat membuat orang percaya. 

Ia menyebut, jutaan bukti empiris tidak akan cukup jika tidak didukung keahlian dalam meyakinkan orang sehingga akhirnya tetap saja post-truth yang menang.

“Kita tidak boleh kalah melawan hoaks, karena dapat berujung kepada hilangnya nyawa saudara-saudari sebangsa setanah air. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya? Ini adalah persoalan trust, persoalan kepercayaan,” tegas lulusan Universitas Indonesia itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya