Liputan6.com, Jakarta - Joshua Schulte, mantan engineer CIA (Central Intelligence Agency) yang ditangkap karena mencuri informasi rahasia terbesar dalam sejarah agen tersebut, telah dihukum oleh juri federal.
Schulte ditangkap sehubungan dengan cache besar dokumen yang telah diterbitkan Wikileaks sepanjang tahun 2017.
Advertisement
Rangkaian kebocoran CIA yang dikenal sebagai "Vault 7" itu berisi informasi tentang alat dan teknik yang digunakan CIA untuk meretas iPhone dan Android untuk mata-mata di luar negeri.
Mengutip laman Engadget, Jumat (15/7/2022), informasi itu juga berisi perincian tentang bagaimana CIA membobol komputer dan bagaimana mengubah smart TV menjadi alat sadap.
Juri federal menyatakan Schulte bersalah atas sembilan tuduhan, termasuk mengumpulkan informasi pertahanan nasional secara ilegal dan kemudian mengirimkannya.
Menurut The New York Times, Schulte ditangkap setelah penyelidik melacak kebocoran tersebut. Joshua Schulte bekerja dengan tim di sebuah gedung rahasia yang dilindungi oleh penjaga bersenjata untuk membuat alat, seperti malware, yang digunakan untuk menargetkan perangkat tersangka teroris.
Pada 2018, ia secara resmi didakwa dengan 13 tuduhan yang mencakup pencurian informasi rahasia, menghalangi keadilan, serta memiliki dan mengirim gambar dan video pornografi anak.
Saat ini dia masih menunggu persidangan atas tuduhan memiliki pornografi anak, yang dia unduh sejak 2009 hingga Maret 2017.
Persidangan awal Schulte pada 2020 dinyatakan sebagai pembatalan sidang setelah juri tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai jumlah tuduhan yang memberatkan eks insinyur CIA itu, termasuk mengumpulkan dan mengirimkan informasi pertahanan nasional secara ilegal.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Merasa Jadi Kambing Hitam
Setelah peristiwa itu, Schulte memutuskan untuk mewakili dirinya sendiri. Sebagai bagian dari argumen penutupnya, dia mengatakan kepada juri bahwa CIA dan FBI menjadikannya kambing hitam atas kegagalan memalukan mereka, mengulangi apa yang telah dikatakan pihaknya sejak dia ditangkap.
Sementara hakim, menurut Associated Press, terkesan dengan argumen penutupnya, namun itu tidak cukup untuk membuat juri berpihak kepadanya.
Di pengadilan, dia berargumen bahwa kasus pemerintah 'penuh lubang' dan dia bahkan tidak memiliki motif untuk membocorkan alat peretasan CIA.
Namun, jaksa menuduhnya sebagai karyawan yang tidak puas dan merasa tidak dihargai ketika agensi mengabaikan keluhannya tentang lingkungan kerja. Sebagai pembalasan, dia diduga mencoba 'merusak' CIA.
Pengacara AS Damian Williams mengatakan tindakannya membuat alat cyber pengumpulan intelijen paling berharga yang digunakan untuk memerangi organisasi teroris dan pengaruh jahat lainnya di seluruh dunia--pada dasarnya tidak berguna.
Williams juga menuduh Schulte mencoba membocorkan lebih banyak materi rahasia terhadap pemerintah saat dia berada di balik jeruji besi.
Advertisement
CIA: Konflik Ukraina Pengaruhi Kalkulasi di China Terkait Taiwan
Di sisi lain, Direktur Dinas Intelijen Pusat Amerika Serikat (Central Intelligence Agency/CIA) William Burns pada Sabtu (7/5) mengatakan bahwa China memantau dengan cermat perang di Ukraina.
Burns juga mengatakan bahwa konflik itu memengaruhi kalkulasi para pemimpin China terkait Taiwan, pulau otonom yang diklaim oleh Beijing.
Burns, berbicara dalam acara yang digelar Financial Times di Washington, mengatakan pemerintah China dikejutkan dengan perlawanan sengit Ukraina terhadap invasi Rusia dan kerugian ekonomi yang ditanggung Rusia.
"Saya pikir pemimpin China mengamatinya dengan sangat cermat - terhadap semua dampak dan konsekuensi dari upaya apapun untuk menggunakan kekuatan untuk merebut kontrol atas Taiwan," kata Burns, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (9/5/2022).
Namun, ia memperingatkan bahwa hal itu tidak akan mengubah tujuan jangka panjang pemimpin China Xi Jinping terkait Taiwan.
"Saya tak pernah berpikir bahwa ini telah menggerus keinginan Xi untuk merebut kontrol atas Taiwan," katanya. "Namun, saya pikir ini sesuatu yang memengaruhi kalkulasi mereka mengenai bagaimana dan kapan mereka mungkin akan melakukannya."
China menolak untuk mengecam perang Rusia di Ukraina dan mengkritik sanksi-sanksi Barat terhadap Moskow.
Pemerintah China pada Rabu (16/3/2022) mengecam bantuan kemanusiaan Taiwan untuk Ukraina dan sanksi terhadap Rusia.
China menyebut, apa yang dilakukan Taiwan seakan-akan "mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain" setelah pulau itu mengumumkan akan mengirimkan lebih banyak dana yang disumbangkan oleh masyarakat untuk pengungsi Ukraina.
China Anggap Itu Manipulasi Politik
Perang di Ukraina telah mengumpulkan simpati luas di Taiwan, dengan banyak masyarakat melihat kesejajaran antara invasi Rusia dan ancaman militer yang ditimbulkan oleh China.
Taiwan telah bergabung dalam sanksi yang dipimpin Barat terhadap Rusia, demikian dikutip dari laman Channel News Asia.
Ditanya tentang bantuan dan sanksi Taiwan pada konferensi pers di Beijing, Zhu Fenglian, juru bicara Kantor Urusan Taiwan mengatakan pemerintah Formosa sedang mencoba untuk mengaitkan masalah ini untuk tujuannya sendiri.
"Otoritas Partai Progresif Demokratik menggunakan masalah Ukraina untuk memvalidasi keberadaan mereka dan mendukung isu panas, mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain," katanya, mengacu pada partai yang berkuasa di Taiwan.
"Upaya mereka untuk menghasut konfrontasi dan menciptakan permusuhan melalui manipulasi politik tidak akan berhasil."
Pemerintah Taiwan mengatakan bahwa di Ukraina ia memiliki kewajiban untuk berdiri bersama negara-negara demokrasi lainnya.
Advertisement