Liputan6.com, Jakarta - Portofolio investasi saham dinilai masih menarik di tengah sentimen inflasi tinggi di Amerika Serikat (AS) dan kenaikan harga komoditas.
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (17/7/2022), awal pekan ketiga Juli 2022 dikejutkan dengan inflasi di Amerika Serikat (AS) yang sentuh level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Inflasi Juni di AS sentuh 9,1 persen, dan kalahkan perkiraan pasar.
Advertisement
Inflasi ini disumbang oleh kenaikan harga energi terutama bensin yang tertinggi sejak 1980, tetapi inflasi ini dirasakan di semua kategori seperti makanan dan tempat tinggal.
Inflasi inti yang tidak termasuk makanan dan energi naik 5,9 persen di atas perkiraan 5,7 persen. Satu rumah tangga di AS sekarang perlu keluarkan biaya tambahan USD 493 untuk membeli barang dan jasa yang sama pada tahun lalu. Sayangnya keuntungan upah AS telah dikalahkan oleh kenaikan harga. Pendapatan riil telah turun 3,6 persen sejak tahun lalu.
Lalu apa yang disiratkan semua ini ke depan? Sementara itu, masih terlalu dini untuk membuat pernyataan mengenai puncak inflasi AS. Tampaknya inflasi inti di Amerika Serikat telah diratakan dengan harapan itu secara bertahap turun.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Potensi Kenaikan Suku Bunga The Fed
Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) cenderung mendasarkan keputusan pada inflasi inti dan mungkin mengharapkan suku bunga terus meningkat pada pertemuan berikutnya pada Juli 2022.
"Kemungkinan kenaikan suku bunga minimal 75 basis poin. Dalam jangka pendek, pasar hadapi volatilitas yang hadirkan peluang perdagangan yang baik baik di aset saham dan pendapatan tetap,” tulis Ashmore.
Ashmore melihat pertumbuhan structural cenderung mendukung saham lebih dari kelas aset lainnya terutama dalam pasar tertentu seperti di Indonesia dan negara berkembang lainnya yang mendapatkan manfaat dari lonjakan komoditas.
Lonjakan harga komoditas memiliki ruang di neraca untuk dukung dampak inflasi. Melihat hal itu, Ashmore menilai, saham memiliki prospek lebih baik.
"Meski surat utang mungkin menawarkan valuasi menarik, itu terus hadapi tekanan jangka pendek dari pergerakan imbal hasil global," tulis Ashmore.
Advertisement
Saat Ketegangan Geopolitik Bayangi Pasar Keuangan
Sebelumnya, ketegangan politik meningkat pada pekan ini sehingga mempengaruhi pasar. Lalu bagaimana dampak ketegangan geopolitik ke depan?
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu (10/7/2022), indeks VIX yang mengukur kecemasan pasar alami kenaikan pada Jumat, 8 Juli 2022 tetapi tetap rendah dibandingkan pertengahan Juni 2022.
Namun, nada yang dikirim Rusia ke Ukraina menjadi lebih sulit menunjukkan aksi militer belum dimulai dengan sungguh-sungguh sehingga menyiratkan resolusi untuk masalah yang ada belum dapat terjadi dalam waktu dekat.
Pada saat yang sama terjadi pengunduran diri Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan penembakan terhadap mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Keduanya menjadi berita utama, tetapi menjadi kurang structural.
"Secara historis kita melihat bahwa berbagai ketegangan geopolitik meningkatkan risiko pasar tetapi akan bergantung besar dan panjang tegangan yang pengaruhi pasar secara struktural dalam jangka panjang,” demikian mengutip dari riset PT Ashmore Asset Managament Indonesia.
Dampak Agresi Rusia
Ashmore menilai, dampak agresi Rusia sejauh ini berdampak terhadap komoditas dan inflasi. Dengan demikian, seiring berita isu geopolitik kecuali jika ubah lintasan komoditas dan inflasi atau dampak pada resesi ekonomi akan ciptakan reaksi jangka pendek.
"Dalam waktu dekat, kita mungkin memiliki volatilitas yang menghadirkan peluang perdagangan yang baik di kedua kelas. Kami terus melihat pertumbuhan structural mungkin terjadi untuk mendukung saham lebih dari kelas aset lainnya, terutama di pasar tertentu seperti di Indonesia dan negara-negara berkembang yang mendapatkan manfaat dari lonjakan komoditas dan memiliki ruang pada keseimbangannya untuk mendukung dampak inflasi,” tulis Ashmore.
Dengan melihat kondisi itu, saham memiliki prospek lebih baik di tengah tekanan dari pergerakan imbal hasil surat utang global.
Advertisement