Berantas Islamophobia dengan Sinergi dan Kesadaran

Banyak negara mulai melakukan Islamophobia terutama di negara yang belum mengenal agama islam. Terorisme, radikalisme menjadi narasi yang muncul untuk islamophobia.

oleh Yanuar H diperbarui 18 Jul 2022, 13:00 WIB
Muslim, remaja laki-laki ini berdiri di dalam udara dingin selama dua jam demi lawan islamophobia.

Liputan6.com, Yogyakarta - Narasi "terorisme’, ‘ekstrimisme’, dan ‘radikal' di media sosial yang mengarah ke islamophobia justru dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perlu ada kesadaran bagi masyarakat agar bersinergi untuk memberantas islamophobia.

Wakil Gubernur DIY, Paku Alam X diwakili oleh Joko Nuryanto Kepala Bidang Ideologi Kesbangpol DIY mengatakan, upaya memberantas islamophobia ini telah mendapat angin segar setelah PBB menetapkan hari anti-islamophobia. Hal tersebut juga telah dilakukan oleh pemerintah melalui pengarusutamaan Islam moderat.

”Pentingnya moderasi beragama yang terus digaungkan untuk menghilangkan perilaku keberagamaan yang merugikan umat Islam sendiri dan menakutkan orang lain,” jelasnya, di Gedung AR Fachruddin A, UMY, Bantul Sabtu 16 Juli 2022.

Joko menambahkan amanat dari Paku Alam X, tidak boleh ada yang menyakiti dan tersakiti karena hal tersebut dapat memacu ekstrimisme yang dapat mengancam stabilitas nasional.

Islamophobia merupakan bentuk lain dari ekstrimisme dan kita harus menangkal dan melawan secara bersama-sama dengan cara-cara manusiawi dan beradab,” tambahnya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Nasionalis dan Islam

Refly Harun Pakar Hukum Tata Negara menyampaikan problem utama di Indonesia adalah terkait permasalahan antara nasionalisme dan Islam yang kadang-kadang pasang surut. Padahal arus nasionalisme dan arus Islam itu sudah diselesaikan dengan perumusan Pancasila khususnya pada sila pertama.

”Fenomena saat ini adalah mereka yang memberikan narasi tentang Islam merupakan mereka yang anti pemerintah, maka kemudian ketika kita membicarakan tentang anti-islamophobia itu orang yang di luar pemerintahan, sedangkan orang yang di pemerintahan justru dianggap sebagai pelaku, penggagas atau bahkan bagian dari islamophobia, paling tidak bagian dari pemerintah, seperti misalnya para buzzer dan sebagainya. Kalau ada isu tentang Islam yang diributkan, langsung cepat diangkat. Oleh karena itu, kita telah menjalankan bernegara yang tidak sehat,” tandasnya.

Menurutnya, permasalahan tantangan di Indonesia selain islamophobia adalah korupsi dan pejabat yang haus kekuasaan.

“Ke depan yang harus dilakukan untuk berantas islamophobia adalah kita harus kembali kepada asumsi dasar bernegara, yaitu Pancasila. Tetapi ketika kita berbicara tentang Pancasila, terkadang kesannya klise, padahal nilai-nilainya memiliki unsur yang baik sebagai dasar berbangsa dan bernegara, dengan hal ini jika menerapkan Pancasila tidak ada lagi islamophobia ataupun phobia dengan agama yang lain, dan semua agama harus menempatkan tempat yang sama untuk memperjuangkan nilai-nilai agamanya dalam kerangka Pancasila dan konstitusi UUD 1945,” tambahnya.

Sementara itu, Gunawan Budiyanto Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menyatakan bahwa di era disrupsi ini perlu ada perhatian khusus terkait isu-isu islamophobia terlebih di ruang publik.

”Hal yang jelas lagi, dunia media sosial menjadi nafas kehidupan kita, oleh karena itu dari sisi ideologi jika islamophobia marak terjadi di medsos ini, secara perlahan islamophobia akan merusak kesatuan dan kebangsaan,” tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya