Ramai Ancaman Kominfo Blokir Google dkk, Muncul Situs Hitung Mundur Kiamat Internet Indonesia

Salah satu bentuk tentangan terhadap ancaman pemblokiran Kominfo terhadap Google dkk adalah munculnya sebuah situs dengan alamat kominfu.com, yang berisi detik-detik menuju "kiamat internet" di Indonesia

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 18 Jul 2022, 17:56 WIB
Tampilan situs Kominfu yang menghitung mundur kiamat internet Indonesia (Tangkapan layar)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari terakhir, jagat internet Tanah Air diramaikan dengan berita soal ancaman pemblokiran oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), ke berbagai aplikasi seperti Google, Meta, Netflix, dll.

Seperti diketahui, ancaman pemblokiran ini muncul setelah permintaan dari kementerian ke Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) baik domestik maupun asing, untuk melakukan pendaftaran ke Kominfo.

Hal ini pun ditanggapi beragam oleh warganet. Ada yang mendukung, namun tidak sedikit yang menentang keharusan pendaftaran dan ancaman pemblokiran tersebut.

Salah satu bentuk tentangan terhadap hal ini adalah munculnya sebuah situs dengan alamat kominfu.com, yang berisi detik-detik menuju "kiamat internet" di Indonesia. Tidak nama individu atau organisasi tertentu yang tercantum sebagai pembuat laman tersebut.

"The Indonesian government plans to ban "online service providers" including Google, Meta, Twitter, and many others. This is the countdown," tulis laman itu. 

Bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia berarti: "Pemerintah Indonesia berencana untuk memblokir 'penyedia layanan daring' termasuk Google, Meta, Twitter, dan lain-lain. Inilah hitung mundurnya."

"Ingat teman-teman, sensor yang sewenang-wenang adalah pelanggaran hak asasi manusia yang jelas!" tulis laman tersebut lebih lanjut.

Berdasarkan pantauan Tekno Liputan6.com, Senin (18/7/2022), memang dalam situs itu terlihat detik-detik hitung mundur yang tenggat waktunya sampai tanggal 20 Juli 2022, atau dua hari lagi.

Selain itu, situs tersebut juga mengajak pengunjungnya untuk menandatangani petisi yang diinisiasi oleh SAFEnet, di mana isinya adalah penolakan regulasi Kemkominfo ini.

Situs tersebut juga memasukkan beberapa cuitan warganet di Twitter, yang menolak Kominfo blokir dan keharusan pendaftaran berbagai layanan daring tersebut, serta berbagai alasannya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Pakar Ungkap Alasan Facebook, Google dkk Belum Daftar ke Kemkominfo

Ilustrasi Internet, Digital, Gaya Hidu Digital. Kredit: Nattanan Kanchanaprat via Pixabay

Pakar sekaligus konsultan keamanan siber, Teguh Aprianto, sebelumnya menganalisis alasan mengapa sejumlah PSE besar belum mendaftarkan platform mereka. Menurutnya, jika perusahaan mendaftar, mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri.

"Jika platform ini (Google, Facebook, hingga Twitter) ikut mendaftar, maka mereka akan melanggar kebijakan privasi mereka sendiri dan privasi kita sebagai pengguna juga akan terancam," tulis Teguh seperti dikutip dari akun Twitter-nya @secgron, Minggu (17/7/2022).

Lebih lanjut ia menuliskan, dalam Permen Kemkominfo Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat, setidaknya ada tiga pasal yang bermasalah.

Teguh menuliskan, pasal pertama yang menjadi sorotan adalah Pasal 9 ayat 3 dan 4 mengenai kewajiban PSE untuk memastikan sistem elektroniknya tidak memuat informasi dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.

Sementara salah satu poin informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang adalah meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.

"Pasal 9 ayat 3 dan 4 ini terlalu berbahaya karena 'meresahkan masyarakat' & 'mengganggu ketertiban umum' ini karet banget," tulisnya menjelaskan.

Ia menuliskan, "Nantinya bisa digunakan untuk 'mematikan' kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab 'mengganggu ketertiban umum'."

 


Pasal yang Dikhawatirkan

Menggunakan internet/unsplash @dadaben_

Lalu, pasal lain yang juga dianggap bermasalah adalah pasal 14 ayat 3 mengenai permohonan pemutusan akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang.  Pasal ini kembali memunculkan term 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum'.

"Di bagian ini nantinya mereka seenak jidatnya bisa membatasi kebebasan berekspresi dan juga berpendapat. Kok konten saya ditakedown? Mereka tinggal jawab 'meresahkan masyarakat'," tulis Teguh.

Selain itu, pasal lain yang dianggap bermasalah adalah Pasal 36 yang berbunyi, 'PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Data Lalu Lintas dan Informasi Pengguna Sistem Elektronik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada Narahubung PSE Lingkup Privat'.

"Apa jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Ga ada kan?" tulisnya.

Senada dengan Teguh, Safenet juga menyuarakan penolakan regulasi Kemkominfo ini. Bahkan, Safenet mengajak warganet untuk menandatangani Surat Protes Netizen menolak regulasi ini diterapkan.

 


Alasan PSE Wajib Daftar ke Kominfo

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel A Pangerapan. (Daniel Kampua/Bintang.com)

Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan memberikan penjelasan mengenai kenapa penyelenggara platform digital alias PSE wajib mendaftarkan operasionalnya ke pemerintah.

Menurutnya, pendaftaran PSE dilakukan sepenuhnya untuk melindungi masyarakat Indonesia.

"(PSE harus mendaftar) untuk masyarakat, melindungi masyarakat sebagai konsumen. (Berkaca dari) kasus pinjol, banyak yang tidak terdaftar. Apabila ada masalah, bagaimana melindunginya?," kata Semuel yang karib disapa Semmy dalam konferensi pers, Senin (27/6/2022).

Lebih lanjut, Semmy menjelaskan bahwa baik PSE asing dan lokal sama-sama diwajibkan mendaftar dan menjalankan persyaratan operasional yang sama agar tercipta kondisi level playing field.

"Untuk pelaku industri, agar tercipta level playing field, digunakan persyaratan yang sama. Bagaimana memberikan keuntungan bagi masyarakat (jika ada website yang) meniru branding-nya, bisa melakukan klarifikasi," kata Semmy.

(Dio/Isk)

Infografis Tiongkok Blokir Aplikasi Populer

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya