Liputan6.com, Jakarta Aktivitas sehari-hari jika dikembangkan menjadi naskah dengan pengadeganan intens, penokohan kuat plus dieksekusi dengan jeli, bisa menghasilkan film mendebarkan. Contoh aktualnya ada di film A Plein Temps alias Full Time.
Film Prancis karya sineas Eric Gravel ini menampilkan Laure Calamy sebagai pemeran utama. Ide ceritanya begini: Ibu dua anak mencari nafkah untuk menghidupi keluarga setelah cerai dari suaminya.
Cerita kayak begini sering terdengar, ada di sekitar kita, dan sejumlah film pernah mengusungnya. Namun, Full Time beda dan jauh lebih menegangkan dari biasanya.
Baca Juga
Resensi Film The Mauritanian: Dibui Tanpa Diadili, Korban Salah Tangkap Pasca 11 September Cari Keadilan
Resensi Film Writing with Fire: Jurnalisme Adalah Inti Demokrasi, Nomine Oscar Dokumenter Terbaik
Resensi Film My Sassy Girl: Pertemuan Tiara Andini dan Jefri Nichol dalam Palet Warna Berhawa Romantis
Advertisement
Berikut review film Full Time. Sebagai informasi, film ini tidak tayang di bioskop. Anda bisa menyaksikannya secara legal lewat platform streaming KlikFilm mulai Juli 2022.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tentang Julie
Julie (Laure Calamy) cerai dari Alex. Ia tinggal di pinggiran kota Paris bersama buah hatinya, Chloe (Sasha Lemaitre Cremaschi) dan Nolan (Nolan Arizmendi). Beberapa hari terakhir, suaminya mendadak tak bisa dihubungi. Julie menyambung hidup dengan bekerja di hotel berbintang.
Harusnya situasi ini tidak terlalu berat. Jadi berat, karena Prancis dihantam aksi mogok kerja berhari-hari. Transportasi umum seperti bus dan kereta api lumpuh. Taksi langka. Julie mesti berangkat pagi-pagi buta dan menitipkan dua anaknya pada Bu Lusigny (Genevicie Mnich).
Celakanya, Lusigny keberatan dengan dua faktor. Pertama, Nolan banyak tingkah. Kedua, putrinya tak setuju Lusigny di usia senja masih bekerja “angon bocah” apalagi Julie selalu pulang malam.
Situasi merumit akibat politik kantor. Julie diam-diam melamar kerja ke perusahaan lain demi nasib yang lebih baik. Lalu, ada karyawan “bermulut lancip” mengadu ke manajer hotel, Sylvie (Anne Suarez).
Advertisement
Sinematografi dan Penokohan
Suatu hari, Julie yang dipanggil interviu bertukar libur dan memberikan kartu akses karyawan ke pegawai baru, Lydia (Mathilde Weil). Tepergok manajer, anak baru ini dipecat. Sesi interviu dengan Jeanne Delacroix (Lucie Gallo) pun tak semulus yang dibayangkan.
Dengan nada bicara meninggi, Jeanne menuntut Julie bersikap terbuka jika ingin diterima kerja. Ini masih ditambah masalah lain dari tunjangan suami yang tak kunjung cair hingga hasil interviu mengambang. Julie makin stres hingga tak pernah tidur nyenyak.
Ya, ini drama rumah tangga. Dan ya, film ini cewek banget. Namun perhatikan Full Time baik-baik. Dalam 15 menit pertama, ia menegangkan. Setidaknya ada tiga faktor pemicu. Pertama, tokoh utama tampak buru-buru alias bergegas.
Kedua, perkara pergi ke kantor saja melewati banyak drama. Sinematografi Victor Seguin memperlihatkan raut lelah Julie. Lalu mata kamera membidik panorama kaca jendela kereta api. Pergerakan objek di luar menajamkan kesan buru-buru.
Kekuatan Tata Musik
Ketiga, tata musik besutan Irene Dresel. Cenderung monoton, bertempo cepat, seolah ada sesuatu yang harus dikejar dan bikin kita makin tak tenang. Eric Gravel memberi ruang kepada audiens untuk mengenal keseharian Julie dengan lebih intens.
Adegan Julie pulang kelelahan, bangun tidur mesti ngurus anak, berangkat kerja selalu buru-buru, lalu diulang lagi dan lagi. Dengan latar aksi mogok kerja plus hiruk pikuk hotel, hidup Julie yang sebenarnya seperti ibu bekerja pada umumnya terasa makin dramatis dan menegangkan.
Advertisement
Terjebak Dalam Penasaran
Sampai di menit ke-60, penonton masih terjebak dalam penasaran akut. Nasib Julie bagaimana? Kalau tetangganya benaran enggak bisa dititipi anak gimana? Suaminya kenapa sih ditelepon susah amat? Ya Allah, rekan kerja Julier julid banget? Dan masih banyak lagi rasa penasaran lain.
Walhasil, drama rumahan ini menjelma thriller yang bikin penonton kepikiran, kecipratan sensasi tergesa-gesa, berkejaran dengan waktu, dan paling penting berempati pada tokoh utama. Kita ikut memiliki kehidupan Julie yang tak sempurna dan amburadul.
The Power Of Laure
Selain kinerja sang sutradara yang ciamik, pujian patut diberikan kepada Laure Calamy yang tampil konsisten. Konsisten stres, senewen, putar otak, kesepian sometimes, namun tetap meyakini bahwa menyerah bukanlah pilihan.
Cerita Full Time dibangun dengan fondasi kokoh, bertumpu pada satu karakter dengan segala plus minusnya. Dibilang plus minus karena Julie tak sepenuhnya putih. Ada kalanya ia mengambil jalan pintas untuk menyelamatkan diri. Bukan berarti ia bikin penonton ilfil.
Justru di titik-titik inilah, karakter utama tidak terasa mengawang-awang. Manusiawi karena andai menghadapi situasi semacam ini, kita mungkin akan melakukan hal serupa. Lebih brutal malah.
Advertisement
Tak 100 Persen Melegakan
Akhir film ini tak 100 persen melegakan. Tak 100 persen menjawab semua persoalan. Mengapa? Karena hidup pada hakikatnya lepas dari masalah satu lalu diadang yang lain. Namun dari mata yang berkaca, merekahnya senyum, dan lambaian tangan, kita tahu selalu ada harapan di balik pekatnya problema.
Selalu ada titik terang setelah melintasi lorong panjang nan gelap. Full Time menegangkan, menghibur, menjebak kita dalam beragam emosi. Ia bikin kita tergopoh-gopoh nyaris di sepanjang film. Di ujung, kita malah pengin memeluk sang tokoh utama. Semenyenangkan itu.
Pemain: Laure Calamy, Lucie Gallo, Mathilde Wil, Anne Suarez, Cyril Guei, Genevicie Mnich, Olivier Faliez, Sasha Lemaitre Cremaschi, Nolan Arizmendi
Produser: Raphaelle Delauche, Nicolas Sanfaute
Sutradara: Eric Gravel
Penulis: Eric Gravel
Produksi: Novoprod, France 2 Cinema, Haut et Court
Durasi: 1 jam, 28 menit