Liputan6.com, Jakarta Skema perlindungan sosial bagi masyarakat termasuk penyandang disabilitas awalnya berfokus pada jaring pengaman sosial berjangka pendek. Kini, skema perlindungan sosial berubah menjadi program yang bertujuan memperkuat keterampilan dan kapasitas individu.
Hal ini dilakukan sebagai upaya pemenuhan atas hak pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas.
Advertisement
Dalam kajian perlindungan sosial yang inklusif bagi penyandang disabilitas, salah satu isu strategis yang menjadi perhatian adalah skema perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas yang dipandang belum sepenuhnya inklusif.
Topik ini menjadi bahasan pada Konferensi Nasional MOST UNESCO yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara daring, Rabu (29/06/2022).
Kepala Sekretariat Nasional SDGs Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Vivi Yulaswati mengatakan, pada Indeks Inklusif Global 2020 skor Indonesia tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara-negara di dunia. Hal ini perlu menjadi catatan penting bagi Indonesia untuk terus meningkatkan aksesibilitas bagi kelompok rentan terutama kelompok disabilitas.
“Peningkatan aksesibilitas ini agar penyandang disabilitas dapat tumbuh secara inklusif dan searah dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs yaitu No One Left Behind,” kata Vivi mengutip keterangan pers Selasa (19/7/2022).
Dalam upaya mengurangi hambatan penyandang disabilitas, menurut Vivi, tiga hal yang perlu dilakukan yakni:
-Membangun ekosistem kerja yang inklusif, misalnya dengan menerapkan standar universal untuk bangunan atau tempat kerja ramah disabilitas.
-Mempermudah akses sehubungan dengan mahalnya bea masuk impor dan mendorong cakupan pemanfaatan JKN untuk jenis-jenis alat bantu yang lebih luas.
-Menegakkan perlindungan tenaga kerja penyandang disabilitas.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kendala Desain Perlindungan Sosial
Dalam keterangan yang sama, ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti menyampaikan kendala yang membuat desain perlindungan sosial yang ada saat ini belum efektif untuk penyandang disabilitas.
Program perlindungan sosial berbasis keluarga dinilai tidak efektif dalam menjangkau penyandang disabilitas. Tidak memerhatikan biaya tambahan penyandang disabilitas contohnya pengadaan alat bantu, terapi, obat-obatan, dan lain-lain. Serta minimnya manfaat dari program yang ada dan hambatan akses terhadap program perlindungan sosial.
Untuk itu, lanjut Yeni, beberapa hal yang menjadi rekomendasi dalam tujuan membuat desain program perlindungan sosial yang komprehensif di antaranya dengan:
-Menyelenggarakan konsesi untuk mengurangi biaya hidup penyandang disabilitas
-Pemberian cash transfer berupa tunjangan langsung kepada penyandang disabilitas dan insentif bagi caregiver
-Pemberian layanan langsung terstruktur untuk membantu penyandang disabilitas.
Sementara, Direktur Eksekutif Media Literasi Utama, Yenti Nurhidayat menyampaikan data Proporsi Anggaran Kementerian Sosial Tahun 2022 Berdasarkan Unit Organisasi. Menurut data tersebut, alokasi anggaran terbesar diberikan kepada Ditjen Penanganan Fakir Miskin sebanyak 58 persen dengan nilai Rp 45 triliun.
Advertisement
Nominalnya Kurang
Sedangkan, Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial sebanyak 39 persen dengan nilai Rp 30,6 triliun.
Adapun nomenklatur (penamaan) mata anggaran yang spesifik bagi penyandang disabilitas berada di bawah naungan Ditjen Rehabilitasi Sosial yang secara unit organisasi memperoleh 1 persen dari total anggaran Kementerian Sosial Tahun 2022.
Pelayanan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas mendapatkan anggaran dengan nilai Rp 219 M yakni 19,7 persen dari anggaran Ditjen Rehabilitasi Sosial, atau hanya sekitar 0,3 persen dari besaran total anggaran Kementerian Sosial.
Yenti memandang, nilai tersebut cukup kecil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dan tidak dapat menjawab pemenuhan hak-hak disabilitas yang sudah diregulasikan dalam peraturan perundangan.
Dalam upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas, sebaiknya alokasi anggaran yang tidak spesifik disabilitas, dirancang dengan menerapkan nilai dan kriteria yang lebih inklusif.
Untuk itu, menurut Yenti, pemerintah perlu memastikan bahwa penyandang disabilitas masuk kriteria prioritas dalam program-program perlindungan sosial dan merancang program perlindungan sosial yang spesifik bagi penyandang disabilitas.
Butuh Biaya Ekstra
Selain itu, pemerintah perlu memastikan keterpilihan data yang diinput ke dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk memastikan bahwa sistem data mencatat situasi dan kondisi masyarakat secara komprehensif.
Serta memastikan adanya keterbukaan informasi publik agar masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan hingga pengawasan implementasi.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia, Jonna Aman Damanik menyampaikan konsesi merupakan Amanat UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Konsesi dan Amanat Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2021 tentang rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025.
Konsesi berelasi dengan biaya tambahan yang terkait dengan hambatan individu dan lingkungan penyandang disabilitas di mana studi menunjukkan untuk memenuhi kebutuhan dasar, rumah tangga dengan anggota keluarga penyandang disabilitas menanggung biaya tambahan hingga mencapai 20 persen. Biaya ekstra yang dikeluarkan sangat beragam dan terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung.
Adapun hambatan dan tantangan implementasi kebijakan konsesi bagi penyandang disabilitas berdasarkan UU Nomor Tahun 2016 adalah masih minimnya Naskah Akademik Peraturan Pemerintah tentang konsesi termasuk literasi maupun kajian tentang konsesi penyandang disabilitas di Indonesia.
Kebijakan tentang konsesi bagi penyandang disabilitas sangat membutuhkan data terpilah serta terinci kebutuhannya berdasarkan asesmen individu dan terintegrasi yang memudahkan pemetaan penerima manfaat konsesi.
Advertisement