UGM Nilai Distribusi Pupuk Bersubsidi Belum Tepat Sasaran

Kebijakan memberikan pupuk bersubsidi di Indonesia sudah berlangsung sejak 1969. Namun ternyata langkah itu dinilai belum pas karena masalah yang ada.

oleh Yanuar H diperbarui 24 Jul 2022, 13:00 WIB
Stok pupuk urea bersubsidi (Istimewa)

Liputan6.com, Yogyakarta - Tujuan kebijakan subsidi pupuk pemerintah sejak tahun 1969 untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan disebut tidak efektif dan bahkan menimbulkan kerugian. Hasil kajian tim Fakultas Pertanian UGM yang dipimpin oleh Jumhari menyebutkan adanya ketidaktepatan sasaran distribusi pupuk bersubsidi.

”Yang menyerap bukan petani, serapan ini dilakukan oleh pengecer resmi. Distribusinya apakah ke petani penerima atau ke siapa, kita tidak tahu,” kata Jamhari dalam seminar nasional yang bertajuk Mengkaji Ulang Kebijakan Subsidi Pupuk, di ruang seminar University Club UGM Senin 18 Juli 2022.

Beberapa hasil kajian ditemukan persoalan diantaranya pengoplosan pupuk subsidi dan non subsidi. Penyebaran isu kelangkaan pupuk bersubsidi sehingga harganya mahal dan penimbunan dan penggantian kemasan pupuk bersubsidi menjadi nonsubsidi.

Selain itu ada kebocoran penyaluran pupuk bersubsidi juga terjadi karena pupuk bersubsidi tidak hanya diselewengkan ke tanaman perkebunan tetapi juga ke industri termasuk industri kayu lapis, lem, peternakan dan batik. Jamhari mengatakan dari sampel 100 ribu kartu tani sebagai penerima pupuk bersubsidi ternyata hanya 37 ribu yang melakukan transaksi.  

“Transaksi dari kartu tani saja persentasenya kecil sekali,” kata Mantan Dekan Pertanian UGM ini.

Setiap tahun negara mengalokasikan sekitar Rp26 triliun untuk pupuk yang seharusnya dirasakan manfaatnya oleh petani. Namun begitu, menghentikan subsidi pupuk begitu saja bukanlah jalan keluar yang bijaksana karena  membeli pupuk yang nonsubsidi  harganya lebih dua kali lipat harga pupuk bersubsidi. 

 

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Perbaikan Teknis Penyaluran Pupuk Bersubsidi

“Diperlukan perbaikan kebijakan penyaluran pupuk bersubsidi sebenarnya juga sudah dilakukan tetapi tidak menyelesaikan masalah utamanya. Salah satunya dalam pengusulan dan penyaluran pupuk bersubsidi menggunakan E-RDKK dan kartu tani. Masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengapa tetap saja terjadi ketimpangan pengusulan dan kebijakan antar wilayah. Selalu saja adanya kekurangan alokasi pupuk bersubsidi,” katanya.

Fakultas Pertanian UGM merekomendasikan adanya perbaikan kebijakan subsidi pupuk untuk perbaikan perencanaan anggaran subsidi yang besar dan perbaikan teknis penyaluran pupuk bersubsidi.

Menurut Jamhari pemerintah  melakukan langkah yang tepat untuk memberikan perhatian yang lebih besar bagi pengembangan pertanian di tengah isu krisis pangan global. Tidak hanya soal pupuk namun juga dari penambahan luasan lahan. 

“Variabel luas lahan, produksi padi misalnya perlu perluasan lahan. Yang paling cepat itu lahan. Selain itu pupuk juga memberikan kontribusi produksi 0,2 ton per hektar per tahun,” katanya.

Disamping itu terdapat adanya dualisme pasar soal harga eceran tertinggi dan harga non subsidi, adanya penggunaan pupuk berlebih, kondisi industri pupuk tidak berkembang secara optimal.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya