Liputan6.com, Jakarta - Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 berdampak pada penurunan drastis terhadap imunisasi rutin untuk anak.
Hal ini bisa ditandai dengan mulai munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Misalnya, jika ada satu kasus difteri muncul, itu biasanya disebabkan cakupan imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT) untuk usia anak menurun di bawah 60 persen.
Advertisement
“Imunisasi difteri itu kan biasanya 80 persen ke atas terkendali, tapi di bawah 60 persen saja itu sudah muncul wabahnya, tidak harus 0 persen. Padahal, difteri itu kematiannya bisa sampai 20-25 persen dibandingkan COVID yang 1 persen,” ujar Piprim kepada Health Liputan6.com di kantor Kapanlagi Youniverse, Jakarta Pusat, Selasa (19/7/2022).
Piprim mengingatkan agar jangan sampai COVID-19 dengan tingkat kematian 1 persen menimbulkan kehebohan yang tinggi, sedangkan ketika difteri yang tingkat kematiannya 20 persen lebih tinggi muncul, malah tenang-tenang saja.
“Difteri itu ketika anak tertular, kejar-kejaran dengan waktu, anak mesti diisolasi, dilubangi lehernya, sudah mau sembuh kena jantungnya, nanti ketika mau pulang malah meninggal, ini tipikal difteri. Jadi tidak ada yang paling efektif mengurangi kematian selain imunisasi.”
Piprim menegaskan bahwa semua pihak perlu memfokuskan pada masalah yang memang penting.
“Jadi jangan gagal fokus, COVID-19 oke lah, tapi jangan di situ terus. Ini difteri sudah mulai muncul, tetanus juga mulai ada laporan, kemudian rubella, campak, itu kan penyakit-penyakit yang selama ini sudah terkendali, tapi karena imunisasi turun mereka mulai muncul lagi.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Imunisasi Global
Penurunan imunisasi anak tak hanya terjadi di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF menemukan bahwa pandemi COVID-19 memicu penurunan berkelanjutan terbesar dalam capaian imunisasi anak selama 30 tahun terakhir.
Persentase anak penerima tiga dosis vaksin DPT yang rendah menandakan bahwa cakupan imunisasi di seluruh negara turun 5 poin antara 2019 dan 2021 menjadi 81 persen.
Akibatnya, 25 juta anak pada 2021 melewatkan satu atau lebih dosis DPT yang biasanya didapatkan dari layanan imunisasi rutin. Angka ini 2 juta lebih banyak daripada mereka yang tidak mendapatkan suntikan pada tahun 2020 dan 6 juta lebih banyak dari pada tahun 2019. Padahal, jumlah anak-anak yang berisiko penyakit DPT semakin meningkat.
Penurunan ini disebabkan oleh banyak faktor termasuk:
-Peningkatan jumlah anak yang hidup di tengah konflik
-Akses imunisasi yang menantang
-Meningkatnya informasi yang salah terkait imunisasi
-Masalah terkait COVID-19 seperti gangguan layanan dan rantai pasokan
-Pengalihan sumber daya ke upaya respons, dan penahanan
-Tindakan yang membatasi akses dan ketersediaan layanan imunisasi.
Advertisement
Peringatan Merah
Penurunan imunisasi yang drastis disebut sebagai peringatan merah oleh UNICEF.
“Ini adalah peringatan merah untuk kesehatan anak. Kami menyaksikan penurunan berkelanjutan terbesar dalam imunisasi anak dalam satu generasi. Konsekuensinya akan diukur dalam kehidupan,” kata Catherine Russell, Direktur Eksekutif UNICEF mengutip keterangan pers, Sabtu (16/7/2022).
Russel juga menambahkan, pandemi COVID-19 yang memicu tindakan penguncian atau lockdown juga berperan besar dalam penurunan berkelanjutan vaksinasi anak.
“COVID-19 bukan alasan. Kita perlu mengejar imunisasi untuk jutaan orang yang belum atau kita pasti akan menyaksikan lebih banyak wabah, lebih banyak anak sakit dan tekanan yang lebih besar pada sistem kesehatan yang sudah tegang.”
Menurutnya, 18 juta dari 25 juta anak tidak menerima dosis tunggal DPT sepanjang tahun, sebagian besar dari mereka tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. India, Nigeria, Indonesia, Ethiopia dan Filipina mencatat jumlah tertinggi.
Di antara negara-negara tersebut, negara dengan peningkatan terbesar dalam jumlah anak yang tidak menerima vaksin tunggal antara 2019 dan 2021 adalah Myanmar dan Mozambik.
Kematian Bayi
Secara global, lebih dari seperempat cakupan vaksin HPV yang dicapai pada 2019 telah hilang. Ini memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan perempuan dan anak perempuan. Karena cakupan global dari dosis pertama vaksin human papillomavirus (HPV) hanya 15 persen, meskipun vaksin pertama telah dilisensikan lebih dari 15 tahun yang lalu.
Selain menurunnya imunisasi rutin pada anak, masalah kesehatan lain yang masih dihadapi di Indonesia adalah kematian bayi.
“Kita ikut berupaya untuk menurunkan angka kematian bayi. Kita membuat satuan tugas (satgas) khusus untuk percepatan penurunan angka kematian bayi,” kata Piprim.
Upaya ini dimulai dengan pembuatan audit terkait alasan meninggalnya bayi. Mengingat, ada berbagai faktor yang dapat memicu kematian pada bayi.
“Apakah rujukannya, jadi di hulunya seperti apa. Apakah di transportasinya atau di rumah sakitnya. Sebab sebagian besar sampai di rumah sakit 7 jam meninggal. Artinya kan kita harus mengusut di hulunya seperti apa, jadi kita mengurai dengan melakukan audit.”
Saat ini, pihak IDAI tengah menjalin kerja sama dengan UNICEF untuk membuat rekomendasi dan rekomendasi ini ke depannya akan digunakan untuk menentukan tatalaksana ke depannya seperti apa.
Advertisement