Liputan6.com, Jakarta Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk meningkatkan pemanfaatan minyak sawit di dunia. Hal ini sebagai respons terhadap krisis energi yang melanda dunia global.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan saat ini adalah momentum untuk kembali mempromosikan manfaat minyak sawit. Apalagi dengan menyasar pasar Ammerika Serikat dan Uni Eropa yang disebut cukup sensitif terhadap produk kelapa sawit.
Advertisement
"Dengan adanya konflik, maka suplai daripada BBM atau energi juga terdisrupsi terutama dari Rusia, salah satu yang bisa mengurangi ketergantuan dari fossil fuel itu adalah biofuel dan kebetulan dengan situasi sekarang harga dari biofuel dan kelapa sawit harganya dekat," kata dia kepada wartawan di Hotel Sofitel, Nusa Dua, Bali, Selasa (19/7/2022).
Ia menerangkan, di kawasan Barat seperti AS atau Uni Eropa biasanya harga palm oil dan minyak fossil memiliki gap yang cukup jauh. Namun, saat ini harganya mulai berdekatan.
"Sehingga ini adalah momentum untuk mengurangi ketergantungan terhadap fossil fuel dengan meningkatkan penggunan biofuel," katanya.
Dengan begitu, ia meminta dalam The Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk mendorong pemanfaatan tersebut. Dibarengi dengan persiapan kedua negara.
"Oleh karena itu, tadi dalam CPOPC, Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk mendorong peningkatan penggunaan biofuel dan tentu dengan studi dan persiapan yang dilakukan oleh masing-masing kedua negara," ujarnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sepakat
Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Datuk Hajjah Zuraida binti Kamaruddin mengatakan konflik Rusia-Ukraina yang terjadi saat ini mempengaruhi harga bahan bakar fosil. Sehingga ini bisa dimanfaatkan untuk promosi produk minyak kelapa sawit.
"Konflik peperangan antara Rusia dan Ukraina juga memberikan peluang kepada negara seperti Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil palm oil," katanya.
"(tujuannya) untuk memberikan keyakinan kepada pengguna di US (United States/AS) dan EU yang selama ini masih memberikan anggapan yang tidak benar mengenai kebaikan sawit," tambah dia.
Senada dengan Menko Airlangga, ia memandang ini perlu dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia untuk merambah pasar ke sana. Ia juga mengeklaim penggunaan minyak sawit lebih efisien dari sisi keuangan.
"Jadi ini adalah peluang kita untuk memanfaatkan kembali dna mendapatkan keyakinan mereka untuk terus menggunakan dan menerima hakikat bahwa kelapa sawit adalah yang terbaik dan sangat sustainable dan sangat cost effective," paparnya.
Advertisement
Pungutan Ekspor Sawit Dihapus
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengeluarkan aturan mencabut biaya pungutan ekspor untuk komoditas sawit dan produk turunannya. Aturan ini akan berlaku hingga 31 Agustus 2022 mendatang.
Aturan itu tertuang dalam PMK Nomor 115 Tahun 2022. Dengan diterbitkannya aturan ini, berarti merubah aturan aturan nomor 103/PMK.05/2022 tentang tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit menyangkut pungutan ekspor.
"PMK ini adalah akan menurunkan pungutan ekspor atau tarif pungutan ekspor jadi 0 hingga 31 agustus 2022," katanya dalam konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) Sabtu (16/7/2022).
"Jadi pungutan ekspor diturunkan 0 rupiah 0 dolar kepada seluruh produk yang berhubungan dengan CPO, dan dengan sawit," tambahnya.
Diketahui, sebelumnya Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta Menkeu Sri Mulyani untuk menurunkan tarif pungutan ekspor. Tujuannya untuk turut mengakselerasi arus keluar pasokan Crude Palm Oil (CPO) dari dalam negeri.
"Pada dasarnya, peraturan PMK ini adalah memberikan perubahan tarif PR terhadap seluruh produk (turunan kelapa sawit) mulai dari tandan buah segar, biji sawit, kelapa sawit, bungkil, CPO, palm oil, dan used cooking oil, termasuk fruit palm oil," terangnya.
Alasan
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, pembebasan pungutan ekspor ini untuk mempercepat kinerja ekspor. Sebab ketika harga CPO naik, pemerintah melakukan pelarangan ekspor sebagai respons untuk memastikan kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Namun saat ini kegiatan ekspor CPO dan produknya sudah dibuka kembali. Sehingga untuk memulihkan ekspor, pemerintah mendorong dengan pembebasan pungutan ekspor. "(Jadi) kita mau mempercepat ekspor saja," kata Febrio dalam acara yang sama.
Sebenarnya upaya serupa juga telah dilakukan. Tepatnya pada bulan Juni saat pajak harga melonjak tinggi. "Pajak ekspornya tinggi sekali di Juni, sudah bagus dan kami melihat perlu lebih cepat lagi. Jadi kita turunkan aja pungutan ekspor ke 0 hingga akhir Agustus," kata Febrio menjelaskan.
Dia mengingatkan, kebijakan ini hanya berlaku sampai 31 Agustus 2022. Lalu pada 1 September, tarif pungutan ekspor akan kembali menggunakan skema progresif sebagaimana dalam ketentuan PMK Nomor 115 tahun 2022 tentang tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
"Jadi nanti, 1 September langsung naik lagi ke tarif yang progresif lagi," katanya.
Advertisement