Permohonan Penggunaan Ganja Medis untuk Cerebral Palsy Ditolak MK

Melihat kondisi buah hati menyandang cerebral palsy (CP) membuat Ibu asal Sleman, Yogyakarta Santi Warastuti melakukan berbagai upaya untuk perawatan anaknya. Salah satu pengobatan yang ia yakini ampuh membantu anak dengan cerebral palsy adalah penggunaan ganja medis.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 20 Jul 2022, 15:07 WIB
Santi Warastuti, orang tua dari anak yang mengalami penyakit Cerebral Palsy (CP) menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Rapat guna membahas mengenai legalisasi ganja untuk kebutuhan medis. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Melihat kondisi buah hati menyandang cerebral palsy (CP) membuat Ibu asal Sleman, Yogyakarta Santi Warastuti melakukan berbagai upaya untuk perawatan anaknya. Salah satu pengobatan yang ia yakini ampuh membantu anak dengan cerebral palsy adalah penggunaan ganja medis.

Namun, penggunaan ganja medis untuk terapi di Indonesia belum sah. Hal ini kemudian membawanya pada perjuangan untuk menyampaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar ganja medis bisa digunakan di Indonesia.

Sayangnya, permohonan Santi dan pemohon lainnya ditolak. Hal ini diumumkan langsung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Menurut Anwar, permohonan tersebut ditolak.

“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon V dan pemohon VI tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar dalam sidang putusan atas uji materi UU Narkotika, yang ditayangkan di YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (20/7/2022).

Dalam penjelasan UU 35/2009 ditegaskan, narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyatakan, pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara. Antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, hingga Thailand.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Dampak Ketergantungan Sangat Tinggi

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan saat sidang uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 atau legalisasi ganja untuk medis di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/7/2022). Sidang uji materi tersebut dengan pemohon Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Namun, fakta hukum tersebut tidak serta-merta bisa dijadikan parameter bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara.

“Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda baik jenis, bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan,” kata Daniel dalam sidang yang sama.

Daniel menambahkan, dalam perspektif ini, untuk negara Indonesia, diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu.

Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan. Khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia.

Terlebih berkenaan dengan pemanfaatan jenis narkotika golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi.


Menurut Ahli

Ilustrasi pengemasan daun ganja untuk pengobatan medis

Oleh karena itu, pemanfaatan narkotika golongan I di Indonesia harus diukur dengan kesiapan unsur-unsur yang sudah dijelaskan di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan  untuk pemanfaatannya.

Pemanfaatan ganja medis sebelumnya sudah mendapat tanggapan dari ahli. Salah satunya Guru Besar Fakultas Farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof apt Zullies Ikawati PhD.

Menurut Zullies, yang diperlukan dari ganja adalah cannabidiol atau CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.

"Karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan tetrahydrocannabinol (THC) yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental," kata Zullies kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks Rabu, 29 Juni 2022.

Zullies, menambahkan, di beberapa negara sudah banyak kajian tentang ganja untuk tujuan medis dan beberapa sudah ada uji kliniknya.

"Tetapi sekali lagi, ganja yang dimaksudkan adalah yang dalam bentuk obat, yang sudah jelas dosisnya, dan cara pemakaiannya," dia menambahkan.

Selama ada pilihan lain, kata Zullies, ganja medis tidak terlalu perlu digunakan. Dan, kalaupun akan digunakan, harus dalam bentuk yang sudah terstandar, sebagaimana obat.


Senyawa pada Ganja

pasangan suami-istri Santi Warastuti dan Sunarta berharap Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan bijak terkait penggunaan ganja untuk kepentingan medis

Sebelumnya, dia menjelaskan bahwa ganja medis adalah obat yang berasal dari ganja.

Ganja memiliki beberapa senyawa aktif yang bisa berefek terapi, maupun efek samping. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang terdiri lagi dari berbagai komponen zat lain. Yang utama adalah THC yang memiliki sifat psikoaktif.

"Yang artinya dapat memengaruhi psikis/mental, dan ialah yang bertanggung jawab terhadap efek ketergantungan, dan lain-lain," kata dia menekankan.

Ada lagi senyawa aktif yang namanya cannabidiol atau CBD, lanjutnya, di mana ini memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.

CBD ini lah yang sebenarnya memiliki efek salah satunya antikejang, dan itu sudah terbukti dalam uji klinik pada beberapa jenis penyakit kejang.

Di Amerika, Food and Drug Administration (FDA) sudah menyetujui obat yang mengandung CBD ini. Obat ini digunakan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet Syndrome (DS), yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.

“Jadi pada kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka kejang itu yang akan diatasi dengan ganja.”

Kasus viral yang dimaksud Zullies adalah terkait aksi Santi Warastuti dan suaminya Sunarta yang berjuang untuk sang anak yang menyandang cerebral palsy.

Perjuangan keduanya ditumpahkan saat Hari Antinarkotika Internasional yang jatuh pada Minggu 26 Juni 2022 di lokasi Car Free Day Bundaran Hotel Indonesia (CFD HI), Jakarta Pusat. Mereka meminta agar penggunaan ganja medis disahkan di Indonesia. Namun, saat ini MK belum dapat mengabulkan permohonan tersebut.

Infografis Malaysia Legalkan Ganja untuk Medis. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya