PBB: 8.000 Anak Tewas atau Cacat dalam Konflik Bersenjata Sepanjang 2021

PBB memverifikasi hampir 24.000 pelanggaran berat, dengan lebih dari 19.000 korban di kalangan anak-anak.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Jul 2022, 08:02 WIB
Duan anak laki-laki berada dekat rumah mereka yang rusak dalam gempa bumi di Distrik Spera, bagian barat daya Provinsi Khost, Afghanistan, 22 Juni 2022. Petugas PBB telah berusaha membantu situasi, namun upaya evakuasi terhambat oleh hujan deras. (AP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Saat mempresentasikan laporan tahunan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kepada Dewan Keamanan PBB pada Selasa (19/7), Utusan Khusus Untuk Anak-Anak dan Konflik Bersenjata, Virginia Gamba, mengatakan, "delapan ribu anak tewas atau cacat selama tahun 2021, menjadikannya pelanggaran berat yang paling banyak terjadi di antara pelanggaran berat lainnya."

Penggunaan bahan peledak sisa perang, alat peledak rakitan, dan ranjau darat, katanya, "memiliki dampak yang sangat menghancurkan dan menjadi penyebab jatuhnya seperempat korban anak-anak ini."

Ia menambahkan bahwa, "penggunaan senjata peledak di daerah berpenduduk juga sangat membahayakan anak-anak."

PBB memverifikasi hampir 24.000 pelanggaran berat, dengan lebih dari 19.000 korban di kalangan anak-anak.

Pelanggaran berat lainnya mencakup perekrutan dan penggunaan anak-anak untuk, di dan oleh pihak-pihak dalam konflik bersenjata, menolak akses kemanusiaan bagi anak-anak, penculikan dan pemerkosaan, serta bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.

Ketika menyampaikan beberapa rekomendasi, Gamba mengatakan "penting agar operasi PBB di lapangan diberi mandat, staf dan dana yang memadai untuk melakukan pemantauan, pelaporan, komunikasi dengan pihak-pihak, mengembangkan rencana aksi bersama, memberikan bantuan teknis pada penandatangan untuk tujuan implementasi, dan melakukan kegiatan lain yang kerap dilakukan, seperti intervensi penyelamatan dan memastikan pembebasan anak-anak dari konflik."

Utusan Khusus itu juga melaporkan beberapa tanda harapan dan pemulihan selama tahun 2021 lalu. Ia mengatakan, "pembebasan dan reintegrasi anak-anak adalah salah satu hasil paling nyata dari pekerjaan kita bersama, dan lebih dari 12.200 anak telah dibebaskan dari kelompok dan pasukan bersenjata tahun lalu, seringkali karena mengikuti nasihat PBB. Jumlah ini tetap stabil selama lima tahun terakhir, yang merupakan suatu pencapaian besar."

Kepala UNICEF Cahterine Russell mendesak negara-negara anggota untuk "berbuat lebih banyak."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


PBB Ungkap 463 Juta Anak Sedunia Tak Dapat Akses Sekolah Virtual Akibat COVID-19

Anak-anak Afghanistan duduk di antara barang-barang mereka yang diselamatkan setelah gempa bumi di desa Gayan, di provinsi Paktika, Afghanistan, Jumat, 24 Juni 2022. Provinsi Paktika terkena dampak paling parah dan PBB berjuang keras untuk menyediakan tempat penampungan darurat serta bantuan makanan. (AP Photo/Ebrahim Nooroozi)

Laporan terbaru Badan Anak-Anak PBB, UNICEF yang dirilis pada 26 Agustus mengungkap ada 463 juta anak di seluruh dunia kekurangan peralatan atau akses elektronik untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh.

Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore, memaparkan, "Banyaknya anak-anak yang pendidikannya benar-benar terganggu selama berbulan-bulan merupakan keadaan darurat pendidikan global."

"Dampaknya akan bisa dirasakan pada ekonomi dan masyarakat selama beberapa dekade mendatang," jelasnya.

PBB juga memperkirakan bahwa 1,5 miliar anak di seluruh dunia telah terpengaruh oleh kebijakan penutupan sekolah yang disebabkan oleh pandemi Virus Corona COVID-19, seperti dikutip dari AFP, Jumat (28/8/2020).

Laporan tersebut menggarisbawahi perbedaan geografis yang mempengaruhi akses anak-anak ke pendidikan jarak jauh. Namun dalam kasus itu, Eropa lebih sedikit terpengaruh, dibandingkan negara-negara di benua lain seperti di Afrika atau sebagian Asia.

Laporan yang dirilis PBB itu didasarkan pada data yang dikumpulkan dari sekitar 100 negara, dengan mengukur akses publik ke internet, televisi, dan radio. Bahkan anak-anak yang memiliki akses memadai, mungkin menghadapi kendala lain dalam aktivitas belajar jarak jauh.

Menurut laporan UNICEF, hal itu termasuk seperti kurangnya ruang kerja yang baik di rumah, tekanan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, atau kurangnya dukungan teknis saat masalah komputer muncul.


Asia Selatan Catat Jumlah Terbanyak

Anak-anak pengungsi Rohingya bermain sepak bola di kamp pengungsi Kutupalong di Ukhia (22/3/2022). Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras tahun 2017, yang menjadi subjek kasus genosida di pengadilan tertinggi PBB di Den Haag. (AFP/Munir Uz Zaman)

Di antara siswa di seluruh dunia yang tidak dapat mengakses pendidikan virtual, 67 juta anak berada di Afrika bagian timur dan selatan, 54 juta di Afrika bagian barat dan tengah. 

Adapun 80 juta di kawasan Pasifik dan Asia Timur, 37 juta di Timur Tengah dan Afrika Utara, 147 juta di Asia Selatan, dan 13 juta di Amerika Latin dan Karibia.

Sementara itu, tidak ada angka yang diberikan untuk AS atau Kanada.

UNICEF mendesak pemerintah untuk memprioritaskan pembukaan kembali sekolah yang aman ketika mereka mulai mengurangi pembatasan penutupan wilayah, dengan tahun ajaran baru yang akan segera dimulai di banyak negara - termasuk kelas tatap muka di banyak tempat.

Selain itu, pemerintah juga harus mengatur "kompensasi pendidikan untuk mengganti waktu belajar yang hilang," bila pembukaan kembali tidak mungkin untuk dilaksanakan, sebut laporan itu.


PBB: Ratusan Anak Tanpa Pendamping Dievakuasi dari Afghanistan

Seorang bayi laki-laki terbaring di tempat tidur saat menjalani perawatan di bangsal gizi buruk RS Anak Nasional Ataturk, Kabul, Afghanistan, 2 Desember 2021. Menurut PBB dari awal November, 8,7 juta orang di Afghanistan hidup mendekati kelaparan. (AP Photo/Petros Giannakouris)

PBB melaporkan bahwa banyak anak-anak dipisahkan dari keluarga mereka di tengah kondisi kacau di Afghanistan setelah Taliban berkuasa, dan ratusan dari mereka dievakuasi tanpa pendamping dari negara itu.

Melansir Channel News Asia, Rabu (8/9/2021), badan anak-anak PBB UNICEF mengatakan bahwa mereka dan mitranya telah mendaftarkan sekitar 300 anak-anak tanpa pendamping dan terpisah yang dievakuasi dari Afghanistan sejak 14 Agustus.

"Kami memperkirakan jumlah ini akan meningkat melalui upaya identifikasi yang berkelanjutan," kata kepala UNICEF Henrietta Fore dalam sebuah pernyataan.

Ia juga menyuarakan keprihatinan atas kesejahteraan dan keselamatan mereka.

Badan tersebut mengatakan bahwa banyak anak telah terpisah dari keluarga mereka ketika puluhan ribu orang berbondong-bondong ke bandara Kabul dalam upaya putus asa untuk meninggalkan negara itu sebelum pasukan AS ditarik sepenuhnya pada akhir Agustus.

Infografis Kiprah RI di DK PBB (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya