Cerita Jelang Tidur Didi Budiardjo: Antara Perjalanan Mimpi, Sustainability, dan Kesempatan Berbagi

Desainer Didi Budiardjo memanfaatkan kain stok yang tak terjual sebagai bahan utama untuk koleksi yang ditampilkan secara hybrid.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 21 Jul 2022, 21:23 WIB
Salah satu koleksi Didi Budiardjo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Desainer senior Didi Budiardjo baru saja menyelesaikan fashion show bertajuk Bedtime Stories. Ia membawakan 56 looks untuk koleksi di bawah label Didi Budiarjo yang sudah dirancang sejak sebelum pandemi. Desainer yang mengawali karir sejak 1996 itu memanfaatkan koleksi sebagai representasinya akan perjalanan mimpi, manifestasi dari semangat sustainability, dan momen untuk berbagi. 

"Tidak ada satu orang pun di dunia ini merasa siap menghadapi pandemi ketika dua tahun yang lalu. Ini sesuatu yang di luar dugaan. Saya kira ini akan berakhir cukup cepat, tapi setelah dua tahun nyatanya belum keluar dari pandemi ini," tuturnya dalam jumpa pers jelang pertunjukan pada Rabu sore, 20 Juli 2022.

Situasi pandemi, diakuinya, memengaruhinya sebagai desainer. Ia menyadari bahwa ia tak bisa terlalu memaksakan kehendak, khususnya kepada konsumen yang menjadi target pasarnya. Karena itulah, koleksi yang dihadirkannya kemarin malam bersifat sebagai tawaran dan jawabannya sepenuhnya di tangan konsumen.

"Koleksinya ada daywear, eveningwear, cocktail dress. Saya pandang ini sebagai koleksi multidimensional," ia menerangkan.

Lewat koleksi itu, ia ingin menawarkan ide-ide baru yang belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Salah satunya dengan membebaskan diri dari pakem desain era tertentu. Ia berusaha melintasi waktu, era, dan gaya tertentu dalam menerjemahkan kata kunci 'traveling'.

Sebagian koleksinya membawa penikmat mode ke masa Victorian, lain waktu bergaya Chinoiserie dengan pengaruh siluet cheongsam yang kental. Ada yang bergaya androgini, tetapi konsumen juga bisa menemukan rancangan yang ultra-feminin. Ia menggunakan warna dan motif yang bebas bagai sebuah mimpi tanpa batas, tetapi tetap memasukkan glamor romantis sebagai ciri khas yang ia sebut sudah mendarah daging.

"Saya pikir, prinsipnya setiap wanita memiliki mimpi. Dream dress setiap orang akan berbeda. Yang ingin saya garis bawahi adalah tentang diversity... Itu yang ingin saya tawarkan, semoga bisa menjawab keinginan wanita berpakaian secara baik," ucapnya.

 

Desainer Didi Budiardjo dalam jumpa pers jelang fashion show bertajuk Bedtime Stories, Rabu, 20 Juli 2022. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Era 90an

Salah satu koleksi Didi Budiardjo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Walau beragam, ada satu benang merah yang dipertahankan dari masing-masing tampilan dalam koleksi terbarunya, yakni kemodernan dan kemudahan berpakaian layaknya era 90an. "Saya memulai karir di era tahun 90an, dan kemudahan berpakaian di era tersebut tentu melekat dalam nafas kreativitas saya," kata Didi.

Rancangannya itu menggunakan bahan-bahan seperti velvet, jacquard, chinoiserie, dan guipure. Ia juga menambahkan ornamen beading, fringe, dan diamante sehingga motif pada bahan dasar yang digunakan terkesan lebih dramatis dan dreamy.

Sebagai desainer, ia tak hanya ingin membuat pakaian yang indah. Ada tanggung jawab lebih besar yang diembannya terhadap lingkungan. Untuk itu, ia memanfaatkan kain-kain tak laku untuk diolah menjadi sesuatu yang kekinian.

"Ada beberapa dead stock fabric. Dead stock itu tidak terjual selama beberapa dekade. Saya coba pergunakan untuk koleksi kali ini," kata dia.

 


Emisi Karbon

Koleksi Didi Budiardjo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Ia menyadari bahwa sektor fesyen adalah penyumbang polusi kedua terbesar di dunia. Tak ingin terseret arus buruk, ia berusaha ambil bagian dari semangat sustainability alias fesyen yang berkelanjutan.

"Saya harap ketika menggunakan dead stock fabric, bisa kurangi emisi karbon yang ada," imbuh dia.

Mengutip laporan dari World Economic Forum, Net Zero Challenge: The Supply Chain Opportunity, yang dikeluarkan pada 2021, fesyen dimasukkan sebagai salah satu dari delapan rantai pasok yang bertanggung jawab untuk lebih dari 50 persen emisi global. Industrinya sendiri menyumbang sekitar lima persen emisi global.

Karena itu, peran para pemangku kepentingan seperti desainer sangat diharapkan. Terlebih, khusus untuk Didi, kain-kain lama dengan motif 'lawas' dianggapnya pas untuk menggambarkan perjalanan waktu. Tentu, semua disesuaikan dengan kondisi terkini agar tetap relevan.

"Misalnya, baju yang saya siapkan dua tahun lalu tidak tampil malam ini. Tapi yang saya anggap relevan, saya tampilkan," ucapnya.

 


Donasi untuk Pendidikan

Koleksi Didi Budiardjo. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Dalam pertunjukan yang dihadiri sejumlah sosialitas, seperti istri Menko Perekonomian Yanti Airlangga dan Dewi Motik, juga menjadi ajang untuk berbagi. Pihak Didi yang diwakili Yayasan Duta Indonesia Maju menyerahkan donasi sebesar Rp200 juta untuk Sekolah Hijau Lestari yang berlokasi di Lembang, Kabupaten Bandung Utara.

Sekolah yang berada di Desa Pasir Angling, Sunten Jaya, Bandung Barat itu diperuntukkan bagi keluarga petani sayur. Pendirinya adalah seorang lulusan SD bernama Prapti Wahyuningsih. Pengalaman masa kecil sebagai anak adopsi seorang yang buta huruf, membuatnya ingin membalas kebaikan dengan kebaikan.

"Saya inginkan kalau ada sesuatu pagelaran seperti ini, kalau ada sempat bisa berbagi orang membutuhkan, kenapa enggak berbagi?" ujar pendiri yayasan, Lisa Ayodya.

Infografis desainer Indonesia di pentas fesyen dunia (Liputan6.com/Trie Yasni))

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya