3 Tanggapan Berbagai Pihak Usai MK Tolak Permohonan Penggunaan Ganja Medis

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak permohonan uji materi UU Narkotika terkait penggunaan ganja medis pada Rabu 20 Juli 2022.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 21 Jul 2022, 12:31 WIB
Ilustrasi pengemasan daun ganja untuk pengobatan medis. (Liputan6.com/Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak permohonan uji materi UU Narkotika terkait penggunaan ganja medis pada Rabu 20 Juli 2022.

"Satu, menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan secara daring di ruang sidang MK, Rabu 20 Juli 2022.

Meski menolak, dalam pertimbangannya, MK memerintahkan Pemerintah untuk segera melakukan riset terhadap Narkotika Golongan I dengan kepentingan praktis pelayanan kesehatan.

Dan usai ditolaknya uji materi UU Narkotika terkait penggunaan ganja untuk alasan kesehatan atau medis tersebut, beragam tanggapan pun bermunculan.

Salah satunya seperti disampaikan Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan (Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, LGN, EJA).

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar Pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan.

"Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika," tulis koalisi dalam keterangan pers diterima, Rabu 20 Juli 2022.

Koalisi juga mendesak agar pihak Pemerintah maupun swasta bisa menjalankan amanat MK yang memberi peluang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan, mayoritas fraksi di DPR sepakat untuk melakukan revisi UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 atau merevisi agar ganja bisa digunakan untuk keperluan medis.

"Sejumlah fraksi termasuk fraksi kami PPP (sepakat). Ini istilahnya bukan legalisasi ganja untuk medis, tapi relaksasi ganja untuk keperluan medis," ucap Arsul pada wartawan seperti dikutip, Kamis (21/7/2022).

Berikut sederet tanggapan berbagai pihak usai MK menolak permohonan uji materi UU Narkotika terkait penggunaan ganja medis dihimpun Liputan6.com:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


1. Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan

Suasana sidang uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 atau legalisasi ganja untuk medis di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (20/7/2022). Sidang uji materi tersebut dengan pemohon Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 20 Juli 2022 yang menolak permohonan uji materil pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.

Namun dalam pertimbangannya, MK memerintahkan Pemerintah untuk segera melakukan riset terhadap Narkotika Golongan I dengan kepentingan praktis pelayanan kesehatan.

Menanggapi hal itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan (Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, LGN, EJA) menyerukan agar Pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan.

"Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika," tulis koalisi dalam keterangan pers diterima, Rabu 20 Juli 2022.

Selain itu, koalisi mendesak agar pihak Pemerintah maupun swasta bisa menjalankan amanat MK yang memberi peluang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan.

"Pemerintah segera lakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan," ucap koalisi.

Koalisi meyakini, penelitian terkait juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif tentang pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

"MK telah menekankan kata segera pada putusannya, harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan," tegas koalisi.

Koalisi menyarankan, agar Pemerintah dapat merujuk terhadap penelitian-penelitian lain di luar negeri maupun yang dikeluarkan badan PBB.

Mulai dari kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).

"Pemerintah harus memberikan solusi kepada anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak tercover BPJS dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi," Koalisi memungkasi.

 


2. Partai NasDem

pasangan suami-istri Santi Warastuti dan Sunarta berharap Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan bijak terkait penggunaan ganja untuk kepentingan medis

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU Narkotika, yang berkaitan dengan penggunaan ganja medis.

Menanggapi hal tersebut, Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari menyatakan bahwa MK menyebutkan kewenangan pembentuk undang-undang atau open legal policy dan diserahkan kepada pembentuk undang-undang atau DPR untuk menindaklanjutinya.

"Saya berpandangan Pemerintah dan DPR wajib menindaklanjuti pertimbangan Putusan MK tersebut dengan menjadikan materi tentang pemanfaatan ganja sebagai layanaan kesehatan atau terapi dalam pembahasan revisi UU Narkotika yang sedang berlangsung," kata Taufik dalam keterangannya.

Taufik mengingatkan bahwa MK memberikan penekanan pada kata segera dalam Putusannya, hal itu menunjukkan urgensi adanya pengkajian ganja untuk medis.

"Untuk menindaklanjuti urgensi kajian pemerintah, maka saya menyarankan agar pemerintah juga merujuk pada kajian yang telah ada di tingkat internasional termasuk kajian dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang pada tahun 2019 merekomendasikan kepada the Commission on Narcotics Drugs (CND) yang dibentuk UN Ecosoc dan WHO untuk menjadikan cannabis atau ganja sebagai golongan narkotika yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan," ucap dia.

Anggota Komisi III DPR ini menyarankan pembahasan revisi UU Narkotika dapat dilakukan pengaturan yang komprehensif. Taufik menyebut pelarangan, pengendalian dan pemanfaatan narkotika jenis tertentu untuk kepentingan medis dapat dimuat normanya dalam UU sementara ketentuan teknis lainnya dapat diatur dalam aturan turunannya.

"Dengan begitu maka beberapa narkotika yang memiliki sifat ketergantungan tinggi tetap bisa dikontrol dengan ketat sembari dimanfaatkan untuk pelayanan Kesehatan dengan mekanisme yang ketat pula," kata dia.

Selain itu, menurut Taufik kasus Ibu Santi dan Ibu Dwi Pertiwi yang membutuhkan ganja medis untuk pengobatan cerebral palsy anaknya, merupakan masalah kemanusiaan yang perlu dicari solusi dan jalan keluarnya.

"Oleh karena itu langkah segera pasca putusan MK ini harus dilakukan dengan tetap berpikiran terbuka dan berpedoman pada perkembangan ilmu pengetahuan," jelas Taufik.

 


3. Komisi III DPR RI

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani menyatakan bahwa revisi UU Narkotika akan dibahas mulai Agustus 2022. Hal ini menyusul usulan penggunaan ganja untuk medis. (Liputan6.com/Delvira Hutabarat)

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan, mayoritas fraksi di DPR sepakat untuk melakukan revisi UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 atau merevisi agar ganja bisa digunakan untuk keperluan medis.

"Sejumlah fraksi termasuk fraksi kami PPP (sepakat). Ini istilahnya bukan legalisasi ganja untuk medis, tapi relaksasi ganja untuk keperluan medis," kata Arsul pada wartawan seperti dikutip, Kamis (21/7/2022).

Relaksasi yang dimaksud Arsul adalah revisi pada Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang berbunyi Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

"Relaksasinya dalam bentuk ada perubahan bunyi pasal 8 ayat (1)," kata dia.

Arsul memastikan proses revisi UU Narkotika tetap akan berlanjut meski sebelumnya MK menolak judisial review pasal tersebut.

"Revisi UU narkotika yang sekarang sedang berproses di DPR, dalam hal ini di Komisi III, maka ya nanti kembali apa yang jadi kesepakatan DPR dan pemerintah," pungkas Arsul.

Sebelumnya, Arsul Sani menyatakan, pembahasan revisi UU Narkotika No 35 Tahun 2009 akan langsung dibahas di masa sidang mendatang.

"Masa sidang yang akan datang, setelah 17 Agustus kita akan memulai pembahasan itu,” kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu 20 Juli 2022.

Menurut Arsul, pembahasan revisi akan dimulai dengan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para ahli.

"Sambil tentu pembahasan itu dibarengi dengan melakukan RDPU dulu dengan para dokter, ahli farmasi," kata dia.

Selain itu, Arsul mengingatkan DPR tidak berencana melegalkan ganja, tetapi merelaksasi penggunaan ganja untuk medis.

"Tetapi sekali lagi ingat jangan ada pembelokan. DPR atau komisi III tidak sedang melakukan usaha melegalkan ganja, bukan itu, apalagi untuk rekreasi atau untuk kesenangan. Kita cuma merelaksasi agar kalau perkembangan ilmu pengetahuan ke depan itu ada obat yang memang ada campuran ganja dan itu bisa mengobati penyakit," jelas dia.

Infografis MK Tolak Permohonan Ganja untuk Medis (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya