Liputan6.com, Jakarta Mahkamah konstitusi (MK) telah menolak permohonan terkait penggunaan ganja medis di Indonesia.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon V dan pemohon VI tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Anwar Usman selaku hakim konstitusi merangkap anggota dalam sidang putusan atas uji materi UU Narkotika, yang ditayangkan di YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Rabu (20/7/2022).
Advertisement
Terkait hal ini, farmakolog sekaligus Guru Besar Fakultas Farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof apt Zullies Ikawati PhD memberikan tanggapan.
“Tanggapan saya, saya tidak heran akan hal tersebut. Menurut saya, Undang-undang Narkotikanya tidak ada masalah, dan penggolongan narkotika 1, 2, dan 3 masih relevan. Adapun untuk lampirannya, menurut saya itu yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan, di mana hal itu dituangkan pada Peraturan Menteri Kesehatan,” ujar Zullies kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks Kamis (21/7/2022).
Permenkes terbaru terkait hal itu adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
“Jadi jika ada senyawa baru yang berisiko disalahgunakan dan tergolong narkotika, atau ada senyawa narkotika yang dapat masuk golongan 2 atau 3, dapat ditambahkan pada Permenkes tersebut, di mana peraturan ini menjadi peraturan pelaksana, sesuai UU Narkotika pasal 6 ayat 3.”
Sampai saat ini, lanjutnya, ganja masih dimasukkan ke dalam narkotika golongan 1, bersama tetrahydrocannabinol (THC) dan delta-9 THC, suatu komponen ganja yang bersifat psikoaktif.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Belum Urgen
Zullies menambahkan, jika dalam perkembangan dunia kesehatan menunjukkan ada obat-obat baru yang bisa diperoleh dari senyawa aktif ganja, maka bisa ditambahkan dalam Permenkes tersebut, pada penggolongan yang sesuai.
Namun, sejauh ini menurut Zullies penggunaan ganja untuk medis belum begitu perlu.
“Sejauh ini menurut saya belum urgen, karena masih banyak obat lain sebagai pilihan.”
“Perlu dipahami, jika yang digunakan adalah ganjanya, entah itu serbuknya, atau bentuk lain yang masih mengandung berbagai kandungan kimia termasuk THC, walaupun diembel-embeli dengan kata ‘medis’, maka itu masih berpotensi untuk disalahgunakan,” katanya.
Potensi disalahgunakan tetap ada lantaran masih ada efek-efek memabukkan dan menyebabkan ketergantungan atau bersifat psikoaktif. Namun, jika yang digunakan dalam bentuk murni, seperti cannabidiol-nya, yang sudah tidak bersifat psikoaktif, maka itu masih mungkin digunakan.
Dalam hal ini efeknya adalah sebagai obat anti kejang, seperti yang dibutuhkan oleh ibu yang anaknya mengalami cerebral palsy.
Advertisement
Masih Banyak Obat Lain
Terkait alternatif obat untuk terapi cerebral palsy atau lumpuh otak, Zullies mengatakan bahwa masih banyak obat anti kejang yang bisa digunakan.
“Masih banyak obat-obat anti kejang lain yang tersedia sebagai pengatasan kejang pada cerebral palsy.”
Sedangkan, soal dampak negatif dari penggunaan ganja, ini tergantung pada bagian yang digunakan. Artinya, jika yang digunakan adalah keseluruhan ganjanya, dalam bentuk campuran, maka masih bersifat psikoaktif. Ini bisa memberikan efek-efek memabukkan dan menyebabkan ketergantungan.
“Tapi, jika yang digunakan adalah dalam bentuk obat murni berisi senyawa aktif cannabidiol, maka mungkin bermanfaat sebagai anti kejang tanpa dampak negatif yang membahayakan.”
Cannabidiol sebagai obat, dengan nama Epidiolex, sudah disetujui oleh FDA maupun EMA sebagai obat anti kejang pada penyakit-penyakit kejang yang jarang pada anak-anak. Dan ia kemungkinan berpotensi baik juga jika dipakai pada kejang cerebral palsy.
Sebelumnya, MK menyatakan bahwa manfaat ganja tidak berbanding lurus dengan dampak negatif yang bisa ditimbulkan.
Tergantung Bagian yang Digunakan
Terkait hal itu, Zullies kembali menegaskan, jika pengertian "ganja medis" adalah keseluruhan ganja-nya, walaupun dengan alasan medis, maka tetap lebih banyak dampak negatifnya jika dilegalkan ganjanya.
“Akan lebih banyak ‘penumpang gelap’ yang akan ikut nimbrung dalam legalisasi ganja. Berapa persen sih pengguna ganja di Indonesia ini yang benar-benar ditujukan untuk alasan medis dibandingkan yang untuk rekreasional?” katanya.
Di beberapa negara sudah banyak kajian tentang ganja untuk tujuan medis dan beberapa sudah ada uji kliniknya.
"Tetapi sekali lagi, ganja yang dimaksudkan adalah yang dalam bentuk obat, yang sudah jelas dosisnya, dan cara pemakaiannya.”
Pasalnya, yang diperlukan dari ganja adalah cannabidiol atau CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.
"Karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental."
Selama ada pilihan lain, kata Zullies, ganja medis tidak terlalu perlu digunakan. Dan, kalaupun akan digunakan, harus dalam bentuk yang sudah terstandar, sebagaimana obat.
Advertisement