Liputan6.com, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
Pasalnya, AJI menilai aturan tersebut menjadi ancaman baru bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Bahkan, sejak regulasi itu terbit pada 2020, Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 telah meminta agar Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) membatalkan aturan tersebut.
Advertisement
"Pada 21 Mei 2021 misalnya, 25 organisasi masyarakat sipil dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengirim surat terbuka agar Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G.Plate mencabut beleid itu," kata Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito dalam keterangannya, Kamis (21/7/2022).
Sayangnya, Sasmito mengungkap Kominfo tidak mendengar aspirasi publik. Padahal kata dia, Permenkominfo 5/2020 akan berdampak luas pada publik, termasuk komunitas pers.
Sebelumnya, Kominfo memberi batas waktu pada seluruh PSE agar mendaftar paling lambat 20 Juli 2022. Jika tidak, Kominfo mengancam akan memberikan sanksi administratif hingga pemutusan akses atau pemblokiran terhadap platform maupun situs.
Diketahui ketentuan PSE tidak hanya untuk platform media sosial besar seperti Google, Meta Group, Tiktok, tapi juga berlaku untuk situs-situs berita. Sehingga AJI menilai ada upaya agar PSE tunduk pada ketentuan Permenkominfo 5/2020.
Seridaknya, AJI Indonesia mengidentifikasi empat pasal krusial di dalam Permenkominfo 5/2020 yang berisiko mengancam kebebasan pers secara langsung di Indonesia. Pertama, Pasal 9 ayat (3) dan (4) yang memuat ketentuan PSE swasta tidak memuat informasi yang dilarang.
Kriteria informasi dilarang tersebut meliputi yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum. Terlebih untuk konten yang mengkritik lembaga negara atau penegak hukum.
"Kriteria 'meresahkan masyarakat' dan 'mengganggu ketertiban umum' tersebut cukup lentur atau karet karena membuka ruang perdebatan, terlebih lagi jika menyangkut konten yang mengkritik lembaga negara atau penegak hukum," jelas Sasmito.
Tak hanya itu, dalam Permenkominfo tersebut juga tidak diatur klausul yang ketat mengenai standar, tidak melibatkan pihak independen yang berwenang untuk menilai konten, dan tidak memuat klausul soal mekanisme keberatan dari publik.
Berdampak pada Pemberitaan Soal Isu Tertentu
AJI mengatakan hal itu berdampak pada berita dan konten yang mengungkap soal isu pelanggaran HAM seperti di Papua, pada kelompok LGBT atau liputan investigasi yang membongkar kejahatan.
"Pengaturan yang karet/lentur dalam Permenkominfo 5/2020 justru menjadi pintu masuk penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan," ujar dia.
Kedua pada pasal 14 mengatur permohonan pemutusan akses atau blokir terhadap informasi yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum bisa dilakukan oleh masyarakat, kementerian/lembaga, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.
Ketentuan ini berisiko membuka pintu bagi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki agenda politik, dapat mengajukan blokir terhadap konten/berita yang sebenarnya memuat kepentingan publik, tapi dinilai sepihak meresahkan publik atau mengganggu ketertiban umum.
Ketiga, Pasal 21 dan Pasal 36 memuat ketentuan PSE wajib memberikan akses sistem elektronik dan data elektronik ke kementerian/lembaga untuk pengawasan dan ke APH untuk penegakan hukum.
AJI menilai ketentuan ini berisiko menjadi pintu bagi pemerintah untuk mengawasi kerja media. Pemerintah dan aparat dengan mudah bisa mengakses data pribadi dan membuka ruang pelanggaran hak privasi, termasuk pada jurnalis-jurnalis yang menjadi target.
Advertisement