Keadaan Ekonomi dan Geopolitik Dunia Tak Menentu, Pemerintah Diminta Waspada

Penasihat senior lembaga kajian LAB 45, Makmur Keliat mengamini kondisi dunia sekarang sudah barang tentu membuat Indonesia berdampak.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Jul 2022, 03:00 WIB
Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Ratas perdana dengan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju itu membahas Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Perekonomian. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Kondisi perekonomian dan geopolitik dunia di tengah pandemi Covid-19 bisa membuat Indonesia juga terdampak. Karena itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wapres Ma'ruf Amin harus tetap belajar dan mengantisipasi sebagai bentuk kewaspadaan.

Penasihat senior lembaga kajian LAB 45, Makmur Keliat mengamini kondisi dunia sekarang sudah barang tentu membuat Indonesia berdampak.

Misalnya saja, konflik di Ukraina yang berpengaruh pada pasokan energi dan harga pangan dunia. Tak main-main, kenaikan harga ini jadi yang paling tinggi dalam 21 tahun terakhir.

"Dari Januari 2022 sebenarnya sudah terlihat tren kenaikan energi meningkat ke atas," jelas Makmur dalam diskusi virtual LAB 45 bertema "Dampak Krisis Ekonomi Global terhadap Stabilitas Politik: Berkaca dari Eropa dan Sri Lanka", Kamis (21/7/2022).

Tren kenaikan harga pangan dan energi itu, kata dia, menjadi indikator dari banyak laporan di tingkat internasional bahwa ekonomi dunia saat ini sedang mengalami krisis.

"Kita bisa lihat peningkatannya luar biasa, saya kira mudah-mudahan bisa menurun seterusnya. Tetapi saya tak bisa berharap banyak karena perang terus berlanjut," jelas Makmur.

Karena itu, dia berharap Indonesia bisa membuat kerangka regulasi mengenai cadangan energi dan pangan, serta dalam membuat proyeksi ke depan harus selalu mempertimbangkan geopolitical risk.

"Jadi ekonomi makro tidak bisa atau tidak berada dalam ruang hampa geopolitical. Maka asesmen ke depan harus memasukkan variabel geopolitical risk," jelas Makmur.

 


Legitimasi Publik Diperlukan

Sementara, Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Mas'udi mengatakan, keadaan geopolitik dunia bisa menjadi bahan pembelajaran bagi Indonesia.

Dia pun mengambil contoh terkait fenomena mundurnya PM Inggris Boris Johnson dan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa. Melihat dua kasus ini bisa jadi pembelajaran sebuah rezim bisa berhatan jika bisa menjaga legitimasi publik.

Menurutnya. legitimasi publik yang dimaksud bagaimana menyeimbangan politik akan kebutuhan rakyat saat ini.

"Sifat yang tidak konstan namun fleksibel ini sangat menentukan arah policy ini dibawa ke mana," jelas Wawan.

 


Masih Jauh Resesi

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan, meski terjadi inflasi di Indonesia, ini tak terjadi di negara lain.

Menurutnya, dari sisi komoditas memiliki stok yang berlebih seperti batu bara dan produk pertanian.

"Dari situ kita lihat kondisi over supply, dari input secara umum over supply, pupuk kita masih tersedia, bahkan mau diekspor. Bahkan Pak Jokowi menargetkan swasembada beras," kata dia.

Terkait dengan kemungkinan resesi akibat krisis, Indonesia memiliki kemungkinan kecil.

Survei yang dilakukan para ekonom menyebut Indonesia hanya memiliki kemungkinan 3 persen mengalami resesi dibandingkan dengan Sri Lanka yang mencapai 85 persen.

"Tapi pak Jokowi ada benarnya, ini kita harus waspada," jelas Fithra.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya