Liputan6.com, Jakarta Isu penggunaan ganja medis di Indonesia masih hangat diperbincangkan. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan penggunaan ganja medis yang dimohonkan oleh enam pihak. Salah satunya adalah pemohon II, Santi Warastuti, ibu dari anak penyandang cerebral palsy (CP) atau lumpuh otak.
Mengenai hal ini, farmakolog sekaligus Guru Besar Fakultas Farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof apt Zullies Ikawati PhD mengatakan bahwa penggunaan ganja medis di Indonesia belum terlalu perlu.
Advertisement
“Sejauh ini menurut saya belum urgent, karena masih banyak obat lain sebagai pilihan,” ujar Zullies kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks Kamis (21/7/2022).
Pilihan obat yang dimaksud Zullies yakni Phenobarbital, Clonazepam, Phenytoin, dan Carbamazepine.
Menurut keterangan Birth Injury Help Center yang dibagikan Zullies kepada Health Liputan6.com pada Jumat 22 Juli, Phenobarbital adalah obat resep yang paling banyak digunakan dan terkenal yang diberikan kepada anak-anak dengan semua jenis cerebral palsy.
Phenobarbital termasuk dalam kelas obat yang dikenal sebagai barbiturat. Semua barbiturat bekerja pada dasarnya memperlambat atau merilekskan jenis aktivitas otak tertentu.
Untuk anak dengan cerebral palsy fenobarbital digunakan sebagai antikonvulsan yang menghalangi atau meminimalkan tindakan neurologis yang memicu kejang. Ini juga memiliki manfaat sampingan sebagai obat tidur.
Sedangkan, Clonazepam yang juga dikenal dengan nama merek AS Klonopin adalah keluarga obat yang dikenal sebagai benzodiazepin.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Clonazepam dan Phenytoin
Clonazepam dan obat benzodiazepine lainnya bekerja dengan membatasi impuls listrik abnormal di dalam otak. Obat ini paling sering digunakan untuk mengontrol serangan epilepsi pada anak dengan cerebral palsy yang epilepsi.
Clonazepam juga merupakan relaksan otot yang kuat dan bantuan tidur yang membuatnya sangat bermanfaat untuk anak-anak dengan cerebral palsy spastik di mana tonus otot yang berlebihan adalah gejala utama.
Obat berikutnya adalah Phenytoin yang juga dikenal dengan nama merek Dilantin. Ini diklasifikasikan sebagai antikonvulsan dan membantu mencegah kejang dengan membatasi jenis impuls listrik tertentu di dalam otak.
Tidak seperti obat lain yang lebih kuat yang dijelaskan di atas, Dilantin hanya membantu dengan jenis kejang tertentu.
Dilantin efektif melawan serangan epilepsi seperti kejang tonik-klonik atau disebut "grand mal". Namun, obat tersebut tidak berguna untuk mencegah absen/jatuh kejang dan justru bisa membuat kejang jenis ini lebih sering terjadi. Salah satu manfaat utama Dilantin dibandingkan obat lain adalah tidak membuat ketergantungan.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Carbamazepine
Carbamazepine lebih dikenal dengan nama merek AS Tegretol dan diklasifikasikan sebagai antikonvulsan.
Tegretol bekerja dengan membatasi jenis transmisi listrik tertentu di dalam otak yang diketahui memicu kejang. Seperti Dilantin dan antikonvulsan terkait lainnya, Tegretol hanya bekerja untuk jenis kejang yang biasanya terkait dengan epilepsi.
Tegretol tidak berguna untuk mencegah jenis kejang lain seperti kejang absen dan kejang mioklonik. Tegretol tidak membentuk kebiasaan yang membuatnya menjadi alternatif yang lebih aman dan tidak terlalu bermasalah dibandingkan obat yang lebih kuat yang digunakan untuk mencegah kejang.
“Ini beberapa obat antikonvulsan yang bisa digunakan untuk mengatasi kejang pada CP pada prinsipnya kejangnya sama, yaitu berlebihannya aktivitas syaraf dibandingkan penghambatannya,” kata Zullies.
Ia menambahkan, obat-obat anti kejang juga bisa bersifat penenang, seperti clonazepam dan phenobarbital.
“Jadi tidak harus berupa ganja juga, bisa menggunakan obat penenang lain yang cukup banyak tersedia dengan resep dokter. Tidak harus ke luar negeri juga.”
Terkait Ganja Medis
Sebelumnya Zullies menerangkan, yang diperlukan dari ganja adalah cannabidiol atau CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.
"Karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan tetrahydrocannabinol (THC) yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental."
Zullies, menambahkan, di beberapa negara sudah banyak kajian tentang ganja untuk tujuan medis dan beberapa sudah ada uji kliniknya.
"Tetapi sekali lagi, ganja yang dimaksudkan adalah yang dalam bentuk obat, yang sudah jelas dosisnya, dan cara pemakaiannya," dia menambahkan.
Selama ada pilihan lain, kata Zullies, ganja medis tidak terlalu perlu digunakan. Dan, kalaupun akan digunakan, harus dalam bentuk yang sudah terstandar, sebagaimana obat.
Ganja medis sendiri adalah obat yang berasal dari ganja. Ganja memiliki beberapa senyawa aktif yang bisa berefek terapi, maupun efek samping. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang terdiri lagi dari berbagai komponen zat lain. Yang utama adalah THC yang memiliki sifat psikoaktif.
"Yang artinya dapat memengaruhi psikis/mental, dan ialah yang bertanggung jawab terhadap efek ketergantungan, dan lain-lain," kata dia menekankan.
Advertisement