Liputan6.com, New York - Para anggota Kongres Amerika Serikat tengah menggelar sidang dengar pendapat yang digelar pada Kamis 21 Juli 2022 waktu setempat, untuk mengetahui apa yang dilakukan mantan Presiden AS Donald Trump selama lebih dari tiga jam di Gedung Putih, ketika ribuan pendukungnya menerobos Kongres untuk mencoba menghentikan pengesahan kemenangan Joe Biden dalam Pemilihan Presiden AS 2020.
Sebuah sidang yang memfokuskan untuk menyelidiki kerusuhan di gedung kongres, Capitol AS pada 6 Januari 2021.
Advertisement
Mengutip VOA Indonesia, Jumat (22/7/2022), Komite DPR AS yang beranggotakan sembilan orang berencana menampilkan montase rekaman video berisi testimoni para pembantu utama Trump di Gedung Putih serta menghadirkan testimoni langsung dari dua orang lainnya, yang mendukung tuduhan mereka bahwa Trump menyaksikan pemberontakan itu di televisi selama berjam-jam tanpa melakukan apa-apa untuk menghentikan pendukungnya.
Anggota DPR dari Partai Demokrat Elaine Luria, anggota komite yang akan memimpin sesi tanya-jawab pada Kamis malam itu, mengatakan kepada CNN pekan ini bahwa panel itu akan menelusuri "menit demi menit" apa yang dilakukan Trump selama tiga jam tujuh menit pada 6 Januari 2021 siang – sejak akhir pidatonya dalam aksi demonstrasi, yang mendorong pendukungnya untuk berjalan menuju gedung Capitol dan “bertempur sekuat tenaga,” hingga akhirnya meminta mereka membubarkan diri.
"Ia tidak bertindak. Ia punya kewajiban untuk bertindak. Jadi, kami akan membahasnya secara rinci," kata Luria.
Anggota komite dari Partai Republik, Adam Kinzinger, yang juga dijadwalkan untuk menanyai para saksi, mengatakan kepada program "Face the Nation" CBS pada Minggu 17 Juli, "Presiden tidak berbuat banyak dan malah menonton televisi dengan gembira selama jangka waktu tersebut."
Kedua saksi baru yang direncanakan hadir adalah mantan Wakil Juru Bicara Gedung Putih Sarah Matthews dan mantan Wakil Penasihat Keamanan Nasional Matthew Pottinger, yang mana keduanya mengundurkan diri dari jabatan mereka pada hari terjadinya kerusuhan sebagai bentuk protes atas tanggapan Trump terhadap peristiwa itu.
Selain itu, Matthews juga diharapkan dapat memberikan rincian kesaksian langsungnya atas apa yang terjadi di Gedung Putih pada hari itu, termasuk apakah Trump sudah mengetahui adanya kekerasan ketika ia mengecam wakil presidennya, Mike Pence, pada pukul 14.24 di Twitter, karena Pence menolak menghentikan pengesahan kemenangan Biden.
Trump mencuit: "Mike Pence tidak punya keberanian untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk melindungi negara dan Konstitusi kita, memberi kesempatan kepada negara-negara bagian untuk mengesahkan serangkaian fakta-fakta yang dikoreksi, bukannya fakta-fakta palsu dan tidak akurat yang diminta untuk mereka sahkan sebelumnya. AS menuntut kebenaran!"
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Donald Trump kabarnya telah memohon kepada Pence, secara pribadi maupun di depan umum sebelum kerusuhan, untuk mengembalikan hasil pilpres ke negara-negara bagian di mana ia menelan kekalahan tipis, agar para pemilih yang menguntungkannya dapat menggantikan para pemilih yang menguntungkan Biden. Pakar konstitusi menyebut hal itu ilegal apabila dilakukan.
Di AS, presiden dipilih lewat pemilihan terpisah di masing-masing dari ke-50 negara bagian, bukan melalui jumlah suara populer. Jumlah suara elektoral masing-masing negara bagian bergantung pada populasinya, di mana negara-negara bagian paling besar memiliki pengaruh terbesar. Para perusuh yang menerobos gedung Kongres mencoba menghentikan para anggota untuk mengesahkan kemenangan Biden yang memperoleh suara electoral college dengan perbandingan 306-232.
Dalam rekaman video kesaksiannya, Matthews mengatakan, “Saya ingat kami mengatakan bahwa cuitan itu tidak selayaknya diunggah saat itu. Situasinya sudah cukup parah. Cuitan itu seolah menyiram bensin di atas api yang menyala.”
Pottinger mengatakan kepada panel komite bahwa cuitan Trump memicunya mengundurkan diri. “Saya membaca cuitan itu dan membuat keputusan saat itu juga untuk mundur,” katanya dalam video kesaksian.
Rekaman video para saksi yang ditampilkan sebelumnya dalam sidang, termasuk kesaksian putri Trump sekaligus penasihat Gedung Putih, Ivanka, mengatakan bahwa sang presiden mengabaikan permintaan mereka untuk secara terbuka menghentikan para perusuh.
Trump pada akhirnya merilis rekaman video setelah pukul 16.00 yang berisi permintaan agar para perusuh meninggalkan gedung Kongres AS. Dalam cuitan berikutnya, ia tampak membenarkan tindakan mereka.
"Ini semua adalah hal-hal dan peristiwa yang terjadi ketika kemenangan telak pemilu yang suci, begitu saja dan dengan kejamnya dilucuti dari para patriot hebat yang telah diperlakukan secara buruk dan tidak adil selama ini,” tulisnya. “Pulanglah dengan cinta dan damai. Ingatlah hari ini selamanya!”"
Isyarat Pencalonan Presiden AS 2024
Trump, yang memberi isyarat kuat bahwa dirinya akan kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu 2024, hingga kini mengklaim bahwa dirinya dicurangi dari apa yang seharusnya menjadi periode kedua pemerintahannya.
Ia sering mencemooh panel investigasi 6 Januari DPR AS dan mengunggah pesan ke platform media sosialnya, Truth Social, bahwa komite itu “adalah penipuan dan aib bagi Amerika.” Trump mengatakan dirinya akan mempertimbangkan untuk mengampuni lebih dari 800 pengunjuk rasa yang ditangkap saat kerusuhan terjadi apabila ia kembali terpilih sebagai presiden.
Sidang dengar pendapat Kamis malam waktu Amerika mulanya dijadwalkan sebagai sidang terakhir. Akan tetapi, para anggota komite itu mengatakan bahwa mereka terus mengumpulkan informasi terkait kerusuhan itu dan bisa saja kembali menggelar sidang dengar pendapat tambahan di bulan September atau setelahnya.
Donald Trump Bakal Diadili Atas Peran dalam Serangan 6 Januari ke Kongres AS?
Ketika komite Kongres AS yang menginvestigasi serangan 6 Januari 2021 ke gedung kongres mengakhiri sidang dengar pendapat publik putaran pertamanya pekan ini, Departemen Kehakiman AS menghadapi tekanan yang meningkat untuk menuntut mantan Presiden AS Donald Trump sehubungan dengan serangan berdarah itu.
Departemen Kehakiman telah mendakwa lebih dari 800 pendukung Trump yang terlibat dalam kerusuhan dan sedang menyelidiki yang lainnya yang terkait dengan peristiwa itu.
Namun belum jelas apakah departemen itu akan mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menuntut seorang mantan presiden berdasarkan temuan sebuah komite.
"Kita tidak tahu apakah akan ada penuntutan yang muncul dari sidang dengar pendapat ini," kata William Banks, Profesor Hukum Terhormat Dewan Penasihat di Universitas Syracuse.
Itu bukan berarti Trump aman dari ancaman hukum. Ketika komite beranggotakan sembilan orang itu menggelar sidang pertamanya yang disiarkan televisi 9 Juni lalu, wakil ketua panel itu, anggota DPR AS dari Partai Republik, Liz Cheney, berjanji untuk membeberkan bukti yang menunjukkan mantan presiden itu bertanggung jawab karena telah merancang sebuah "rencana tujuh babak yang canggih untuk membatalkan pemilihan presiden dan mencegah pemindahan kekuasaan presiden."
Sepanjang ketujuh sidang dengar pendapat, panel bipartisan yang terdiri dari tujuh anggota Partai Demokrat dan dua anggota Partai Republik itu menggambarkan rencana tersebut, menghadirkan temuannya dari lebih dari 1.000 hasil wawancara dan lebih dari 125.000 dokumen.
Yang muncul adalah gambaran seorang presiden yang menelan kekalahan namun begitu kerasnya mempertahankan kekuasaan sehingga dia secara keliru mengklaim bahwa pemilu telah dicurangi terlepas dari bantahan-bantahan yang disampaikan para penasihatnya sendiri.
Ia lantas mendorong Departemen Kehakiman untuk mendukung kebohongannya, mendesak pejabat di negara-negara bagian kritis untuk membalikkan hasil penghitungan suara untuknya, menekan wakil presidennya sendiri, Mike Pence, agar membatalkan hasil pemilu, mendorong massa pendukungnya untuk turun ke gedung kongres, dan pada akhirnya gagal menghentikan para perusuh yang menerobos masuk ke gedung kongres.
Secara keseluruhan, temuan-temuan komite itu tampak menjadi dakwaan memberatkan bagi perilaku Trump, yang memunculkan kesan bahwa panel itu telah memunculkan seluruh bukti yang dibutuhkan jaksa penuntut untuk mendakwa sang mantan presiden.
Tapi masih harus dilihat apakah Departemen Kehakiman menganggap sudah ada cukup bukti untuk mendukung penuntutan.
Bahkan mereka yang berpikir bahwa temuan komite itu menjamin tuduhan kriminal terhadap Trump memperingatkan bahwa temuan-temuan itu menghadirkan cerita dari satu sisi.
"Sidang kongres itu bersifat sepihak, dalam arti bahwa tidak ada yang memeriksa silang saksi-saksi ini atau mencoba memeriksa kebenaran sumber mereka dan sejenisnya," kata Banks.
Dalam pernyataan setebal 12 halaman yang dirilis setelah sidang kedua komite bulan lalu, Trump membuat poin serupa dalam pembelaannya sendiri.
"Mengapa mereka tidak membiarkan opini yang berlawanan didengar? Mengapa mereka menyembunyikan bukti dari publik dan hanya menampilkan informasi yang mendukung cerita panjang kubu Demokrat?" tulis Trump, mengulangi klaim palsunya bahwa pilpres itu telah dicurangi.
Perlu digarisbawahi, komite kongres itu tidak berwenang menuntut Trump atau siapa pun juga. Kewenangan itu ada pada Departemen Kehakiman dan, pada akhirnya, Jaksa Agung Merrick Garland.
Dalam wawancara dengan ABC News 13 Juli lalu, Cheney mengatakan bahwa komite mungkin akan merujuk kasus Trump ke Departemen Kehakiman untut dilakukan penuntutan, namun departemen itu “tidak perlu menunggu” rujukan semacam itu.
Seiring penyelidikan Departemen Kehakiman terhadap orang-orang terdekat Trump, Garland hanya memberikan sedikit petunjuk apakah departemennya akan menyelidiki sang mantan presiden atas perannya dalam serangan 6 Januari. Ia mengatakan sebelumnya bahwa para jaksa “akan mengikuti fakta ke mana pun mereka mengarah.”
Juru bicara Garland tidak menanggapi email permohonan tanggapan terkait seruan penuntutan terhadap Trump.
Advertisement
Sidang DPR AS untuk Selidiki Kerusuhan 6 Januari Berdampak pada Masyarakat?
Jutaan warga Amerika Serikat dalam enam minggu terakhir telah menyaksikan sidang dengar pendapat yang digelar oleh komite bipartisan DPR AS, yang mendokumentasikan tindakan apa saja yang diambil mantan Presiden AS Donald Trump dan lingkaran terdekatnya dalam kaitan dengan serangan massa pendukung Trump ke gedung Kongres AS pada 6 Januari 2021.
Dua puluh juta pemirsa menyaksikan sidang pertama yang digelar pada 9 Juni lalu, yang disiarkan secara nasional pada jam utama tayangan televisi. Meski demikian, belum jelas apakah sidang-sidang itu akan menciptakan dampak tertentu, terlepas dari berbagai rincian baru yang muncul tentang apa yang terjadi di Gedung Putih di bawah kepemimpinan Trump sebelum dan selama terjadinya pemberontakan yang bertujuan menghentikan pengesahan kemenangan Joe Biden dalam pilpres AS.
Partai Demokrat berharap sidang-sidang itu, termasuk yang digelar Kamis (21/7) waktu setempat, akan mengakhiri karir politik Trump dan mungkin lebih jauh lagi, kata Profesor Studi Perkotaan dan Kebijakan Publik Dillard University Robert Collins.
"Yang diinginkan Demokrat adalah menemukan cukup bukti pelanggaran pidana – bukti yang cukup kuat bahwa mantan Presiden Trump telah menghasut para pendukungnya untuk menyerbu gedung Kongres untuk membatalkan hasil pemilu 2020 – sehingga Departemen Kehakiman dapat mengajukan tuntutan pidana terhadapnya dan rekan-rekan konspiratornya," kata Collins kepada VOA.
"Tapi itu adalah sesuatu yang sulit terwujud, karena ada berbagai masalah yang timbul dari penuntutan terhadap mantan presiden,” tambah Collins. "Jika mereka setidaknya bisa merusaknya secara politis sehingga ia tidak bisa lagi mencalonkan diri menjadi presiden dengan sukses, saya rasa Demokrat sudah cukup senang."
Hasil Jajak Pendapat Terbaru
Jajak pendapat baru yang dirilis pada Kamis menunjukkan bahwa 57 persen warga AS percaya Trump pantas “disalahkan” atas kerusuhan 6 Januari di gedung Kongres. Menurut jajak pendapat NPR/PBS NewsHour/Marist, 92 persen pendukung Partai Demokrat menyalahkan sang mantan presiden dan hanya 18 persen responded yang mempunyai sentimen yang sama dengan kubu Republik.
Lima puluh persen percaya Trump seharusnya didakwa dengan kejahatan berdasarkan bukti yang disajikan di sidang DPR, tetapi hanya 28 persen yang berpikir bahwa itu akan terjadi.
Jajak pendapat itu menunjukkan bahwa 80 persen pendukung Demokrat memantau sidang-sidang itu, sementara hanya 55 persen di kalangan independen dan 44 persen di kalangan pendukung Partai Republik yang mengikutinya.
Jumlah penonton tayangan persidangan pun menurun, di mana hanya sembilan juta orang Amerika menonton sidang ketiga – kurang dari separuh jumlah pemirsa sidang pertama.
"Saya belum menonton sidang-sidang itu sama sekali dan saya juga belum menonton tayangan media arus utama," kata Perez di negara bagian Georgia. “Saya berasumsi itu juga yang dilakukan sebagian besar pendukung Trump MAGA (Make America Great Again atau Buat Amerika Kembali Berjaya, red.). Sidang ini tidak memiliki kredibilitas di mata kami.”
Tapi banyak pendukung Demokrat mengatakan bahwa mereka masih menganggap sidang itu layak ditonton.
"Secara pribadi, rasanya lega melihat kesaksian yang membuktikan bahwa karakter Trump seburuk yang saya lihat sebelumnya," kata Glazer asal California. "Tapi stasiun televisi seperti FOX tidak menayangkan sidang-sidang itu dan hampir tidak mengomentarinya kecuali untuk mencemooh Demokrat. Tidak heran sidang itu tidak menjangkau banyak pendukung Republik."