Perubahan Iklim Diprediksi Sebabkan Gelombang Panas Berlangsung Lebih Lama

Gelombang panas yang saat ini melanda sebagian besar daratan Eropa berdampak mematikan bagi manusia.

oleh Putu Elmira diperbarui 22 Jul 2022, 20:03 WIB
Warga duduk di kursi malas Taman Alnwick saat gelombang panas melanda Eropa di Alnwick, Inggris, Rabu (24/7/2019). Badan cuaca nasional Inggris, Met Office, meramalkan suhu akan memuncak di negara tersebut hingga bisa mencapai 39 Celcius. (Owen Humphreys/PA via AP)

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang panas yang tengah melanda sebagian besar Eropa memecahkan rekor suhu yang dialami oleh India dan Pakistan pada Maret lalu. Hal tersebut adalah tanda yang jelas dari perubahan iklim, kata para ahli Senin, 18 April 2022.

"Setiap gelombang panas yang kita alami hari ini telah menjadi lebih panas dan lebih sering karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia," kata Friederike Otto, dosen senior di Grantham Institute for Climate Change Imperial College London, dikutip dari AFP, Jumat, 22 Juli 2022.

Otto menambahkan, "Ini fisika murni, kita tahu bagaimana molekul gas rumah kaca berperilaku, kita tahu ada lebih banyak di atmosfer, atmosfer semakin hangat dan itu berarti kita mengharapkan untuk melihat gelombang panas yang lebih sering dan gelombang panas yang lebih panas."

Dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan dalam disiplin yang dikenal sebagai ilmu atribusi telah memungkinkan ahli iklim untuk menghitung seberapa besar kontribusi pemanasan global terhadap peristiwa cuaca ekstrem individu. Gelombang panas India-Pakistan, misalnya, diperkirakan 30 kali lebih mungkin terjadi dengan pemanasan lebih dari 1,1 derajat Celcius yang disebabkan oleh aktivitas manusia sejak pertengahan abad ke-19.

Gelombang panas yang memecahkan rekor di Amerika Utara pada Juni 2021, menyebabkan ratusan orang tewas ketika suhu melonjak hingga 50 derajat Celcius di beberapa tempat. Ini hampir tidak mungkin terjadi tanpa pemanasan global.

Gelombang panas besar Eropa terakhir pada 2019, dibuat 3 derajat Celcius lebih panas oleh perubahan iklim. "Peningkatan frekuensi, durasi, dan intensitas peristiwa ini selama beberapa dekade terakhir jelas terkait dengan pemanasan planet yang diamati dan dapat dikaitkan dengan aktivitas manusia," kata World Meteorological Organisation dalam sebuah pernyataan pada Senin, 18 Juli 2022.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Gelombang Panas Eropa

Seorang pria meletakkan botolnya di air mancur untuk mendinginkannya selama gelombang panas, di Bordeaux, Senin (18/7/2022). Peramal cuaca menempatkan 15 departemen di sebagian besar sisi barat Prancis ke status siaga tertinggi untuk suhu ekstrem saat gelombang panas melanda negara itu dan akan mencapai puncaknya. (ROMAIN PERROCHEAU / AFP)

Dengan suhu yang tak tertahankan minggu ini, para ilmuwan sepakat bahwa ada yang lebih buruk yang akan datang. Pada pemanasan 1,5 derajat Celcius, para ilmuwan iklim PBB menghitung bahwa gelombang panas akan lebih dari empat kali lebih mungkin daripada garis dasar pra-industri.

Pada 2 derajat Celcius atau pemanasan, angka itu mencapai 5,6 kali lebih mungkin, dan pada 4 derajat Celcius gelombang panas akan hampir 10 kali lebih mungkin terjadi. Terlepas dari tiga dekade negosiasi yang dipimpin PBB, rencana iklim negara-negara kini menempatkan Bumi di jalur untuk menghangatkan 2,7 derajat Celcius sebagai "bencana", menurut PBB.

Matthieu Sorel, ahli iklim di Meteo-France, menyampaikan bahwa perubahan iklim telah memengaruhi frekuensi dan tingkat keparahan gelombang panas. "Kami sedang menuju musim panas yang lebih panas dan lebih panas, di mana 35C menjadi norma dan 40 derajat Celcius akan tercapai secara teratur," katanya.

Gelombang panas di masa depan sangat bergantung pada seberapa cepat ekonomi global dapat menghilangkan karbon. Panel ilmu iklim PBB telah menghitung bahwa 14 persen umat manusia akan terkena panas berbahaya rata-rata setiap lima tahun dengan pemanasan 1,5 derajat Celcius dibandingkan dengan 37 persen pada 2 derajat Celcius.


Di Masa Mendatang

Pejalan kaki berjalan menyusuri jalan saat lampu apotek menunjukkan suhu turun 44 derajat celsius di Nantes, Senin (18/7/2022). Peramal cuaca menempatkan 15 departemen di sebagian besar sisi barat Prancis ke status siaga tertinggi untuk suhu ekstrem saat gelombang panas melanda negara itu dan akan mencapai puncaknya. (Loic VENANCE / AFP)

"Di semua tempat di dunia di mana kami memiliki data, ada peningkatan risiko kematian saat kami terpapar suhu tinggi," kata Eunice Lo, ilmuwan iklim di Cabot Institute for the Environment University of Bristol.

Ia menambahkan, "Bukan hanya orang-orang yang paling rentan yang berisiko terdampak kesehatan dari panas, bahkan orang yang bugar dan sehat yang akan berisiko."

Ada risiko nyata di masa depan dari apa yang disebut "wet-bulb" temperature, yakni panas bergabung dengan kelembapan untuk menciptakan kondisi di mana tubuh manusia tidak dapat mendinginkan dirinya sendiri melalui keringat. Ini melampaui tingkat mematikan di banyak bagian dunia.

Selain ancaman terhadap kesehatan manusia, gelombang panas menambah kekeringan dan membuat area yang lebih luas rentan terhadap kebakaran liar, seperti yang sekarang berkobar di beberapa bagian Prancis, Portugal, Spanyol, Yunani, dan Maroko. Kondisi ini juga mengancam pasokan makanan.

India, produsen gandum terbesar kedua di dunia, memilih untuk melarang ekspor biji-bijian. Hal tersebut setelah gelombang panas berdampak pada panen hingga memperburuk kekurangan di beberapa negara yang dipicu oleh invasi Rusia ke eksportir utama Ukraina.


Rekor Kebakaran

Petugas pemadam kebakaran memerangi api dekat Landiras, barat daya Prancis, 17 Juli 2022. Petugas pemadam kebakaran berjuang melawan kebakaran hutan yang berkobar di luar kendali di Prancis dan Spanyol ketika Eropa layu di bawah gelombang panas luar biasa ekstrem. (SDIS 33 via AP)

Para ilmuwan memperingatkan perubahan iklim telah berkontribusi pada kebakaran yang semakin ganas. Kebakaran yang telah melanda seluruh Eropa akan menjadikan 2022 sebagai tahun rekor hilangnya hutan di benua itu. Kebakaran di beberapa bagian Prancis, Spanyol, dan Portugal telah membakar lebih banyak lahan sepanjang tahun ini daripada di sepanjang 2021, sekitar 517.881 hektare atau setara dengan luas Trinidad dan Tobago.

"Situasinya jauh lebih buruk dari yang diperkirakan, bahkan jika kami memperkirakan anomali suhu dengan perkiraan jangka panjang kami," kata Jesus San Miguel, koordinator layanan pemantauan satelit EFFIS Uni Eropa kepada AFP.

San Miguel menyebut mungkin ada yang lebih buruk yang akan datang, menambahkan bahwa ciri-ciri pemanasan global ada di seluruh musim kebakaran tahun ini. "Kebakaran disebabkan oleh manusia (tetapi) gelombang panas sangat penting, dan jelas terkait dengan perubahan iklim," katanya.

"Musim kebakaran dulu terkonsentrasi dari Juli hingga September. Sekarang kami mendapatkan musim yang lebih panjang dan kebakaran yang sangat hebat. Kami memperkirakan perubahan iklim akan menciptakan kondisi kebakaran yang lebih tinggi di Eropa," tambahnya.

Suhu telah menghangat lebih dari 1,1 derajat Celcius sejak era industri, dan PBB menyebut Bumi saat ini berada di jalur untuk menghangatkan sekitar 2,7 derajat Celcius abad ini. Panas tambahan ini cukup untuk membuat jenis gelombang panas yang membakar Eropa minggu ini lebih mungkin terjadi dan bertahan lebih lama saat itu terjadi.

Infografis: Bumi Makin Panas, Apa Solusinya? (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya