KPP Sita Aset Perusahaan di Poso yang Belum Lunasi Utang Pajak Rp 1,2 Triliun

Tim KPP Pratama Poso melakukan penyitaan aset setelah melayangkan surat paksa kepada wajib pajak.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Jul 2022, 19:00 WIB
Suasana pelayanan pajak di Kantor KPP Pratama Jakarta Jatinegara, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022). Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak resmi memulai penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk memudahkan masyarakat dalam mengakses layanan perpajakan ke depannya. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - penegakan hukum terhadap penunggak pajak terus dijalankan pemerintah. Terbarui, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Poso menyita aset milik perusahaan yang belum melunasi utang pajak Rp 1,2 triliun.

Jurusita KPP Pratama Poso Danu Satya Wiguna menjelaskan, aset wajib pajak korporasi yang disita berada di Desa Bahomotefee Bungku Timur, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

“Kami menyita 2 unit truk operasional merek Hino milik perusahaan yang belum melunasi tunggakan pajak sebesar Rp 1,2 triliun,” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Jumat (22/7/2022).

Danu menjelaskan pihaknya sudah melakukan upaya penagihan persuasif kepada perusahaan yang tidak disebutkan inisialnya itu. Namun, wajib pajak tidak beritikad baik untuk melunasi tunggakan pajaknya.

Oleh karena itu, tim KPP Pratama Poso melakukan penyitaan aset setelah melayangkan surat paksa kepada wajib pajak.

Adapun prosedur penyitaan tersebut sesuai dengan yang tertera dalam UU No.19/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP).

Untuk diketahui, petugas pajak berhak menyita aset milik wajib pajak apabila yang bersangkutan tidak melunasi utang pajaknya setelah diberikan surat paksa.

Selanjutnya, jika wajib pajak tidak melunasi utang pajak dalam waktu 14 hari sejak pelaksanaan sita, aset akan dilelang dan hasil lelangnya masuk ke kas negara sebagai pelunasan utang pajak.

Danu menyampaikan aksi penyitaan ini dilakukan oleh tim KPP Pratama Poso yang terdiri dari jurusita, dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Bungku Amor Palulu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Cara DJP Gali Potensi Penerimaan Pajak

Warga mengurus layanan perpajakan di Kantor KPP Pratama Jakarta Jatinegara, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022). Lewat penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka masyarakat kini cukup hanya dengan mengingat NIK. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perpajakan (DJP) terus berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan penerimaan dari semua subjek pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

“Hal ini untuk merespon adanya pertanyaan dari masyarakat terkait bagaimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggali potensi penerimaan pajak,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor, alam keterangannya, Jumat (22/7/2022).

Dia menjelaskan, selama ini pemerintah dalam hal ini DJP terus memperbaiki sistem administrasi serta kepastian regulasinya untuk memperluas basis data perpajakan.

Pemerintah telah memiliki kewenangan untuk meminta data keuangan berupa laporan keuangan, bukti, maupun keterangan dari lembaga jasa keuangan, seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, atau jasa keuangan lainnya berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang penetapan Perppu 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang, yang data tersebut secara rutin diterima oleh DJP setiap bulan April.

Ada 69 Instansi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lainnya juga mengirim data terkait perpajakan secara berkala kepada DJP yang diterima setiap bulan, setiap semester atau setiap tahun tergantung dari jenis datanya.

Berdasarkan data yang bersumber sebagaimana disampaikan di atas, DJP melakukan tugas dan fungsinya yaitu melakukan pengujian baik formal maupun material terhadap kepatuhan Wajib Pajak, dan juga melakukan pengawasan termasuk pengawasan berbasis kewilayahan.

“Kegiatan pengujian kepatuhan dan pengawasan dilaksanakan terkait dengan pemungutan pajak di Indonesia yang didasarkan pada Self-Assessment System, di mana Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya,” ujarnya.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Profil Wajib Pajak

Petugas melayani warga yang mengurus layanan perpajakan di Kantor KPP Pratama Jakarta Jatinegara, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (21/7/2022). Lewat penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka masyarakat kini cukup hanya dengan mengingat NIK. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Apabila berdasarkan pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut terdapat ketidaksesuaian, antara data yang diperoleh DJP dengan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan maka akan ditindaklanjuti dengan surat imbauan atau permintaan penjelasan atau klarifikasi, yang kemudian dapat berlanjut sampai dengan kegiatan pengujian kepatuhan berupa pemeriksaan.

Apabila data yang diperoleh menyatakan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka akan ditindaklanjuti dengan imbauan untuk mendaftarkan diri atau DJP akan menerbitkan NPWP secara jabatan.

Dalam melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Wajib Pajak, DJP juga memetakan Wajib Pajak berdasarkan skala usahanya. DJP membagi Wajib Pajak di KPP Pratama dalam dua kategori, yaitu Wajib Pajak Strategis dan Wajib Pajak Kewilayahan. Klasifikasi ini dimaksudkan agar pengawasan berjalan lebih efisien.

Dalam melakukan penggalian potensi pajak, DJP menerapkan cara yang terstruktur, metodis, dan objektif dengan menggunakan Compliance Risk Management (CRM) untuk memetakan profil Wajib Pajak berbasis risiko kepatuhan.

“CRM adalah mesin risiko yang memetakan risiko kepatuhan Wajib Pajak berdasarkan data SPT yang disandingkan dengan data yang diterima dari pihak ketiga,” ujarnya.

Hal inilah yang menjadi dasar penerbitan surat imbauan/permintaan penjelasan. Total imbauan/permintaan penjelasan yang sudah diterbitkan DJP dalam kurun waktu tahun 2019 s.d 2021 sebanyak 9,5 juta surat yang ditujukan kepada 3,9 juta Wajib Pajak.

 


Program Pengungkapan Sukarela

Neil juga menegaskan, DJP terbuka terhadap informasi terkait kegiatan usaha atau potensi pajak dari masyarakat.

“Setiap informasi yang masuk, kami tindaklanjuti secara sistematis. Kami punya prosedur bernama pemeriksaan atas Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP),” tegasnya.

Atas Wajib Pajak yang selama ini belum seluruhnya melaporkan harta dalam SPT Tahunan tahun 2020, DJP belum lama ini memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengungkapkan hartanya secara sukarela melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Kesempatan ini diberikan secara terbuka, transparan dan adil kepada semua Wajib Pajak sebelum DJP menjalankan Undang-Undang pajak secara konsisten, transparan, dan akuntabel sebagai bentuk gotong royong membangun Indonesia.

 

Infografis Dugaan Suap di Kantor Pajak. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya