WHO: Jutaan Pengungsi dan Migran Jatuh Sakit Akibat Kurangnya Layanan Kesehatan

Badan Kesehatan Dunia WHO baru saja menerbitkan laporan pertama berskala global tentang kesehatan pengungsi dan migran.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Jul 2022, 08:03 WIB
Anak-anak pengungsi Rohingya bermain sepak bola di kamp pengungsi Kutupalong di Ukhia (22/3/2022). Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras tahun 2017, yang menjadi subjek kasus genosida di pengadilan tertinggi PBB di Den Haag. (AFP/Munir Uz Zaman)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Kesehatan Dunia WHO baru saja menerbitkan laporan pertama berskala global tentang kesehatan pengungsi dan migran.

Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut laporan ini sebagai kajian penting dan suatu peringatan karena mengungkapkan perbedaan besar antara kesehatan pengungsi dan migran, dengan populasi yang lebih luas di negara yang menampung mereka, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (22/7/2022).

“Misalnya, banyak pekerja migran terlibat dalam apa yang disebut sebagai pekerjaan 3D – dirty, dangerous, demanding – atau pekerjaan kotor, berbahaya dan yang banyak persyaratannya, tanpa perlindungan sosial dan kesehatan yang memadai, atau langkah-langkah kesehatan kerja yang layak. Para pengungsi dan migran ini hampir tidak ada dalam survei dan data kesehatan global, sehingga membuat mereka hampir tak terlihat dalam desain sistem dan layanan kesehatan,” kata Tedros.

Tedros mencatat satu miliar orang, atau satu dari setiap delapan orang di Bumi, adalah pengungsi atau migran. Dan jumlah ini terus bertambah. Tedros mengatakan saat ini semakin banyak orang yang tergerak untuk menanggapi konflik yang berkembang, perubahan iklim, meningkatnya ketidaksetaraan dan keadaan darurat global seperti pandemi virus corona.

Ditambahkannya, kebutuhan kesehatan para pengungsi dan migran ini sering diabaikan dan tidak tertangani di negara-negara yang mereka singgahi atau tinggali.

“Mereka menghadapi banyak tantangan, termasuk harus mengeluarkan biaya sendiri, perlakuan diskriminatif dan ketakutan akan ditahan atau dideportasi. Banyak negara memang memiliki kebijakan kesehatan yang mencakup layanan kesehatan bagi pengungsi dan migran. Tetapi terlalu banyak kebijakan yang tidak efektif atau belum diterapkan secara efektif,” ungkapnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Cerita Lain

Pengungsi Rohingya dari Rakhine State, Myanmar di Bangladesh. (Dokumentasi KBRI Dhaka)

Waheed Arian, seorang pengungsi Afghanistan yang juga dokter medis di Inggris, mengenang kondisi di mana ia dan keluarganya tinggal di sebuah kamp pengungsi di Pakistan selama akhir 1980an. Ia mengatakan mereka sempat terkena banyak penyakit, termasuk malaria dan TBC.

“Kondisi yang kita lihat di kamp-kamp pengungsi di berbagai belahan dunia sekarang ini tidak jauh berbeda dengan kondisi yang saya alami secara langsung. Meskipun kami aman dari bom, kami tidak aman secara fisik. Kami tidak aman secara sosial. Kami tidak aman secara mental,” ujar Arian.

Tedros menyerukan kepada pemerintah dan organisasi yang bekerja dengan pengungsi dan migran untuk bersama-sama melindungi dan mempromosikan kesehatan pengungsi dan migran ini. Ia mengatakan laporan itu juga menetapkan strategi untuk mencapai sistem kesehatan inklusif yang lebih adil, yang mempromosikan kesejahteraan bagi semua orang.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


PBB: Lebih dari 100 Juta Orang Terpaksa Mengungsi Akibat Perang Rusia-Ukraina

Reaksi Natali Sevriukova di samping rumahnya menyusul serangan roket di kota Kyiv, Ukraina, 25 Februari 2022. Tepat pada hari ini, Kamis, 24 Maret 2022, invasi Rusia ke Ukraina sudah terhitung genap satu bulan penuh. (AP Photo/Emilio Morenatti)

Perang Rusia di Ukraina telah mendorong jumlah pengungsi paksa di seluruh dunia di atas 100 juta untuk pertama kalinya, kata PBB, Senin (23 Mei).

"Jumlah orang yang terpaksa melarikan diri dari konflik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penganiayaan kini telah melampaui angka 100 juta untuk pertama kalinya dalam catatan, didorong oleh perang di Ukraina dan konflik mematikan lainnya," kata UNHCR, Badan Pengungsi PBB. 

Angka yang "mengkhawatirkan" itu harus mengguncang dunia untuk mengakhiri konflik yang memaksa sejumlah besar orang meninggalkan rumah mereka sendiri, kata UNHCR dalam sebuah pernyataan. Demikian seperti dilansir dari laman Channel News Asia, Senin (23/5/2022). 

UNHCR mengatakan jumlah orang yang dipindahkan secara paksa meningkat menjadi 90 juta pada akhir tahun 2021, didorong oleh kekerasan di Ethiopia, Burkina Faso, Myanmar, Nigeria, Afghanistan, dan Republik Demokratik Kongo.

Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari dan sejak itu, lebih dari delapan juta orang telah mengungsi di dalam negeri, sementara lebih dari enam juta pengungsi telah melarikan diri melintasi perbatasan.

"Seratus juta adalah angka yang mencolok - serius dan mengkhawatirkan dalam ukuran yang sama. Ini rekor yang seharusnya tidak pernah dibuat," kata kepala UNHCR Filippo Grandi.

"Ini harus menjadi peringatan untuk menyelesaikan dan mencegah konflik yang merusak, mengakhiri penganiayaan, dan mengatasi penyebab mendasar yang memaksa orang yang tidak bersalah meninggalkan rumah mereka."


Krisis Kemanusiaan

Pengungsi dari Ukraina terlihat di peron menaiki kereta ke Warsawa, di stasiun kereta api di Przemysl, Polandia tenggara, pada 5 April 2022. Lebih dari 4,2 juta pengungsi Ukraina telah meninggalkan negara itu sejak invasi Rusia, kata PBB. (Wojtek RADWANSKI / AFP)

Angka 100 juta berjumlah lebih dari satu persen dari populasi global, sementara hanya 13 negara yang memiliki populasi lebih besar daripada jumlah orang yang dipindahkan secara paksa di dunia.

Angka tersebut menggabungkan pengungsi, pencari suaka, serta lebih dari 50 juta orang yang mengungsi di dalam negara mereka sendiri.

"Tanggapan internasional terhadap orang-orang yang melarikan diri dari perang di Ukraina sangat positif," kata Grandi.

"Belas kasih itu hidup dan kami membutuhkan mobilisasi serupa untuk semua krisis di seluruh dunia. Tetapi pada akhirnya, bantuan kemanusiaan adalah paliatif, bukan obat.

"Untuk membalikkan tren ini, satu-satunya jawaban adalah perdamaian dan stabilitas sehingga orang yang tidak bersalah tidak dipaksa untuk bertaruh antara bahaya akut di rumah atau pelarian berbahaya dan pengasingan."

UNHCR akan menguraikan data lengkap tentang pemindahan paksa pada tahun 2021 dalam Laporan Tren Global tahunannya, yang akan dirilis pada 16 Juni.

Infografis Indonesia, Tempat Transit Pengungsi Global. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya