Liputan6.com, Jakarta - Federasi Rusia adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan nuklir di dunia. Ternyata, dulunya Ukraina juga unggul dalam persenjataan nuklir.
Komisioner Anggaran di Komisi Eropa, Johannes Hahn, bercerita bagaimana Ukraina punya senjata nuklir hingga tahun 1990-an usai merdeka dari Uni Soviet. Namun, Ukraina melucuti senjata nuklir mereka dengan syarat Rusia tidak menyerang.
"Ketika baru merdeka, Ukraina menyerahkan senjata nuklirnya, sebagai gantinya Rusia tidak akan menyerang," ujar Johannes Hahn saat berkunjung ke Jakarta kepada Liputan6.com, Jumat (22/7/2022).
Namun, kini Rusia ingkar janji.
Baca Juga
Advertisement
Hahn lantas ragu-ragu bahwa Rusia akan berani menyerang Ukraina apabila negara tersebut masih memiliki senjata nuklir.
Janji Tinggal Janji
Cerita dari Hahn mengacu pada perjanjian pada pertengahan 1993: Massandra Accords. Berkat hasil perjanjian Massandra, Ukraina pada 1994 sepakat menyerahkan hulu ledak (warhead) nuklir mereka kepada Rusia untuk dilucuti.
Situs Arms Control Association menyebut bahwa usai merdeka dari Soviet pada 1991, Ukraina memiliki persenjataan nuklir nomor tiga terbesar di dunia, termasuk 176 rudal interkontinental.
Syarat dari Massandra Accords adalah jaminan keamanan dan ekonomi dari Amerika Serikat dan Rusia.
Pada akhir tahun 1994, ada lagi perjanjian bahwa Ukraina akan menjadi negara non-nuklir dan memusnahkan senjata nuklirnya. Hal itu dibahas di General Assembly Security Council.
Rusia pun ikut berjanji untuk menghormati kemerdekaan dan kedaulatan perbatasan Ukraina. Rusia juga berjanji tidak akan menyerang kedaulatan wilayah dan politik Ukraina.
"Federasi Rusia, Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara, dan Amerika Serikat menegaskan komitmen mereka kepada Ukraina, sesuai prinsip-prinsip UU Final Konferensi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa, untuk menghormati independensi dan kedaulatan dan perbatasan yang ada di Ukraina," tulis salah satu poin perjanjian tersebut
Ironisnya, sosok yang tanda tangan untuk pihak Rusia saat itu adalah Sergey Lavrov. Ia kini menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Rusia dan mendukung invasi.
Baca wawancara lengkap dengan Johannes Hahn.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rusia Berniat Rebut Lebih Banyak Wilayah Ukraina
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov secara terbuka membahas niatnya untuk merebut lebih banyak wilayah Ukraina. Sebelumnya, narasi Rusia adalah menyerang Ukraina karena masalah NATO.
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (21/7), Moskow ingin merebut lebih banyak teritori di Ukraina selatan, melampaui kawasan Donbas di mana pasukannya kini sedang bertempur dengan pasukan Ukraina untuk menguasai wilayah itu.
Rusia gagal dalam tahap-tahap dini ofensifnya yang sudah berlangsung lima bulan untuk menggulingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy atau menguasai ibu kota Kyiv di Ukraina utara.
Namun, Sergey Lavrov mengatakan dalam wawancara baru dengan media pemerintah bahwa Rusia tidak lagi merasa mendapat perlawanan dalam bertempur di Donbas di mana separatis Rusia telah bertempur melawan pasukan Kyiv sejak 2014 ketika Rusia merebut Semenanjung Krimea.
Rusia ingin merebut lebih banyak teritori di Ukraina selatan, melampaui kawasan Donbas di mana pasukannya kini sedang bertempur dengan pasukan Ukraina untuk menguasai wilayah itu.
Sebelumnya dilaporkan, Amerika Serikat curiga Rusia akan melakukan referendum untuk menjustifikasi pengambilan wilayah Ukraina. Ini serupa ketika Rusia merebut Krimea pada 2014.
Dilansir BBC, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby berkata Rusia sudah menyiapkan dasar untuk aneksasi. Wilayah-wilayah Ukrana yang sedang diduduki Rusia bisa mengadakan referendum tipu-tipu pada paling cepat bulan September 2022.
"Tidak akan ada yang dibodohkan oleh hal tersebut," ujar John Kirby. "(Rusia) memakai lagi aturan main dari 2014."
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Wilayah Ukraina yang Ditargetkan Rusia
Area-area Ukraina yang ditarget adalah Kherson, Zaporizhzhia, Donetsk dan Luhansk. Pasukan Rusia telah menguasai Luhansk.
John Kirby berkata mengungkap niat ini ke rakyat Amerika Serikat dan dunia agar mengetahui bahwa potensi aneksasi tersebut adalah ilegal dan tidak sah.
Hingga kini, Rusia masih menguasai Krimea, meski tidak diakui dunia internasional. Pada tahun 2014, perebutan Krimea berjalan lancar tanpa resistensi dari Ukraina, berbeda dari invasi 2022 yang mendapat perlawanan keras.
Pihak Rusia berkata mayoritas rakyat Krimea ingin bergabung ke Rusia, meski pemilih pro-Ukraina protes karena referendum dianggap tidak jurdil.
Kirby turut menyebut bahwa Rusia mengangkat pejabat-pejabat pro Rusia untuk mengendalikan wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki agar bisa mengorganisir referendum. Hasil referendum nantinya digunakan sebagai klaim terhadap kedaulatan wilayah Ukraina.
Ukraina-Rusia Sepakat Buka Lagi Keran Ekspor Gandum Ukraina
Ukraina dan Rusia akhirnya membuat sebuah terobosan besar dengan menandatangani sebuah perjanjian di Istanbul Jumat 22 Juli 2022, untuk menyalurkan jutaan ton gandum Ukraina ke pasar global dan meringankan krisis pangan yang semakin parah bagi jutaan orang di negara-negara berkembang.
"Anda telah mengatasi hambatan dan mengesampingkan perbedaan untuk membuka jalan bagi inisiatif yang akan melayani kepentingan bersama semua pihak," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kepada perwakilan Rusia dan Ukraina dalam acara penandatanganan perjanjian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (23/7).
Guterres mengakui bahwa "perjanjian ini tidak tercapai dengan mudah."
"Mempromosikan kesejahteraan umat manusia merupakan kekuatan pendorong perundingan ini," ungkapnya.
"Pertanyaan yang muncul bukan soal apa yang baik bagi satu pihak atau pihak lain. Fokusnya pada apa yang paling penting bagi masyarakat dunia. Dan jangan salah – ini adalah perjanjian bagi dunia," imbuh Guterres.
Ukraina adalah negara pengeskpor gandum utama dunia yang memproduksi cukup pasokan untuk memenuhi kebutuhan pangan 400 juta orang per tahun. Akan tetapi, selama berbulan-bulan, sekitar 20 juta ton gandumnya terjebak di dalam silo-silo dan kapal-kapal yang diblokir Rusia di Laut Hitam.
Perjanjian awal akan berlaku selama 120 hari, namun seorang pejabat PBB mengatakan perjanjian itu harus dilanjutkan selama perang terus berlangsung.
Advertisement