Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim di pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Jumat (22/7) menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang menuduh negara Asia Tenggara itu bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.
Keputusan yang menetapkan yurisdiksi Mahkamah Internasional itu memastikan penyelenggaraan sidang yang akan menyiarkan bukti-bukti kekejaman terhadap Rohingya, yang menurut kelompok hak asasi manusia dan hasil penyelidikan PBB telah melanggar Konvensi Genosida tahun 1948.
Advertisement
Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa penindasan yang disertai kekerasan terhadap populasi Rohingya di Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, tergolong genosida, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (24/7/2022).
Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyambut baik keputusan itu. ia mengatakan, 600.000 warga Rohingya “masih menghadapi genosida,” sementara “satu juta orang yang berada di kamp-kamp di Bangladesh, mereka menanti harapan ditegakkannya keadilan.”
Gambia, negara di benua Afrika, mengajukan kasus tersebut tahun 2019 di tengah kemarahan dunia atas perlakuan terhadap warga Rohingya, di mana ratusan ribu di antara mereka melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya, di tengah tindakan brutal pasukan Myanmar pada 2017.
Gambia berpendapat bahwa negaranya dan Myanmar sama-sama penandatangan Konvensi 1948, dan semua penandatangan memiliki kewajiban untuk menjamin konvensi itu ditegakkan.
Hakim di Mahkamah Internasional setuju.
Saat membacakan kesimpulan keputusan, presiden pengadilan, Hakim AS Joan E. Donoghue, mengatakan: “Setiap negara pihak Konvensi Genosida dapat meminta pertanggungjawaban negara pihak lain, termasuk melalui persidangan di pengadilan.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Percepat Keadilan untuk Rohingya
Sekelompok kecil pengunjuk rasa pro-Rohingya berkumpul di luar markas Mahkamah Internasional, The Peace Palace, sebelum putusan itu diumumkan, sambil membentangkan spanduk bertuliskan: “Percepat penegakkan keadilan bagi Rohingya. Penyintas genosida tidak bisa menunggu bergenerasi-generasi.”
Salah satu pengunjuk rasa menginjak-injak foto pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Pengadilan menolak argumen para pengacara Myanmar dalam sidang Februari lalu bahwa kasus itu harus dibatalkan karena pengadilan dunia hanya mengatur perselisihan antarnegara dan bahwa keluhan mengenai Rohingya itu diajukan oleh Gambia atas nama Organisasi Kerja sama Islam.
Majelis Hakim juga menolak klaim Myanmar bahwa Gambia tidak dapat mengajukan gugatan karena negara itu tidak terkait secara langsung dengan peristiwa di Myanmar dan bahwa tidak ada sengketa hukum yang terjadi di antara kedua negara sebelum kasus itu diajukan.
Militer Myanmar meluncurkan apa yang disebutnya sebagai kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine tahun 2017 menyusul sebuah serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya.
Lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya. Pasukan keamanan Myanmar telah dituduh melakukan perkosaan, pembunuhan dan pembakaran ribuan rumah warga Rohingya.
Advertisement
Ranjau Darat di Myanmar
Pasukan junta Myanmar melakukan kejahatan perang dengan meletakkan ranjau darat dalam "skala besar" di sekitar desa-desa di mana mereka memerangi pejuang anti-kudeta, kata kelompok HAM Amnesty International pada Rabu (20/7).
Pertempuran telah merusak petak demi petak negara itu sejak kudeta tahun lalu, yang memicu bentrokan baru dengan kelompok pemberontak etnik dan pembentukan puluhan "Pasukan Pertahanan Rakyat" yang sekarang memerangi junta.
Selama kunjungannya ke negara bagian Kayah di dekat perbatasan Thailand, para peneliti Amnesty mewawancarai para penyintas ranjau darat, pekerja medis yang mengobati mereka serta pihak lain yang terlibat dalam operasi pembersihan ranjau, kata organisasi itu.
Amnesty mengatakan pihaknya memiliki "informasi kredibel" bahwa pihak militer telah menggunakan ranjau di setidaknya 20 desa, termasuk di jalur-jalur menuju sawah, sehingga menyebabkan korban jiwa dan luka di kalangan warga sipil.
Amnesty juga mengatakan pihaknya telah mendokumentasikan beberapa contoh di mana pihak militer meletakkan ranjau darat di sekitar sebuah gereja dan halamannya.
"Para tentara menempatkan ranjau darat di halaman rumah orang, pintu masuk rumah, dan toilet di luar rumah," kata Amnesty.
"Di setidaknya satu kasus yang terdokumentasi, para tentara memasang jebakan di sebuah tangga rumah dengan menggunakan alat peledak kawat rakitan."