Bersih-Bersih Jejak Digital agar Tak Berujung Malapetaka

Dosen Ilmu Komunikasi Unhas, Sartika S. Wardanhi, menyampaikan terkait definisi serta contoh dari jejak digital, baik secara aktif maupun pasif.

oleh Iskandar diperbarui 25 Jul 2022, 09:30 WIB
Ilustrasi pengguna internet (anthillonline.com)

Liputan6.com, Jakarta - Penyalahgunaan data pribadi yang kian marak di ranah digital membuat masyarakat cemas akan bocornya data-data pribadi mereka.

Penggunaan media sosial yang tak sehat bahkan bisa memperburuk perlindungan privasi, terlebih jika pengguna tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan akan pentingnya data pribadi.

Dengan demikian, diperlukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan mengenai hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di ruang digital.

Hal tersebut dibahas dalam webinar bertema “Jaga Jejak Digitalmu di Dunia Digital” di Makassar, Sulawesi Selatan, belum lama ini.

Webinar ini diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi.

Dosen Ilmu Komunikasi Unhas, Sartika S. Wardanhi, menyampaikan terkait definisi serta contoh dari jejak digital, baik secara aktif maupun pasif.

Ia memberikan contoh jejak digital pasif yang dapat ditinggalkan yaitu seperti jalur ojek daring, game daring yang dimainkan, dan musik daring yang diputar.

"Kita bisa menghapus jejak digital, seperti foto yang sudah kita upload di media sosial. Status yang kita posting juga bisa kita hapus. Namun tinggal menjamin 100 persen terhapus secara keseluruhan, karena bisa saja sudah di-capture oleh orang lain," ujarnya, dikutip Senin (25/7/2022).

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Jangan Sampai Postingan Berdampak Buruk

Kepraktisan internet membuat penggunanya jadi lebih mudah untuk mengakses segala informasi

Oleh karena itu, Sartika memaparkan, kita perlu rethinking dahulu, memikirkan lebih matang apakah yang ingin kita posting ini sudah aman dikonsumsi oleh netizen atau inner circle yang ada di internet.

Terkait etika digital, Dian Ikha Pramayanti selaku Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Muhajirin Purwakarta dan LP3I College Purwakarta, menuturkan jika sebuah konten berupa teks/gambar/video yang diunggah di ruang digital, maka dapat terekam sebagai jejak digital.

Menurutnya, suatu komunitas dapat melakukan personal branding apabila melakukan jejak digital secara konsisten dan jejak digital tersebut bersifat abadi. Artinya, walaupun sudah terhapus namun masih tersedia di server mesin pencarian.

“Sebelum kita membagikan informasi di ruang digital, sebaiknya berpikir terlebih dahulu. Jangan sampai postingan kamu berdampak buruk yang berujung malapetaka untuk reputasi ke depannya karena sekarang ini beberapa perusahaan atau kampus melihat rekam jejak digital calon mahasiswa atau karyawannya,” papar Dian.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Tak Ada yang 100 Persen Aman

Ilustrasi Penggunaan Internet Credit: pexels.com/pigjumbo

Sementara itu, Khusnul Aflah selaku selaku Program Manager JaWAra Internet Sehat, menggarisbawahi bahwa UU ITE bukan melindungi data pribadi, melainkan informasi dan transaksi elektronik.

Ia menekankan apabila privasi merupakan hak, apakah mau dikomunikasikan kepada orang lain atau tidak.

Selain itu, privasi merupakan kesadaran, di mana kita harus sadar bahwa data pribadi harus kita simpan dan lindungi termasuk pada saat mengisi data pada suatu platform.

Khusnul memberi pesan, “Tidak ada yang aman 100 persen di dunia digital, yang bisa kita lakukan adalah mengurangi risikonya sedapat mungkin.”

 

 


Infografis Journal_Fakta Tren Istilah Healing Bagi Pengguna Media Sosial

Infografis Journal_Fakta Tren Istilah Healing Bagi Pengguna Media Sosial (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya