Tanggapan Kriminolog Soal Anak SD Paksa Teman Sebaya Setubuhi Kucing

Seorang anak di Tasikmalaya meninggal dunia diduga akibat depresi lantaran mendapatkan bullying atau perundungan secara fisik dan psikis dari teman sebayanya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 25 Jul 2022, 17:06 WIB
Ilustrasi bullying/credit: pexels.com/Mikhail

Liputan6.com, Jakarta Seorang anak di Tasikmalaya meninggal dunia diduga akibat depresi lantaran mendapatkan bullying atau perundungan secara fisik dan psikis dari teman sebayanya.

Kasus ini viral lantaran korban yang masih berusia 11 sempat dipaksa untuk menyetubuhi kucing dan aksinya direkam kamera ponsel. Hasil rekaman dikabarkan menyebar di media sosial dan membuat korban terpukul.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan, mengapa anak SD bisa terpikir untuk memaksa teman sebayanya bersetubuh dengan kucing?

Terkait hal ini, kriminolog Haniva Hasna memberikan tanggapan. Menurutnya, ini bukan kasus pertama di Indonesia. Pada 2013 pernah ada kasus pria 17 tahun yang menyetubuhi 300 ekor ayam, 150 ekor bebek dan itik, serta domba dan kambing. Penyebabnya adalah akibat terpapar pornografi.

Nah, anak juga demikian, tidaklah mungkin seorang anak memiliki ide untuk melakukan hal yang di luar pengetahuannya. Setiap anak melakukan pengamatan, penyimpanan memori dan siap memanggil memori tersebut untuk diwujudkan dalam aksi,” ujar kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui keterangan tertulis.

Adiksi gawai sangat memungkinkan anak-anak terpapar dengan pornografi, lanjutnya, sementara orangtua sering abai dengan hal ini. Orangtua sering merasa bahwa anaknya masih terlalu kecil untuk memahami pornografi. Padahal serangan di media luar biasa. Pilihan pornografi di media juga beragam, dari hubungan normal hingga abnormal termasuk dengan binatang.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Meninggal Akibat Depresi?

Bullying di KPI

Iva juga menjelaskan, depresi dan stres yang dibiarkan berlarut akan membebani pikiran, sehingga mengganggu sistem kekebalan tubuh.

“Apabila kita berada dalam emosi yang negatif seperti rasa sedih, benci, putus asa, iri, cemas maka sistem kekebalan kita menjadi lemah,” Iva mengatakan.

Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang emosional dan pemurung cenderung menderita penyakit yang serius seperti kanker, tekanan darah tinggi, jantung dan berumur pendek.

“Seperti penjelasan pada poin di atas, depresi berat bisa memengaruhi sistem imunitas tubuh sehingga menyebabkan berbagai macam penyakit serius.”

“Namun perlu diingat pula bahwa yang dilakukan oleh korban adalah berhubungan dengan binatang pada lubang pembuangan, sehingga memungkinkan terjadi beberapa infeksi akibat kotoran atau bakteri yang ditularkan oleh binatang tersebut.”

Kasus ini memang unik bila dilihat dari sudut perlindungan anak, lanjut Iva. Pasalnya, pelaku dan korban sama-sama masih anak-anak sehingga keduanya dalam naungan Undang-Undang Perlindungan Anak.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Tindakan untuk Pelaku

Ilustrasi Foto Bullying (iStockphoto)

Ketika anak sudah masuk ranah hukum, proses menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak juga wajib memerhatikan kebutuhan anak, terutama hak-haknya sebagai anak.

Sudah menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi anak yang berkasus hukum yang telah diatur dalam undang-undang.

“Keputusan penjara sebaiknya dikesampingkan, yang harus didahulukan adalah melakukan rehabilitasi. Anak-anak memiliki hak perlindungan, dalam penerapannya harus ada sinergitas antara pihak pihak terkait seperti orangtua, pemerintah, kepolisian, lembaga sosial dan masyarakat.”

Menghukum tanpa memberikan pemahaman tidak akan menghasilkan perilaku positif. Sehingga yang harus dilakukan adalah memberikan bantuan secara sistematis terkait perilakunya yang salah.

Salah itu adalah perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Jahat itu perilaku yang merugikan orang lain baik fisik maupun psikis, melanggar peraturan, norma, dan hukum. Tidak selamanya yang dianggap kenakalan oleh orang dewasa juga dipahami sebagai hal yang sama oleh anak, karena pemahamannya masih kurang.

Bahkan, anak yang menjadi pelaku juga merasa bahwa tindakannya benar karena dia juga merasa dirugikan, misalnya mendapat celaan, hujatan, kemarahan dan reaksi negatif lain dari teman dan orang dewasa.

“Samakan dulu persepsi antara orang dewasa dan anak-anak, lalu masukkan edukasi.”


Periksa Kejiwaan

Ilustrasi Foto Bullying (iStockphoto)

Iva juga mengatakan bahwa para pelaku sangat perlu untuk diperiksa kejiwaannya.

“Sangat perlu, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan fisik, psikis, dan sosialnya.”

Pelaku perundungan biasanya melakukan aksinya sebagai pelampiasan dari ketakutan, kecemasan, dan gejolak emosi yang ada dalam dirinya. Gangguan kejiwaan yang terjadi disebut dengan istilah oppositional defiant disorder. Karakteristik dari gangguan ini adalah sering marah dan memiliki sifat kasar.

Jika memang terdapat gangguan kejiwaan, pelaku perundungan perlu mendapatkan terapi psikologis untuk mengubah perilakunya. Tujuannya adalah supaya ia bisa meluapkan apa yang ia rasakan dengan cara yang lebih tepat. Jika tidak, pelaku tak akan pernah berhenti melakukan hal yang sama terhadap pihak yang dianggap inferior (lebih rendah).

Iva mengatakan, ada beberapa faktor yang membentuk seseorang menjadi pelaku perundungan. Faktor-faktor tersebut yakni ingin berkuasa, mendapat pola asuh dengan kekerasan, konsumsi media yang mengandung kekerasan. Mereka juga cenderung pernah menjadi korban kekerasan, krisis identitas, pemenuhan eksistensi diri, harga diri rendah, tidak terpenuhi kebutuhan kasih sayang, perhatian, penerimaan dari orangtua, serta kemampuan adaptasi yang buruk.

 

Infografis - Mengenal siapa dan peran dalam lingkaran bullying. (Liputan6.com/Kusfitria Marstyasih)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya