Liputan6.com, Tasikmalaya - Kasus bullying atau perundungan masih terjadi di Indonesia. Salah satu yang masih hangat diperbincangkan adalah perundungan pada anak kelas 5 SD oleh teman sebaya di Tasikmalaya.
Korban dipaksa setubuhi kucing hingga mengalami depresi dan dikabarkan meninggal dunia.
Advertisement
Lantas, tindakan apa yang perlu dilakukan pada para pelaku?
Menjawab pertanyaan tersebut, kriminolog Haniva Hasna mengatakan bahwa pemberian sanksi pidana pada anak perlu memerhatikan kebutuhan anak.
"Ketika anak sudah masuk ranah hukum, proses menjatuhkan sanksi pidana terhadap anak juga wajib memerhatikan kebutuhan anak, terutama hak-haknya sebagai anak,” ujar kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Health Liputan6.com melalui keterangan tertulis.
Menurut Iva, sudah menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi anak yang berkasus hukum yang telah diatur dalam undang-undang. Ia pun mengatakan bahwa keputusan penjara sebaiknya dikesampingkan mengingat pelaku masih anak-anak.
"Keputusan penjara sebaiknya dikesampingkan, yang harus didahulukan adalah melakukan rehabilitasi. Anak-anak memiliki hak perlindungan, dalam penerapannya harus ada sinergitas antara pihak pihak terkait seperti orangtua, pemerintah, kepolisian, lembaga sosial dan masyarakat," kata Iva menambahkan.
Menghukum tanpa memberikan pemahaman tidak akan menghasilkan perilaku positif. Sehingga yang harus dilakukan adalah memberikan bantuan secara sistematis terkait perilakunya yang salah.
Salah itu adalah perilaku yang tidak bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Jahat itu perilaku yang merugikan orang lain baik fisik maupun psikis, melanggar peraturan, norma, dan hukum.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Samakan Persepsi, Masukkan Edukasi
Tidak selamanya yang dianggap kenakalan oleh orang dewasa juga dipahami sebagai hal yang sama oleh anak, karena pemahamannya masih kurang, kata Iva.
Bahkan, anak yang menjadi pelaku juga merasa bahwa tindakannya benar karena dia juga merasa dirugikan, misalnya mendapat celaan, hujatan, kemarahan dan reaksi negatif lain dari teman dan orang dewasa.
"Samakan dulu persepsi antara orang dewasa dan anak-anak, lalu masukkan edukasi," kata Iva.
Selain menyamakan persepsi dan memberi edukasi, Iva juga mengatakan bahwa para pelaku sangat perlu untuk diperiksa kejiwaannya.
"Sangat perlu, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan fisik, psikis, dan sosialnya," dia menambahkan.
Pelaku perundungan biasanya melakukan aksinya sebagai pelampiasan dari ketakutan, kecemasan, dan gejolak emosi yang ada dalam dirinya.
Gangguan kejiwaan yang terjadi disebut dengan istilah oppositional defiant disorder. Karakteristik dari gangguan ini adalah sering marah dan memiliki sifat kasar.
Jika memang terdapat gangguan kejiwaan, pelaku perundungan perlu mendapatkan terapi psikologis untuk mengubah perilakunya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Terapi Psikologis
Tujuan terapi psikologis adalah supaya ia bisa meluapkan apa yang ia rasakan dengan cara yang lebih tepat. Jika tidak, pelaku tak akan pernah berhenti melakukan hal yang sama terhadap pihak yang dianggap inferior (lebih rendah).
Iva mengatakan, ada beberapa faktor yang membentuk seseorang menjadi pelaku perundungan. Faktor-faktor tersebut yakni ingin berkuasa, mendapat pola asuh dengan kekerasan, konsumsi media yang mengandung kekerasan.
Mereka juga cenderung pernah menjadi korban kekerasan, krisis identitas, pemenuhan eksistensi diri, harga diri rendah, tidak terpenuhi kebutuhan kasih sayang, perhatian, penerimaan dari orangtua, serta kemampuan adaptasi yang buruk.
Dalam kasus ini, korban sudah meninggal dunia. Namun, di banyak kasus lain banyak korban perundungan yang bertahan hidup dalam kondisi psikis yang kurang baik.
Maka dari itu, penanganan terhadap korban sangat penting dilakukan. Kalau korban tidak tertangani dengan baik, ada kemungkinan menjadi pelaku di kemudian hari. Karena dendam atau persepsi yang salah atas peristiwa negatif yang telah menimpa dirinya.
Pendampingan Korban Kekerasan Seksual
Anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus segera mendapat pendampingan psikologis profesional. Waktu yang dibutuhkan tidak bisa ditentukan, tergantung dari tingkat trauma anak tersebut.
Pendampingan psikologis bertujuan untuk mengembalikan anak melakukan rutinitas sebagaimana anak seusianya. Penempatan pada lingkungan yang tepat diharapkan dapat memberikan dukungan positif dengan tidak menyalahkan maupun mengungkit peristiwa yang telah terjadi.
Secara fisik, korban kekerasan seksual biasanya mengalami gangguan pola tidur, gangguan pola makan, imunitas menurun, ketidaknyamanan, nyeri pada bagian kelamin dan anus, dan kehilangan kebiasaan positif.
Dampak Psikologis yakni menghindar, takut bertemu dengan orang, menyendiri, sensitif, menyakiti dan menyalahkan diri sendiri, mudah tersinggung dan cepat marah.
Korban juga bisa sering mengalami mimpi buruk dan merasa cemas berlebihan konsentrasi belajar terganggu, rendah diri, lebih lanjut bisa mengalami disorientasi seksual, dan depresi akibat trauma hingga kematian.
Dampak sosialnya yakni prestasi menurun, tidak semangat sekolah, sering membolos, menjauhi teman-teman, terjerumus dalam kenakalan remaja seperti tawuran, minum-minuman keras, hingga narkoba.
Advertisement