Bhutan Wajibkan Turis Bayar Pajak Wisata Rp2,9 Juta, Berlaku Mulai September 2022

Bhutan menaikkan pajak wisatanya lebih dari 300 persen atau tiga kali lipat menjelang pembukaan kembali negara itu untuk turis asing pada September 2022.

oleh Putu Elmira diperbarui 26 Jul 2022, 09:02 WIB
National Memorial Chorten Buddhist Temple di Thimphu, Bhutan. (LILLIAN SUWANRUMPHA / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Bhutan menaikkan pajak wisatanya lebih dari 300 persen menjelang pembukaan kembali negara itu untuk pengunjung pada musim gugur 2022. Saat negara itu dibuka kembali pada September, wisatawan harus membayar "Sustainable Development Fee" (SDF) sebesar 200 dolar AS atau sekitar Rp2,9 juta langsung kepada pemerintah.

Dikutip dari Independent, Senin, 25 Juli 2022, sebelumnya, turis yang bepergian ke Bhutan harus membayar pemerintah 65 dolar AS atau setara Rp974 ribu. Ini adalah bagian dari biaya harian yang lebih besar senilai 250 dolar AS atau setara Rp3,7 juta, yang juga termasuk akomodasi dasar dan pemandu.

Minimum Daily Package Rate (MDPR) atau Tarif Paket Harian Minimum ini adalah bagian dari inisiatif wisata "berkualitas tinggi, volume rendah". Hal ini dilakukan untuk membantu menjaga pariwisata berkelanjutan di negara yang dikenal dengan perjalanan ke kuil-kuilnya yang indah tersebut.

Rencananya, Bhutan akan membuka kembali pariwisata pada 23 September 2022 mendatang. Sejak itu, wisatawan harus membayar 200 dolar AS kepada pemerintah Bhutan, selain mengatur akomodasi dan tur mereka sendiri.

Langkah tersebut diumumkan dalam pernyataan bersama oleh Pemerintah Kerajaan Bhutan dan Dewan Pariwisata Bhutan pada 29 Juni 2022. Dikatakan bahwa perubahan biaya adalah bagian dari "perombakan" yang lebih luas dari penawaran pariwisatanya, yang akan fokus pada tiga bidang, yakni infrastruktur, pengalaman wisata, dan dampak terhadap lingkungan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Upaya Berkelanjutan

Bhutan (sumber: unsplash)

"Covid-19 telah memungkinkan kami untuk mengatur ulang untuk memikirkan kembali bagaimana sektor ini dapat terstruktur dan dioperasikan dengan baik, sehingga tidak hanya menguntungkan Bhutan secara ekonomi, tetapi juga secara sosial, sambil menjaga jejak karbon tetap rendah," kata Dr Tanji Dorji, Menteri Luar Negeri Bhutan dan Ketua Dewan Pariwisata.

Dorji mengungkapkan tujuan jangka panjang pihaknya dengan menaikkan pajak adalah menciptakan pengalaman bernilai tinggi bagi pengunjung, dan pekerjaan bergaji tinggi dan profesional bagi warga negara kami. "Dengan menghapus MDPR, fleksibilitas yang lebih besar akan diberikan kepada wisatawan dan penyedia layanan," kata dia dalam sebuah pernyataan.

Pihaknya melanjutkan, "Kami percaya SDF saat ini akan menempatkan kami dalam manfaat yang baik untuk mengurangi perubahan iklim dan mempertahankan pariwisata netral karbon. SDF akan disalurkan untuk kegiatan yang mengimbangi jejak karbon dan menjaga penyerap karbon di Bhutan melalui penanaman kembali pohon."

Upaya ini juga akan digunakan untuk mengurangi ketergantungan negara pada bahan bakar fosil dengan, misalnya, meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga air dan menggemparkan sektor transportasinya. Biaya baru akan berlaku untuk semua pengunjung internasional kecuali warga negara India, yang akan menanggung biaya tersendiri "akan dikonfirmasi nanti".

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Wisata Bhutan

Bhutan (sumber: pixabay)

Bhutan tidak membuka pariwisata sampai 1974, ketika pemerintahnya memutuskan bahwa pendapatan dari pengunjung internasional -dalam jumlah terbatas- dapat membantu negara. Ini pertama kali memperkenalkan biaya pariwisata harian untuk pengunjung pada 1991.

Negara itu telah ditutup untuk wisatawan selama 30 bulan. Keputusan tersebut setelah menutup perbatasannya ketika pandemi Covid-19 pertama kali menyebar ke seluruh dunia pada Maret 2020.

Dikutip dari CNN, Jumat, 1 Juli 2022, Bhutan dibuka untuk turis kelas atas pada 1974 ketika menerima 300 pengunjung. Jumlahnya melonjak jadi 315.600 pada 2019, naik 15,1 persen dari tahun sebelumnya, menurut data TCB.

Operator tur menyebut, pengunjung akan bebas memilih operator mereka sendiri dan merencanakan perjalanan, sebelumnya mereka hanya dapat memilih berdasarkan paket yang ditawarkan operator mereka. Sangay Phuntso, yang menjalankan perusahaan Always Bhutan Travel di ibu kota Thimphu, mengungkapkan kenaikan biaya pajak tersebut mungkin menghalangi sebagian orang, tapi tidak bagi pengunjung yang lebih kaya. 

"Mereka yang bisa berbelanja dipersilakan. Kami sangat bersemangat," kata Phuntso.

 

Buka untuk Pariwisata

Stadion Changlimithang di Bhutan. (Bola.com/Simon Bruty/FIFA)

Pada era 70-an, saat mulai membuka diri terhadap pariwisata, Bhutan menetapkan "Indeks Bruto Kebahagiaan Nasional." Sebuah badan nasional ditugaskan untuk secara berkala mensurvei orang-orang Bhutan tentang sembilan "bidang utama" kebahagiaan.

Masuk dalam perhitungannya adalah kesejahteraan psikologis, kesehatan, pendidikan, pemerintahan yang baik, ekologi, penggunaan waktu, vitalitas masyarakat, budaya, dan standar hidup. Pemerintah harus mempertimbangkan faktor-faktor ini ketika menyusun undang-undang atau kebijakan baru.

Larangan kantong plastik yang baru populer dalam beberapa tahun di banyak negara sudah lebih dulu diterapkan di Bhutan pada 1999. Tembakau juga ilegal, jadi Bhutan menyebut dirinya sebagai negara bebas rokok pertama di dunia.

"Bhutan adalah hadiah dari persembahan yang sempurna," kata Fran Bak, satu-satunya pelancong yang diizinkan berada di Bhutan sejak pandemi COVID-19.

Co-founder MyBhutan, Matt DeSantis, adalah salah satu dari sedikit orang asing yang hidup sebagai ekspat jangka panjang di Bhutan. Berasal dari Connecticut, ia bertemu Pangeran Jigyel Ugyen Wangchuck ketika sama-sama bersekolah di Choate Rosemary Hall dan menjalin persahabatan seumur hidup di lapangan basket.

Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya