Beda Bayi Prematur dan BBLR yang Berkaitan dengan Angka Stunting

Dokter anak konsultan neonatologi Rinawati Rohsiswatmo menjelaskan terkait bayi prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Menurutnya, bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum waktunya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 26 Jul 2022, 13:00 WIB
Ilustrasi/copyrighshutterstock/PR Image Factory

Liputan6.com, Jakarta Dokter anak konsultan neonatologi Rinawati Rohsiswatmo menjelaskan terkait bayi prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Menurutnya, bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum waktunya.

“Jadi kita bicara dengan usia kehamilan, bukan beratnya. Namanya juga lahir belum waktunya, umumnya saat lahir bayinya kecil,” ujar Rina dalam seminar daring Fresenius Kabi, Senin (25/7/2022).

Bayi prematur berbeda dengan Bayi BBLR, lanjutnya. BBLR adalah bayi yang lahir kecil padahal cukup bulan. Bayi berat lahir rendah belum tentu kurang bulan atau prematur.

Bayi disebut memiliki berat lahir rendah ketika berat badannya kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia gestasi (kehamilan). Sedangkan, bayi disebut prematur ketika lahir dengan usia gestasi di bawah 37 minggu.

Bayi prematur memiliki beberapa kategori sesuai usia kehamilan. Yang paling cepat adalah 22 minggu dan yang normal adalah 39-40 minggu. Ada pula kategori sebagai berikut:

-Extremely Preterm 28 minggu.

-Very Preterm 29-31 minggu.

-Moderately Preterm 32-34 minggu.

-Late Preterm 35-36 minggu.

Sedangkan, kategori BBLR yakni:

-Berat lahir rendah kurang dari 2.500 gram.

-Berat lahir sangat rendah kurang dari 1.500 gram.

-Berat lahir ekstrem rendah kurang dari 1.000 gram.

“Indonesia itu banyak enggak sih kelahiran prematur? Banyak, Indonesia itu nomor 5 (terbanyak) di dunia.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Prevalensi Bayi Prematur dan BBLR di Indonesia

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, NTT memiliki 15 kabupaten berkategori “merah” dan tidak ada satupun daerah berstatus 'hijau' stunting. (Dok BKKBN RI)

Dokter yang akrab disapa Rina juga menyampaikan data prevalensi bayi prematur pada 2018. Menurut data dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi bayi prematur adalah 29,5 persen.

Sedangkan, prevalensi BBLR adalah 6,2 persen pada 2018, 3,4 persen pada 2019, dan 3,1 persen pada 2020.

“BBLR memang angkanya semakin lama semakin turun. Seiring dengan perbaikan gizi dan perbaikan kesehatan ibu.”

Bayi lahir prematur dan BBLR juga menjadi kondisi yang menyumbang penambahan kasus stunting. Penelitian di 137 negara berkembang menemukan bahwa 32,5 persen kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur.

“Bayi prematur yang lahir sebelum waktunya di dalam kandungan juga sudah masalah dengan gizinya, enggak tumbuh, Ini kalau tidak ditangani dengan benar maka dia potensial menjadi penyumbang stunting terbesar.”

Sementara, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018, bayi dengan berat lahir rendah memengaruhi sekitar 20 persen dari terjadinya kasus stunting di Indonesia.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Bukan Cuma Pendek

Ilustrasi anak (Foto: Pixabay/PixelLoverK3)

Stunting menjadi masalah gizi yang kerap dikaitkan dengan tinggi badan anak. Padahal, tubuh yang pendek bukanlah satu-satunya efek yang ditimbulkan stunting.

"Stunting itu pasti pendek. Tapi pendek belum tentu stunting," ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Dr dr Hasto Wardoyo, SpOG(K) dalam Launching Pendampingan 3 Bulan Pra Nikah Sebagai Upaya Pencegahan Stunting Dari Hulu, Rabu (29/12/2021).

Hasto mengungkapkan, stunting juga mempengaruhi kemampuan intelektual seseorang.

"Stunting biasanya kemampuan intelektualnya itu lebih rendah dari rata-rata. Oleh karena itu, stunting memang sangat mengganggu," kata Hasto.

Ia menambahkan, jumlah pasangan yang menikah di Indonesia per tahun kurang lebih mencapai dua juta pasangan. Data tersebut pun merupakan data yang tercatat, artinya masih ada kemungkinan yang tidak tercatat.

Dari dua juta pasangan tersebut, ada sekitar 1,6 juta wanita yang hamil dan 400 ribu di antaranya mengalami stunting. Sehingga, menurut Hasto, hal tersebutlah yang membuat pendampingan pra-nikah menjadi hal yang begitu penting untuk dilakukan.


Ubah Prewedding Jadi Pre Konsepsi

Ilustrasi Stunting. Foto: Ade Nasihudin Liputan6.com (9/11/2020).

Hasto mengajak calon pengantin mempersiapkan diri sebelum menikah dan melakukan pemeriksaan kesehatannya untuk pencegahan stunting bagi keturunannya kelak.

"Marilah kita mengubah pre wedding menjadi pre konsepsi. Sperma butuh waktu 75 hari, kalau sel telur dibutuhkan waktu selama 3 bulan. Laki-laki diharuskan mengurangi rokok selama 3 bulan sebelum menikah dan tidak berendam di air panas.”

Sebelum menikah, calon ibu perlu diskrining dan diberi konseling. Mulai dari periksa hemoglobin (Hb), lingkar lengan atas, tinggi badan, dan berat badan.

 “Calon pengantin harus melakukan pemeriksaan tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan HB. Itulah pentingnya pemeriksaan 3 bulan sebelum nikah agar tidak berisiko stunting. “

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 48 persen ibu hamil mengalami anemia dan ibu anemia berisiko tinggi lahirkan anak stunting.

“Tentukan pula apa calon ibu itu undernutrition atau tidak, apa dia anemia atau tidak. Stunting berisiko tubuh pendek, tidak cerdas, dan di usia 40-45 mudah sakit,” kata Hasto.”

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya