Menlu Rusia Sergey Lavrov Keliling Afrika, Apa Tujuannya?

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov sedang melakukan perjalanan ke Afrika minggu ini, dengan kunjungan ke Mesir, Republik Kongo, Uganda, dan Ethiopia

Oleh DW.com diperbarui 26 Jul 2022, 17:12 WIB
Dalam foto yang dirilis oleh Kemlu Rusia, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov berbicara di depan forum Liga Arab di Kairo, Mesir, Minggu, 24 Juli 2022. (Layanan Pers Kemlu Rusia via AP)

Jakarta - Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov sedang melakukan perjalanan ke Afrika minggu ini, dengan kunjungan ke Mesir, Republik Kongo, Uganda, dan Ethiopia. Di Kongo Lavrov bertemu dengan Presiden Denis Sassou N'guesso dan Menteri Luar Negeri Jean-Claude Gakosso. Inilah kunjungan pertama seorang pejabat tinggi Rusia ke negara itu.

Dilansir dari laman DW Indonesia, Selasa (26/7/2022), di Mesir, Lavrov menjanjikan kepada Menlu Mesir Sameh Shoukry bahwa Rusia akan menjamin suplai gandum dari Ukraina sesuai perjanjian yang disepakati dengan PBB, Turki dan Ukraina minggu lalu.

Banyak negara Afrika sangat bergantung pada impor gandum dan biji-bijian lainnya dari Rusia dan Ukraina, tetapi pasokan telah sangat terganggu oleh perang di Ukraina, yang dampaknya memperburuk risiko kelaparan di benua itu.

Ketua Uni Afrika Macky Sall bulan Juni lalu mengatakan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin, bahwa meskipun Afrika jauh dari medan perang, orang-orang Afrika adalah "korban krisis ekonomi ini."

Di Afrika, Rusia terutama ingin bekerja sama di bidang pertahanan dan keamanan.

Beberapa bulan sebelum kunjungan ini, Rusia menandatangani berbagai kesepakatan politik dan militer di benua itu.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Upaya Galang Dukungan

Menlu Retno Marsudi bertemu dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov di Tunxi, China. (Dok: Kedutaan Besar Rusia di Jakarta)

Kunjungan Menlu Sergey Lavrov dipandang sebagai upaya untuk menggalang dukungan dari negara-negara Afrika, yang banyak di antaranya memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan Rusia dari era Uni Soviet, di tengah kecaman keras Barat atas perang di Ukraina.

Pada awal Januari, ratusan penasihat militer Rusia dikerahkan ke Mali.

Kontraktor dari kelompok militer Rusia Wagner Group yang sering dikecam karena kebrutalannya, diundang untuk "membantu Mali melatih pasukan keamanannya," kata militer Mali.

Hal ini menimbulkan beberapa kerumitan, karena sebelumnya tugas pelatihan dilaksanakan oleh Misi Pelatihan Uni Eropa ke Mali, EUTM.

Situasi politik berubah setelah Kolonel Assimi Goita menggulingkan mendiang Presiden Ibrahim Boubacar Keita dalam kudeta Mali 2020 – dan kemudian dilantik sebagai presiden setelah kudeta kedua pada Mei 2021.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Hubungan Erat dengan Rusia

Menteri Luar Negeri Federasi Rusia (Sumber mfa.gov.rs)

Rezim Mali menolak kritik Uni Eropa dan Jerman dengan melarang pesawat militer Jerman beroperasi di wilayah udara Mali.

Selain itu Mali mengusir duta besar Prancis dan menyerukan penarikan segera pasukan Denmark dari wilayahnya.

Di Burkina Faso, tetangga selatan Mali, kudeta juga terjadi bulan Januari lalu.

Rezim militer di sana menolak kritik Barat yang menuntut pemerintahan sipil dan kini juga ingin menjalin hubungan lebih erat dengan Moskow.


Hidupkan Ikatan Lama

Ilustrasi bendera Rusia (pixabay)

Menurut Irina Filatova dari Sekolah Tinggi Ekonomi di Moskow, Rusia ingin mendapat pijakan lagi di benua Afrika untuk "menghadapi Barat " dengan memproyeksikan citra sebagai "pembela Afrika". Di era Uni Soviet memang pernah terjalin hubungan erat. Pada 1950-an, Kremlin mendukung gerakan pembebasan dan anti imperialisme di Afrika, termasuk dengan ekspor senjata dan amunisi jarak menengah hingga ringan.

"Tanpa pendirian kuat Uni Soviet selama Perang Dingin dan masa kejayaan perjuangan anti-kolonial, banyak negara di Afrika tidak akan pernah melihat cahaya kemerdekaan," kata Obadiah Mailafia, mantan wakil gubernur bank sentral Nigeria kepada DW.

Dukungan ini berkurang setelah Uni Soviet bubar. Presiden Rusia Vladimir Putin sekarang mencoba menghidupkan kembali hubungan dari era ini. "Sekarang, Rusia berada dalam posisi yang cukup kuat, dan Afrika dapat memperoleh manfaat dari investasi dan kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan,” kata Obadiah Mailafia.

Di luar kerja sama militer, Moskow juga ingin menjual teknologi nuklir ke negara-negara Afrika. Zambia, Rwanda, Etiopia, Mesir, dan Nigeria termasuk menjadi pasar menarik untuk pembangkit listrik tenaga nuklir buatan Rusia.

Infografis Rencana Kunjungan Jokowi ke Ukraina-Rusia di Tengah Konflik (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya