Liputan6.com, Jakarta Elektabilitas partai politik yang membangun koalisi sejak dini atau jauh-jauh hari dari waktu pemilu dinilai tidak terdongkrak secara signifikan, termasuk pilihan pendukung partai anggota koalisi terhadap kandidasi ketua umum atau elit partainya sendiri.
Hal itu terungkap dari hasil survei lembaga Development Technology Strategy (DTS) Indonesia pada Senin 25 Juli 2022 secara virtual.
Advertisement
Survei terkait peta politik pemilu 2024 tentang elektabilitas tokoh-tokoh kandidat pemimpin nasional dan juga soal koalisi partai politik tersebut dilakukan pada 28 Juni-8 Juli 2022, dan merupakan rangkaian survei yang telah dilakukan pada November 2021 dan Februari 2022.
Hasil survei terkait efektivitas pembentukan koalisi sejak dini memperlihatkan perbedaan kemauan pemilih atau pendukung di tingkat bawah dengan pilihan elit partai tentang pasangan calon presiden di Pilpres 2024.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibentuk Partai Golkar, PAN dan PPP, justru memperlihatkan terjadinya kecenderungan larinya suara basis pemilih ketiga partai ke pasangan kandidat di luar pasangan anggota partai koalisi.
Hasil simulasi pasangan capres Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto dan cawapres Ketum PAN Zulkifli Hasan, menghasilkan tingkat keterpilihan acuan (baseline) sebesar 1,4 persen.
Pasangan calon ini juga hanya meraup suara pendukung Partai Golkar sebesar 3,9 persen, 2,4 persen dari pemilih PAN dan nol persen dari loyalis PPP.
Pemilih dari partai anggota KIB justru melimpahkan suaranya pada pasangan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, yaitu sebesar 50 persen dari pemilih Golkar; 60,9 persen dari pemilih PPP dan 64,3 persen dari pemilih PAN.
Begitu juga koalisi Partai Gerindra dan PKB, yang memasangkan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar. Pendukung Partai Gerindra dan PKB tidak sepenuhnya memberikan suara pada pasangan ini.
Paslon Prabowo-Muhaimin hanya memperoleh 48,1 persen suara dari pemilih Gerindra dan 16,6 persen suara dari pemilih PKB. Pendukung keduanya terbelah memberikan suaranya pada pasangan Anies Baswedan - Ridwan Kamil dan pasangan Ganjar Pranowo - Erick Thohir.
Melihat data tersebut, Pengamat politik dari Universitas Paramadina Indonesia Hendri Satrio mengatakan hal itu buah dari perbedaan kehendak antara konstituen dengan elite partai.
"Memang itu sudah terbaca dari awal, karena koalisi harus sesuai dengan konstituen partainya. Karena kalau tidak sesuai, maka konstituennya akan pilih jalan sendiri,” uajr Hendri saat dikonfirmasi Selasa (26/07/22).
Perhatikan Suara Akar Rumput
Jalan terbaik, sambung Hendri, adalah konsolidasi politik antara elit parpol dengan konstituennya untuk menyamakan kehendak atau keinginan bersama.
"Harus sesegera mungkin parpol-parpol yang sudah dan akan membangun koalisi untuk melakukan konsolidasi dengan pendukungnya dan sepatutnya mengikuti pilihan pendukungnya,” tutur pendiri lembaga Kedai Kopi itu.
Melihat data hasil survei DTS Indonesia, Hendri melihat bahwa rujukan dan pilihan para pendukung umumnya murni, sementara elite parpol kerap mengandung bias kepentingan. Apalagi ketika saat ini faktor ketokohan calon presiden yang menjadi rujukan pemilih, tidak lagi selalu mengikuti arahan partai politik.
"Setiap parpol pasti paham soal ini, jadi sebaiknya memang mendengarkan apa kata konsituennya. Kalau memang pendukungnya memilih Anies Baswedan misalnya, ya ke Anies saja. Atau kandidat lainnya misalnya. Kan pendukung ga mungkin salah, sementara elit parpol bisa saja ada bias kepentingan di situ,” paparnya.
Terkait contoh yang baik bagaimana elit parpol melakukan konsolidasi dengan kader atau pendukung dari bawah, Hendri menyebutkan konvensi dari Partai Nasdem.
"Apa yang dilakukan Partai Nasdem (dengan melakukan konvensi dalam rakernas 2022) itu bisa menjadi contoh, bagaimana parpol berkonsolidasi dengan pendukung dan konstituennya, sekaligus mendengarkan dan menampung aspirasi dari bawah,” tutup Hendri Satrio.
Belum Putuskan Capres -Cawapres
Terkait wacana nama-nama kandidat capres-cawapres 2024, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) menyebut masih membahas platform koalisi sebelum menentukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Saat ini, KIB melakukan pendekatan yang berbeda dibandingkan koalisi-koalisi sebelumnya.
Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani mengatakan, biasanya koalisi Pemilu langsung mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Saat ini pendekatannya berbeda karena tidak ingin partai politik hanya menjadi 'angkutan kota' alias angkot membawa seseorang menjadi presiden dan wakil presiden.
"Jadi parpol itu sebagai pemegang mandat konstitusi untuk mencalonkan Paslon dalam pilpres itu tidak hanya sekedar sebagai angkutan kota aja," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/7/2022).
KIB ingin membangun tradisi politik baru dengan mendirikan platform koalisi lebih awal. Platform ini akan menjadi pijakan arah bagi calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung.
"KIB memang dari awal ingin tradisi politik kita, tradisi parpol kita itu yaitu tadi, punya dulu platformnya apa. Mau ngapain sih kita itu ngusung si A," ujar Arsul.
Arsul menuturkan, saat ini KIB baru dalam tahapan mengindentifikasi siapa tokoh yang bisa diusung sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Sembari merampungkan platform koalisi.
"Saya kira begini, yang sedang diselesaikan di KIB itu kan platform, karena nanti sebagai gabungan partai politik, KIB ketika kemudian bicara dengan calon calon potensial untuk menjadi Paslon, itu kan kita ingin sampaikan ini lho kita terbuka untuk mendukung anda, tetapi ini lho yang kita inginkan," jelas anggota Komisi III DPR RI ini.
Advertisement