Liputan6.com, Jakarta - Kamu \mungkin tahu, apa saja yang berkaitan dengan luar angkasa pasti mahal. Sekelompok ilmuwan Massachusetts Institute of Technology (MIT) ingin menepis image tersebut dengan membuat sensor plasma cetak 3D berbiaya murah.
Langkah yang dilakukan mereka mungkin bisa membantu untuk mempercepat penelitian perubahan iklim. Tim peneliti mengembangkan sensor plasma cetak 3D pertama untuk digunakan dalam satelit.
Advertisement
Dilansir Engadget, Sabtu (30/7/2022), sensor itu dapat mendeteksi komposisi kimia dan distribusi energi ion dalam plasma di bagian atas atmosfer.
Mereka menggunakan bahan kaca-keramik yang dapat dicetak (disebut Vitrolite) untuk membuat sensor, juga dikenal sebagai etarding potential analyzers (RPAs).
Bahan dengan lapisan film tipis dan silikon itu diklaim lebih tahan lama ketimbang material lain yang biasa digunakan pada sensor.
Menggunakan metode pencetakan 3D, tim menciptakan sensor dengan bentuk kompleks yang menurut MIT dapat menahan perubahan suhu besar yang akan ditemui pesawat ruang angkasa di orbit Bumi yang lebih rendah.
Vitrolite dapat menangani suhu hingga 800 derajat Celcius tanpa meleleh, sementara polimer yang digunakan dalam RPAs lain mulai rusak pada 400 derajat Celcius.
Dengan demikian, sensor ini cocok untuk cubesat berbiaya rendah. Ketika digunakan pada satelit yang mengorbit, RPAs dapat melakukan analisis kimia dan mengukur energi, sehingga membantu prediksi cuaca dan pemantauan perubahan iklim.
Para ilmuwan menegaskan sensor bekerja sebaik perangkat serupa yang menggunakan semikonduktor dan dibuat di ruangan bersih.
Merakit RPAs di ruangan yang bersih adalah proses mahal yang bisa memakan waktu beberapa minggu. Membuatnya dengan printer 3D dan pemotongan laser hanya membutuhkan waktu berhari-hari dan menghabiskan biaya puluhan dolar.
Luis Fernando Velásquez-García, ilmuwan utama di Laboratorium Teknologi Mikrosistem MIT dan penulis senior makalah tentang sensor, sudah melihat ruang untuk perbaikan.
Dia ingin mengurangi ketebalan lapisan atau ukuran piksel polimerisasi tong kaca-keramik dengan harapan dapat menciptakan perangkat yang lebih kompleks dan presisi.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Peneliti Rancang Sistem Produksi Bahan Bakar Karbon Netral untuk Pesawat
Dalam riset lain, para peneliti telah merancang sistem produksi bahan bakar yang menggunakan air, karbon dioksida (CO2), dan sinar matahari untuk menghasilkan bahan bakar penerbangan.
Mereka telah menerapkan sistem itu di lapangan, dan desainnya, yang terbit dalam sebuah makalah di jurnal Joule, dapat membantu industri penerbangan mencapai karbon netral.
"Kami adalah yang pertama mendemonstrasikan seluruh rantai proses termokimia dari air dan CO2 hingga minyak tanah dalam sistem menara solar (surya) yang terintegrasi penuh," ujar Aldo Steinfeld, profesor di ETH Zurich dan corresponding author makalah itu.
Upaya sebelumnya untuk memproduksi bahan bakar penerbangan melalui penggunaan energi matahari (solar), kata Steinfeld, sebagian besar telah dilakukan di laboratorium.
Sektor penerbangan bertanggung jawab atas sekitar 5 persen emisi antropogenik global yang menyebabkan perubahan iklim. Ini sangat bergantung pada minyak tanah, atau bahan bakar jet, yang merupakan bahan bakar hidrokarbon cair yang biasanya berasal dari minyak mentah.
Saat ini, tidak ada alternatif ramah lingkungan yang tersedia untuk menggerakkan penerbangan komersial jarak jauh dalam skala global.
"Dengan teknologi solar kami, kami telah menunjukkan bahwa kami dapat menghasilkan minyak tanah sintetis dari air dan CO2 alih-alih menurunkannya dari bahan bakar fosil," tutur Steinfeld.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Proyek SUN-to-LIQUID
Jumlah CO2 yang dipancarkan selama pembakaran minyak tanah di mesin jet, kata, sama dengan yang dikonsumsi selama produksinya di pembangkit listrik tenaga solar.
"Itu membuat bahan bakar karbon netral, terutama jika kita menggunakan CO2 yang ditangkap langsung dari udara sebagai bahan, semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama," ujar Steinfeld.
Sebagai bagian dari proyek SUN-to-LIQUID melalui pendanaan Uni Eropa, Steinfeld dan rekan-rekannya telah mengembangkan sistem yang menggunakan energi matahari untuk menghasilkan bahan bakar alternatif sintetis untuk bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan solar.
Pembangkit Terdiri dari 169 panel
Minyak tanah berbasis solar sepenuhnya kompatibel dengan infrastruktur penerbangan yang ada untuk penyimpanan bahan bakar, distribusi, dan penggunaan akhir di mesin jet. Steinfeld menilai itu juga dapat dicampur dengan minyak tanah yang berasal dari fosil.
Pada tahun 2017, Steinfeld dan koleganya mulai meningkatkan desain dan membangun pabrik produksi bahan bakar solar di IMDEA Energy Institute di Spanyol.
Pembangkit ini terdiri dari 169 panel yang mengarahkan dan memusatkan radiasi matahari ke dalam reaktor solar yang dipasang di atas menara.
Energi matahari yang terkonsentrasi kemudian menggerakkan siklus reaksi oksidasi-reduksi (redoks) dalam reaktor solar, yang berisi struktur berpori yang terbuat dari ceria.
Advertisement