Petani Tembakau Tolak Revisi PP 109/2012, Ini Alasannya

Seluruh petani sejak awal menolak adanya revisi PP 109/2012 karena akan berimbas pada mata pencahariaan 2,5 juta petani tembakau.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Jul 2022, 01:35 WIB
Petani Tembakau (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta Mata rantai ekosistem pertembakauan menyatakan secara tegas menolak Revisi PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Pasalnya, revisi aturan ini dikhawatirkan akan mematikan industri rokok termasuki para petani.

Untuk diketahui bahwa ada empat poin utama Revisi PP 109 Tahun 2012 di antaranya berisi 90 persen larangan promosi, pembatasan produksi, pengaturan aktivitas tata niaga, hingga aktivitas konsumen, sementara mengabaikan hak masyarakat di dalam ekosistem pertembakauan itu sendiri.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno menegaskan seluruh petani sejak awal menolak adanya revisi PP 109/2012 karena akan berimbas pada mata pencahariaan 2,5 juta petani tembakau.

Petani sebagai kelompok marjinal yang paling sulit mendapat akses informasi terkait revisi regulasi ini, dipaksa untuk menyetujui beleid perubahan yang jelas-jelas berisi total pelarangan dan menambah beban terhadap sector tembakau.

"Revisi PP 109/2012 berniat membunuh 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang hidupnya bergantung pada ekosistem pertembakauan. Petani berhak mendapat perlindungan, diberi kesempatan untuk hidup layak dan sejahtera. Bukan dimatikan mata pencahariannya. Poin-poin yang disampaikan tidak valid,," tuturnya di Jakarta, Kamis (28/7/2022).

Sementara itu, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau (AMTI) Budidoyo, menyatakan data terkait prelavalensi perokok anak yang menjadi justifikasi revisi aturan tersebut dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

Dia menyebut, data resmi BPS menunjukkan bahwa persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok mencapai 9,65 persen pada 2018.

Angkanya kemudian menurun menjadi 3,87 persen pada setahun setelahnya. Pada 2020, persentase anak berusia 10-18 tahun yang merokok kembali merosot menjadi 3,81 persen,.

"Sejak awal kami secara tegas menolak dilakukannya revisi PP 109/2012 sebab memang tidak ada justifikasi untuk merevisi PP 109 karena argumentasi bahwa prevalensi perokok anak masih tinggi, tidak benar," tutup dia.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Curhat Petani, Selalu Dirugikan dari Kebijakan Tembakau

Ilustrasi Tembakau (iStockphoto)

Sebelumnya, campur tangan dan desakan kepentingan antitembakau asing dalam penyusunan kebijakan pertembakauan nasional membuat ekosistem industri hasil tembakau (IHT) terus terpuruk.

Petani tembakau dan legislator meminta pemerintah mengedepankan kepentingan nasional guna melindungi ekosistem pertembakauan.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan, kebijakan-kebijakan pertembakauan yang terbit karena tekanan kelompok antitembakau seringkali bersifat sangat eksesif.

Antara lain kenaikan cukai yang sangat tinggi dan tidak terprediksi, yang dapat melemahkan seluruh segmen dalam ekosistem IHT. Berbagai kebijakan tersebut berdampak juga ke hulu mata rantai, serapan panen berkurang, serta penurunan produktivitas.

“Regulasi pertembakauan yang ditetapkan sangat eksesif, dan petani menjadi sasaran yang selalu dirugikan. Oleh karenanya, kami akan terus menolak FCTC dan segala bentuk kepentingan-kepentingan dari luar yang ingin mengendalikan IHT di dalam negeri,” ungkapnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (25/7/2022).

Saat ini, pengaruh dan tekanan kelompok antitembakau asing juga mulai merembet ke sejumlah LSM lokal yang menjadi perpanjangan tangan kepentingan-kepentingan tersebut.

Dalam kesempatan serupa, anggota Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menjelaskan, jejaring kelompok antitembakau ini tak hanya mengintervensi kebijakan makro, melainkan juga melakukan kampanye-kampanye hitam terhadap ekosistem IHT untuk mendorong kebijakan antitembakau di tingkat daerah.

“LSM-LSM di lokal ini juga misalnya mendorong penerapan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok). Saat ini yang paling berat ada pada dorongan penerapan Perda KTR DKI Jakarta. Kita harus bersatu dan kompak, karena dorongan Perda KTR ini tidak murni dari pemerintah daerah, ada desakan asing. Kami di DPR memiliki bukti bagaimana Bloomberg (Philanthropies) memengaruhi penerbitan perda-perda KTR,” jelas Yahya.

Yahya juga mendorong para pelaku dalam ekosistem IHT untuk aktif berjuang dan kritis, baik dari aspek politik, hukum, dan juga sosial. Ini dibutuhkan untuk menangkal tekanan-tekanan kelompok antitembakau asing dalam mendorong kebijakan pertembakauan yang tidak berpihak pada IHT nasional.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Pemerintah Bakal Hati-Hati Revisi PP 109 soal Produk Tembakau

Para petani tembakau di lahan perkebunan mereka di Desa Jatiguwi, Kabupaten Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Pemerintah akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Dalam hal ini, pemerintah akan memutuskannya secara hati-hati dan mempertimbangkan berbagai hal. Sebab, dalam aturan ini tidak hanya berbicara mengenai kesehatan, melainkan dampak kepada perekonomian.

Pengamat sekaligus Dosen dan Ahli Kebijakan Publik Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), Riant Nugroho menekankan, dalam membuat kebijakan dan memutuskan rencana peraturan pemerintah pasti mempertimbangkan berbagai aspek dengan bijak. Pemerintah secara komprehensif akan menganalisa akar permasalahan dan tujuan yang akan dicapai serta dampak yang akan muncul dikemudian hari.

Sehingga berkenaan dengan rencana revisi PP 109/2012 yang tengah menjadi polemik, menurut Riant, tentu pemerintah tidak bisa hanya mempertimbangkan aspek kesehatan saja, namun juga harus mempertimbangkan dampak terhadap perekonomian.

“Cek dulu akar permasalahannya, apa yang sebenarnya kita perjuangkan, kita sedang ada di mana, hendak ke mana, bagaimana caranya, dan apa modal yang kita perlukan. Kita tidak boleh berada di kondisi tersesat,” kata Riant.

Yang terpenting, sebelum merevisi sebuah peraturan dalam hal ini PP 109/2012, pemerintah harus terlebih dahulu melaksanakan evaluasi yang mendalam. Jika tidak, maka itu akan menjadi bentuk pelanggaran good governance. Selain itu, pemerintah berperan untuk membuat kebijakan optimum yang menyeimbangkan berbagai aspek. “Untuk mencapai delta dalam sebuah peraturan ini harus ada hasil evaluasi yang benar dan baik, kepentingan nasional, politik, dan evaluasi kebijakan internasionalnya,” kata Riant.

Sejalan dengan itu, Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan, Fiskal, Pengendalian Aset, Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet, Trikawan Jati Iswono menyampaikan, bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam membuat peraturan khususnya berkenaan dengan revisi PP 109/2012.

Pemerintah, kata Trikawan, tidak akan memutuskan secara sepihak dengan hanya fokus pada aspek kesehatan. Tetapi juga memikirkan dampak pada Industri Hasil Tembakau (IHT) serta sektor terkait seperti petani tembakau dan pedagang ritel.

 

Infografis PHK Hantui Kenaikan Tarif Cukai Rokok (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya