Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi Amerika Serikat mencatatkan kontraksi di kuartal kedua 2022. Dengan produk domestik bruto AS turun 0,9 persen pada kuartal kedua 2022 secara tahunan (year-on-year).
Angka ini mengikuti penurunan penurunan 1,6 persen di kuartal pertama dan lebih rendah dari perkiraan Dow Jones untuk kenaikan 0,3 persen.
Advertisement
Namun, Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan bahwa ekonomi negaranya berada dalam keadaan transisi, bukan resesi.
Dilansir dari CNBC International, Jumat (29/7/2022), Hal itu dia sampaikan meski PDB AS telah menunjukkan penurunan selama dua kuartal berturut-turut.
Tetapi Yellen mengakui, AS tengah melihat pelemahan ekonomi yang luas yang mencakup PHK besar-besaran, penutupan bisnis, ketegangan dalam keuangan rumah tangga dan perlambatan aktivitas sektor swasta.
"(Resesi) itu bukan apa yang kita lihat sekarang," katanya dalam sebuah konferensi pers.
"Ketika Anda melihat ekonomi, penciptaan lapangan kerja terus berlanjut, keuangan rumah tangga tetap kuat, konsumen belanja dan bisnis tumbuh," ujarnya.
"Kami telah memasuki fase baru dalam pemulihan kami yang berfokus pada pencapaian pertumbuhan yang stabil tanpa mengorbankan keuntungan dari 18 bulan terakhir," lanjut Yellen.
"Kami tahu ada tantangan di depan kami. Pertumbuhan melambat secara global. Inflasi tetap sangat tinggi, dan merupakan prioritas utama pemerintahan ini untuk menurunkannya," tambah dia.
Diketahui bahwa, secara resmi, Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) adalah lembaga yang secara resmi menyatakan resesi, yang biasanya terjadi setelah berbulan-bulan penelitian dan perdebatan; namun definisi tradisional adalah ketika ekonomi berkontraksi selama dua kuartal berturut-turut.
Joe Biden Masih Pede AS Tidak Akan Masuk Jurang Resesi Ekonomi
Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Joe Biden kembali meyakini AS tidak akan mengalami resesi ekonomi. Keyakinan itu ia sampaikan meskipun angka PDB AS yang akan dirilis akhir pekan ini mungkin menunjukkan ekonomi menyusut untuk kuartal kedua berturut-turut.
Dilansir dari Fox Business, Selasa (26/7/2022) Biden menyampaikan pernyataannya terkait ramalan resesi AS ketika menghadiri konferensi pers virtual Senin kemarin, 25 Juli 2022.
"Kita tidak akan masuk ke dalam resesi, dalam pandangan saya," kata Biden, yang masih dalam masa pemulihan dari Covid-19, ketika ditanya seberapa khawatir tentang ramalan resesi yang kian berdatangan.
Presiden ke- AS itu juga mengatakan bahwa tingkat pengangguran di negaranya masih dalam angka terendah dalam sejarah, sebesar 3,6 persen. "Kita masih melihat minat orang-orang untuk berinvestasi," ungkap Biden.
Sebelumnya, dlam sebuah postingan blog pada 21 Juli 2022, Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih mengatakan bahwa penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut tidak berarti AS akan jatuh dalam resesi.
"Apa itu resesi? Sementara beberapa orang berpendapat bahwa penurunan PDB riil selama dua kuartal berturut-turut merupakan resesi, itu bukanlah definisi resmi maupun cara para ekonom mengevaluasi keadaan siklus bisnis," demikian isi postingan blog tersebut.
Mengutip angka dari Biro Riset Ekonomi Nasional AS, postingan tersebut menyatakan bahwa variabel indikator resesi mereka telah menunjukkan pertumbuhan yang kuat dalam ekonomi AS sejak awal pandemi, dan terus berkembang hingga paruh pertama tahun ini.
Advertisement
Sri Mulyani Sebut Indonesia Lebih Perkasa dari AS dan Eropa soal Ancaman Resesi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terus mengamati ancaman resesi sebagai imbas dari pengetatan moneter yang dilakukan berbagai negara dunia saat ini.
Namun secara data, Indonesia tampaknya masih jauh lebih aman dari resesi dibanding negara lain.
Sri Mulyani menyebut, risiko ini muncul akibat adanya kenaikan harga energi dan komoditas pangan. Sehingga negara-negara maju cenderung tidak siap menghadapi situasi ini.
"Inggris sekarang inflasi sudah 9,4 (persen). Bulan lalu sudah di atas 9 (persen), 9,1 (persen), sekarang 9,4 (persen). Amerika juga sama. Sebelumnya 8,4 (persen) sekarang melonjak ke 9,1 (persen). Eropa pun sama, sekarang inflasinya memuncak di 8,6 (persen)," beber Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (27/7/2022).
Padahal, ia melanjutkan, negara-negara Eropa sudah terbiasa dengan tingkat inflasi 0 persen atau mendekati 0 persen.
Sehingga kenaikan sampai delapan kali lipat atau sembilan kali lipat merupakan suatu shock dalam perekonomian mereka.
"Ini akan direspon dengan kebijakan pengetatan moneter, baik dalam bentuk kenaikan suku bunga maupun dari sisi pengetatan likuiditas pada currency masing-masing," ujar Sri Mulyani.
Sementara di Amerika Serikat (AS) yang menguasai transaksi dunia dengan USD, harus berjibaku dengan tingkat inflasi 9,1 persen per Juni 2022.
Situasi ini membuat bank sentral AS The Federal Reserve makin agresif menaikan suku bunga acuannya, yang jelas turut mempengaruhi kesehatan perekonomian global.
"Secara historis, setiap kali Amerika menaikan suku bunga apalagi secara sangat agresif, biasanya diikuti oleh krisis keuangan dari negara-negara emerging," tekan Sri Mulyani.
Melihat situasi ini, mengutip data survey Bloomberg, potensi AS terkena resesi mencapai 40 persen. Sementara Eropa memiliki probabilitas lebih tinggi, mencapai 55 persen.
"Jadi kalau melihat berbagai negara dunia yang menghadapi dilema kenaikan inflasi tinggi dan pengetatan moneter, sehingga menyebabkan pelemahan ekonomi mereka, mereka dihadapkan pada kemungkinan munculnya resesi di negara tersebut," tuturnya.