Terbongkar, Alasan Kemenkeu Ogah Rutin Gelar Tax Amnesty

Hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan, 26,8 persen responden mendukung dan meminta Program Pengungkapan Sukarela (PPS) diadakan kembali

oleh Tira Santia diperbarui 31 Jul 2022, 16:30 WIB
Para petugas melayani konsultasi pedagang terkait program tax amnesty di ITC Mangga Dua, Jakarta, Selasa (1/11). Setelah pengusaha besar ikut tax amnesty, kini pemerintah menargetkan pelaku UMKM untuk ikut dalam program ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan, 26,8 persen responden mendukung dan meminta Program Pengungkapan Sukarela (PPS) diadakan kembali. Survei dilakukan kepada 1.246 responden yang dipilih melalui proses RDD. Survei dilakukan 9-12 Juli 2022.

Menanggapi, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, mengatakan jika PPS atau tax amnesty sering dilakukan, maka akan menciptakan mentalitas tingkat kepatuhan wajib pajak menjadi buruk.

Pasalnya, dari 26,8 persen responden tersebut meminta kesempatan karena terlambat mengikuti PPS. Padahal, kata Yustinus, Pemerintah telah memberikan waktu yang cukup lama yaitu 6 bulan bagi wajib pajak ikut PPS.

“Terkait PPS misalnya ini menarik pada pengen lagi banyak yang pengen PPS itu diulang karena ternyata belum tahu kemarin padahal kita  6 bulan ya, 8 bulan sejak undang-undang diimplementasikan diberlakukan,” kata Yustinus dalam diskusi Indikator Politik Indonesia: Persepsi dan Kepatuhan Publik Membayar Pajak, Minggu (31/7/2022).

Dia pun terkejut, karena masih banyak yang belum paham terkait PPS, baik pelaksanaannya maupun hal lainnya. Hal itu, tentunya menjadi tantangan bagi Pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang lebih masif lagi baik dengan pelaku usaha, asosiasi, maupun kepada masyarakat.

“Kita juga melakukan sosialisasi dengan lebih baik lagi. Tetapi kami sudah sepakat, harusnya DPR dan pengusaha harusnya juga sepakat, bahwa kalau pengampunan itu diberikan terlalu sering akan menciptakan mentalitas yang tidak baik,” tegasnya.

Menurutnya, jika kegiatan pengampunan pajak atau tax amnesty sering dilakukan, maka dampaknya bisa buruk terhadap kepatuhan pajak dalam jangka panjang. Wajib pajak akan semakin menunda-nunda untuk lapor pajak.

“Permanen tax amnesty bisa buruk bagi kepatuhan pajak dalam jangka panjang, karena orang akan nyicil kepatuhannya, sekarang dicicil berharap tahun depan ada amnesti lagi. Sehingga ini akan menjadi buruk terkait kewibawaan dan trust kepada otoritas,” pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Ternyata, Banyak Masyarakat Tak Tahu NIK Gantikan NPWP

Petugas melayani wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan di KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, Jakarta, Kamis (31/3/2022). Masyarakat yang memiliki NPWP dan penghasilan tetap setiap bulan, atau dari usaha diimbau segera melaporkan SPT tahunan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, hasil survei Indikator Politik Indonesia menyebutkan, tingkat pengetahuan publik terkait Nomor Induk Kependudukan (NIK) pengganti NPWP masih relatif rendah. Artinya, masih banyak wajib pajak yang belum mengetahui hal tersebut.

Survei dilakukan dilakukan melalui metode random digit dialing (RDD). RDD adalah Teknik memiliki sampel melalui proses pemanggilan nomor telepon secara acak kepada 1.246 responden yang dipilih melalui proses RDD. Survei dilakukan 9-12 Juli 2022

“Kita tanya apakah bapak ibu tahu NIK akan digunakan sebagai ganti NPWP. Yang tahu baru sedikit hanya 28,9 persen diantara mereka yang punya NPWP," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dalam diskusi Persepsi dan Kepatuhan Publik Membayar Pajak, Minggu (31/7/2022).

"Tetapi tingkat pengetahuan mereka yang punya NPWP yang penghasilannya diatas Rp 4 juta per bulan lebih banyak yang tahu 43,4 persen,” lanjut dia.

Dia menegaskan, secara umum pihaknya menemukan tingkat pengetahuan publik bahwa NIK akan digunakan sebagai NPWP relatif rendah.

Lebih lanjut, dari 1.246  responden, sekitar 27,5 persen memiliki NPWP, dari yang memiliki NPWP sekitar 52,4 persen pernah menyampaikan SPT pajak dan 62,6 persen mengaku membayar PPh baik secara langsung atau melalui perusahaan tempat kerjanya.

Dikelompok yang berpendapatan lebih dari Rp 4 juta per bulan, kepemilikan NPWP jauh lebih banyak yaitu, 43 persen.


Lebih Banyak Laki-Laki

Banner Infografis Nomor Induk Kependudukan di KTP Dijadikan NPWP. (Liputan6.com/Trieyasni)

Dilihat dari gender, cenderung lebih banyak laki-laki yang memiliki NPWP dibanding perempuan. Tetapi kelompok perempuan cenderung rajin melaporkan SPT dan membayar pajak dibanding laki-laki, artinya perempuan lebih patuh.

Selanjutnya, menurut usia, semakin tua maka semakin tinggi kepemilikan NPWP. Usia 17-21 tahun hanya 12,6 persen karena mereka masih kuliah karena belum punya pendapatan.

“Tapi dilihat kelompok usia kesediaan melapor SPT dan membayar pajak itu lebih tinggi dikalangan anak muda ketimbang orang tua. Ini poin bagus, jika mereka anak muda punya penghasilan maka akan lebih patuh,” ujarnya.

Dari sisi pendidikan, semakin tinggi pendidikan maka semakin punya NPWP, termasuk kesediaan mereka melaporkan SPT dan pajak juga semakin tinggi.

Adapun penilaian responden soal kemudahan membayar pajak, dari yang memiliki NPWP mayoritas merasa pembayaran pajak dapat secara mudah atau cukup mudah dilakukan. Demikian pula mereka yang memiliki NPWP dan berpendapatan lebih dari Rp 4 juta per bulan.

Kemudian terkait evaluasi terhadap pelayanan petugas pajak, responden yang memiliki NPWP mayoritas merasa puas atau cukup dengan pelayanan yang diberikan petugas pajak.

Infografis Nomor Induk Kependudukan di KTP Dijadikan NPWP. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya