Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan di awal pekan ini. Namun analis memperkirakan gerak nilai tukar rupiah masih bisa menguat seiring meredanya ekspektasi kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed).
Para Senin (1/8/2022), rupiah bergerak melemah 23 poin atau 0,16 persen ke posisi 14.857 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya di angka 14.834 per dolar AS.
Advertisement
"Rupiah masih berpotensi menguat terhadap dolar AS hari ini dengan meredanya ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan AS yang lebih agresif di sisa tahun ini," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra dikutip dari Antara.
Usai pengumuman keputusan kebijakan moneter The Fed pada pekan lalu, dolar AS mendapatkan tekanan terhadap nilai tukar utama lainnya.
Ia menilai hal itu disebabkan The Fed tidak memberikan ketegasan mengenai kebijakan kenaikan suku bunga acuan AS yang agresif ke depannya.
"Apalagi kemudian, data PDB AS kuartal kedua dirilis negatif, yang artinya ekonomi AS secara teknikal mengalami resesi. Kondisi resesi bisa membatasi gerak The Fed untuk lebih agresif menaikkan suku bunga acuannya," ujar Ariston.
Dari dalam negeri, lanjut Ariston, pelaku pasar akan memperhatikan rilis data inflasi Juli 2022 yang akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) siang ini.
"Inflasi yang masih terkendali, di kisaran 4 persen, bisa mendukung penguatan rupiah," ujar Ariston.
Di sisi lain, Ariston menambahkan bayang-bayang resesi global dan lockdown China karena pandemi COVID-19, masih memberikan sentimen negatif ke pasar aset berisiko.
Ariston memprediksi hari ini rupiah berpotensi menguat ke arah 14.800 per dolar AS dengan resisten di 15.050 per dolar AS.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kurs Rupiah Amblas 4,9 Persen, Bank Indonesia Masih Tenang
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat hingga 20 Juli 2022 nilai tukar rupiah terDepresiasi atau melemah 4,9 persen dibandingkan posisi akhir 2021.
Kendati begitu, Kepala Grup Dept. Ekonomi & Kebijakan Moneter Bank Indonesia Wira Kusuma, mengatakan, depresiasi rupiah tersebut relatif lebih rendah dibandingkan mata uang negara-negara berkembang lainnya.
“Namun kalau kita bandingkan tingkat depresiasi negara-negara tetangga, kita relatif lebih baik dibanding negara lain. Contoh, sampai 20 Juli secara point to point kita terdepresiasi 4,9 persen, namun negara seperti Malaysia 6,42 persen, India 7,05 persen, Thailand 8,93 persen, jadi relatif kita lebih baik dari hal itu,” kata Wira dalam Forum Merdeka Barat 9 (FMB9), Senin (25/7/2022).
Hal itu disebabkan karena ketidakpastian di pasar keuangan yang masih tinggi, sehingga menyebabkan aliran modal ke emerging market termasuk Indonesia menjadi tertahan.
“Tapi secara umum sektor eksternal kita yang digambarkan oleh neraca pembayaran Indonesia itu masih solid. Namun karena portofolio terjadi capital outflow itu menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar,” ujarnya.
Meski demikian, yang perlu diwaspadai Indonesia adalah inflasi. Sebab hingga kini inflasi terus meningkat, tercatat pada Juli mencapai 4,53 persen.
“Tapi kita lihat sumber inflasinya itu disebabkan oleh imported inflation dengan harga komoditas global yang meningkat,” katanya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Inflasi
Imported inflation adalah salah satu jenis inflasi yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar sehingga berdampak pada naiknya harga impor dari luar negeri.
Disisi lain, Wira menegaskan, untuk komponen inflasi yang lain, seperti core inflasi atau inflasi inti masih pada sasarannya. Kemudian, adanya exchange rate pass-through membuat nilai tukar yang semakin terdepresiasi.
“Hal ini juga menyebabkan menambah tekanan inflasi. Hal-hal inilah yang harus menjadi pertimbangan kita,” ujarnya.
Sebagai informasi, Exchange rate pass-through (ERPT) adalah persentase perubahan harga (domestik, impor maupun ekspor) sebagai akibat dari perubahan satu persen dalam kurs.