Menakar Prospek Reksa Dana Pendapatan Tetap dan Pasar Uang

Tim analis Bareksa menilai produk reksa dana pendapatan tetap dan pasar uang dapat jadi pilihan pada semester II 2022.

oleh Elga Nurmutia diperbarui 01 Agu 2022, 13:35 WIB
Ruang lobi gedung kantor Bareksa di Jakarta (Dok: Bareksa)

Liputan6.com, Jakarta - Tim analis Bareksa prediksi prospek reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi dan pasar uang dapat menjadi pilihan diversifikasi investasi di tengah fluktuasi pasar modal dan ketidakpastian global masih tinggi pada semester II 2022.

Moncernya prospeknya dua jenis reksa dana itu dengan mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve 2,25 persen sepanjang 2022 ke level 2,25 persen-2,5 persen.

Suku bunga itu diprediksi memengaruhi kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia.

"Jika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuannya, maka harga Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih sensitif terhadap isu makro ekonomi dikhawatirkan akan terdampak dan mengalami pelemahan,” ujar Chief Operation Officer Bareksa, Ni Putu Kurniasari dalam keterangan tertulis, Senin (1/8/2022).

Ia menilai, potensi reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi lebih menarik ketimbang jenis reksa dana berbasis surat berharga negara (SBN).

Selain itu, kenaikan suku bunga acuan dapat memacu kinerja reksa dana pasar uang sehingga reksa dana pasar uang dapat menjadi pertimbangan investor.

Tim Analis Bareksa yang beranggotakan Christian Halim (Head of Investment), Sigma Kinasih (Market & Funds Analyst) dan Ariyanto Dipo Sucahyo (Investment Analyst) memproyeksikan pergerakan pasar modal pada semester II 2022 ini masih fluktuatif hingga akhir kuartal III.

Lantaran investor global masih mencermati efek kenaikan suku bunga dolar Amerika Serikat yang agresif serta perlambatan ekonomi dunia yang berpotensi terjadi lebih cepat dari perkiraan.

 

 

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual saham. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Harga Pangan dan Energi Bakal Kembali Normal

Pekerja melintas di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Senin (3/1/2022). Pada pembukan perdagagangan bursa saham 2022 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung menguat 7,0 poin atau 0,11% di level Rp6.588,57. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Putu menuturkan, kebijakan Bank Sentral AS tersebut diambil untuk meredam lonjakan inflasi yang disebabkan oleh meroketnya harga pangan dan energi serta kelangkaan barang yang terjadi akibat terlalu cepatnya pemulihan ekonomi namun tidak diimbangi dengan pemulihan rantai pasokan barang yang cepat pula.

Tim Analis Bareksa memprediksi ke depan, harga pangan dan energi akan kembali turun ke level normal seperti saat sebelum masa pandemi, kecuali harga batu bara karena embargo Eropa terhadap batubara asal Rusia. Harga batu bara di semester II 2022 diproyeksikan masih berada di kisaran USD 350-USD 400 per ton.

Analisis Bareksa prediksi Indonesia masih akan mengalami surplus neraca berjalan (Current Account) sekitar 0,7-1,2 persen dari PDB tahun ini. Selain itu Bank Indonesia juga diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 4 persen pada akhir 2022 dari level saat ini 3,5 persen.

Prediksi itu mempertimbangkan ekspektasi inflasi Indonesia tidak melampaui angka 5 persen secara tahunan pada 2022.

 

 

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Reksa Dana Saham dan Indeks Masih Menarik

Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpampang di Jakarta, Kamis (10/10/2019). Dari 10 sektor pembentuk IHSG, lima sektor saham berada di zona merah. Pelemahan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Melihat data tersebut, prospek reksa dana saham dan reksa dana indeks juga masih menarik hingga akhir tahun terutama reksa dana yang berbasis saham berkapitalisasi besar (big caps) yang bergerak di sektor keuangan dan infrastruktur. Sebab saat terjadi fenomena window dressing jelang akhir tahun, sektor tersebut akan diburu investor terlebih dahulu.

“Investor dapat menikmati potensi imbal hasil yang lebih optimal di dua reksa dana tersebut dengan target Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di level 7.200 - 7.400 hingga akhir tahun,” tutur Putu.

Investor dapat mempertimbangkan untuk akumulasi secara bertahap di reksa dana saham dan reksa dana indeks, jika pasar saham (IHSG) turun ke kisaran level 6.500 - 6.700.

Namun, untuk saat ini, guna mengantisipasi dampak lonjakan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga, investor dapat mendiversifikasi investasinya di reksa dana pasar uang dan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi.

 

 


Kinerja Reksa Dana Semester I 2022

Ilustrasi Reksa Dana (Foto:Shutterstock).

Untuk kinerja reksa dana saham yang tercermin dari indeks reksa dana saham Bareksa tercatat turun 0,15 persen sepanjang semester I 2022. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya risiko global terutama akibat kebijakan pengetatan moneter AS.

Namun, Putu menilai, terdapat sejumlah reksa dana saham dan reksa dana indeks yang sanggup mencatatkan kenaikan dalam periode tersebut, yang utamanya ditopang oleh sektor energi yang melesat hingga 43 persen. Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan lonjakan harga komoditas energi seperti minyak mentah dan batu bara.

“Hal ini justru menciptakan surplus neraca perdagangan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor komoditas energi dunia serta meningkatkan kinerja saham produsen komoditas. Sektor energi telah meroket 43,7% sepanjang semester I 2022,” ujar dia.

Putu menambahkan dengan mempertimbangkan fluktuasi pasar dan ketidakpastian global yang cukup tinggi, maka investor disarankan sebaiknya mencermati reksa dana saham berbasis big cap. “Sektor ini masih memiliki peluang pertumbuhan positif di semester II 2022,” kata dia.

Adapun untuk kinerja reksa dana pendapatan tetap yang tercermin dari indeks reksa dana pendapatan tetap Bareksa sepanjang semester I 2022 juga mencatat kinerja negatif 1,03% yang diakibatkan pelemahan harga SBN. Meski begitu, untuk reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi justru menorehkan kinerja positif. Hal ini bisa terjadi karena fluktuasi harga obligasi korporasi umumnya cenderung lebih rendah daripada SBN.

 


Produk Reksa Dana

(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)

Terakhir, indeks reksa dana pasar uang Bareksa masih mencatat kinerja positif sekitar 0,96 persen pada semester I 2022.

Dengan karakter risiko terendah dibandingkan reksa dana jenis lainnya, umumnya kinerja imbal hasil reksa dana ini juga tergolong rendah. Karena itu, reksa dana pasar uang cocok jadi pilihan investasi atau diversifikasi, saat pasar saham dan obligasi sedang bergejolak.

Bareksa menyebutkan reksa dana pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi dan pasar uang dapat dipertimbangkan investor pada semester II antara lain:

Reksa dana pasar uang ada capital money market fund, sucorinvest sharia money market fund, dan shinkan money market fund.

Sedangkan reksa dana pendapatan tetap ada Syailendra pendapatan tetap premium, TRIM Dana Tetap 2, dan Sucorinvest stable fund.

Untuk reksa dana saham dan indeks yang dapat dicermati investor pada semester II 2022 antara lain Avrist Ada Saham Blue Safir, Bahana Dana Prima, dan BNP Paribas Sri Kehati.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya