Pemerintah Diminta Cabut Aturan HET Minyak Goreng

Pengamat mengatakan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sudah pasti menyebabkan kelangkaan.

oleh Tira Santia diperbarui 01 Agu 2022, 16:00 WIB
Wamendag Jerry Sambuaga saat memastikan pasokan minyak goreng, di Pasar Tradisional KM 5 Palembang Sumsel (Liputan6.com / Nefri Inge)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan ekonomi dan masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha, mengatakan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sudah pasti menyebabkan kelangkaan.

“Secara ekonomi, kalau kelangkaan pasti terjadi apabila produsen harus menjual dengan harga lebih rendah daripada harga keseimbangan pasar,” kata Eugenia, dalam Diskusi Virtual : Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Goreng Bagi Petani Swadaya, Senin (1/8/2022).

Kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh aksi spekulan melakukan penimbunan, pengemasan ulang minyak goreng curah, penyelundupan atau pembelian berlebih oleh masyarakat.

“Jadi kalau HET diterapkan, kelangkaan sudah pasti terjadi. Tapi kelangkaan ini bisa disebabkan berbagai macam hal, seperti yang sudah disebutkan tadi,” ujarnya.

Pihaknya pun melakukan simulasi, untuk setiap 1 persen kenaikan harga minyak goreng, maka supply minyak goreng akan naik sebesar 1,174 persen.

Kalau diasumsikan harga pasar minyak goreng adalah Rp 25.000 per kg, kemudian harga eceran tertingginya Rp 14.000 per kg maka perbedaan harganya itu 44 persen.  Kemudian persentase kelangkaannya itu adalah 49 persen.

“Kalau kita asumsikan bahwa permintaan di tahun 2022 sesuai data yang saya ambil dari GAPKI sebanyak 9,6 juta ton maka kelangkaannya itu diperkirakan 4,8 juta ton, yang diakibatkan kebijakan HET tadi,” jelasnya.

 


Penelitiannya

Aktivitas pedagang minyak goreng curah di pasar Cipete, Jakarta, Kamis (17/9/2022). Kini, minyak goreng satu harga yakni Rp 11.500 untuk minyak goreng curah per liter, Rp 13.500 untuk minyak kemasan sederhana dan Rp 14.000 untuk minyak goreng medium tidak berlaku. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Demikian, dari hasil penelitiannya, HET lebih baik dihapus saja untuk menghindari kelangkaan yang besar. Selain itu, kebijakan pengendalian harga minyak goreng perlu dilakukan oleh pemerintah secara lebih berhati-hati sehingga tidak menyebabkan ketidakefisienan pasar.

“Kebijakan yang baik adalah yang seminimum mungkin mendistorsi pasar. Kebijakan tata kelola yang menyeluruh, tidak parsial, akan memberikan kepastian usaha bagi seluruh rantai pasok sawit,” ujarnya.

Menurutnya, penghentian ekspor membuat tangki perusahaan kelapa sawit (PKS) penuh, sehingga PKS menghentikan pembelian TBS dari petani. Akibatnya harga TBS jatuh, dan membawa penderitaan kepada petani sawit, khususnya petani sawit swadaya.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Dampak ke Petani Sawit

Menteri Perdagangan atau Mendag Zulkifli Hasan meluncurkan produk minyak goreng curah kemasan Minyakita, yang masuk ke dalam program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR).

Pembatasan ekspor CPO, meskipun sementara dalam waktu singkat mendistorsi kegiatan perdagangan kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Dampak negatif terbesar dirasakan oleh petani sawit swadaya karena harga TBS tidak kunjung menyesuaikan dengan harga internasional.

“Kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng yang berlaku sampai saat ini juga merupakan kebijakan yang mendistorsi pasar, karena minyak goreng dijual di bawah harga keekonomiannya,” ujarnya.

Akibatnya muncul aksi spekulan yang membeli lebih banyak dari kebutuhan, praktik pengemasan ulang minyak goreng curah ke dalam kemasan, serta praktik penyelundupan atau ekspor gelap.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya