Liputan6.com, Jakarta - Ribuan UMKM dan bisnis jasa di Shanghai China mengungkapkan masih menghadapi kesulitan untuk bertahan, karena pembatasan ketat dalamupaya menekan penyebaran Covid-19 di kota itu.
Diketahui bahwa sejak Mei 2022, salah satu kota ekonomi terbesar di China itu telah mencabut lockdown yang diberlakukan selama 2 bulan. Namun, pembatasan ketat masih diterapkan di kota itu di bawah kebijakan Nol-Covid-19 China.
Advertisement
Dilansir dari South China Morning Post, Selasa (2/8/2022) pemilik usaha hiburan seperti tempat karaoke, kedai kopi, restoran hingga klub malam, mengungkapkan mereka mulai mempertimbangkan memindahkan bisnis mereka dari Shanghai karena pembatasan Covid-19 yang ketat di kota itu.
Salah satunya adalah Pu Na, pendiri dan kepala barista kedai kopi New Comer di pusat kota Shanghai, yang mengatakan prioritasnya sekarang adalah mempertahankan klien untuk usaha bisnis baru bahkan saat dia terus mengoperasikan kafenya yang sedang kesulitan.
Dia mengungkapkan, selama lockdown Covid-19 di Shanghai, Pu memutuskan untuk membeli kebun kopi seluas 13.300 meter persegi di kampung halamannya.
"Lockdown mempercepat langkah kami untuk beralih ke hulu dalam rantai pasokan," katanya, seraya menambahkan bahwa keputusan itu tidak dibuat secara mendadak.
Sementara dia telah mempertimbangkan keputusan untuk menanam kopi sendiri untuk menyajikan produk berkualitas tinggi, penurunan tajam dalam lalu lintas pelanggan setelah lockdown juga memperkuat keyakinannya karena China mempertahankan kebijakan nol-Covid-19.
Pada April 2022, penjualan ritel Shanghai anjlok 48,3 persen YoY menjadi 71.7 miliar yuan. Angka itu terus menurun hingga 36,5 persen pada Mei 2022 menjadi 95 miliar yuan.
Pelonggaran lockdown pada Juni 2922 gagal mendorong penjualan ritel di Shanghai, turun 4,3 persen menjadi 154,3 miliar yuan.
Tempat hiburan seperti bioskop dan tempat karaoke di kota itu juga masih belum dibuka, sementara kapasitas restoran dan kedai kopi dibatasi hingga 75 persen.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
China Beri Sinyal Pertumbuhan Ekonomi Negaranya Meleset dari Target
China mengisyaratkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi negaranya tidak akan mencapai target 5,5 persen di 2022 ini.
Hal itu merupakan dampak pembatasan ketat untuk meredam wabah baru Covid-19 membebani ekonomi negara itu.
Dilansir dari BBC, Senin (1/8/2022) Politbiro, badan pembuat kebijakan utama Partai Komunis China mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi dalam kisaran yang wajar.
Namun, dalam pernyataan itu, tidak disebutkan target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen seperti yang telah ditetapkan sebelumnya.
Politbiro yang beranggotakan 25 orang, yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping, mengatakan para pemimpinnya akan "berusaha untuk mencapai hasil terbaik".
Badan itu juga menyerukan provinsi-provinsi di China untuk bekerja keras memenuhi masing-masing target pertumbuhan ekonomi mereka.
Menurut analis, kurangnya penyebutan PDB penting, meskipun para ekonom sebelumnya memperkirakan akan sulit bagi China untuk mencapai target 5,5 persen.
"Target pertumbuhan 5,5 persen tidak lagi menjadi keharusan bagi China," kata Iris Pang, kepala ekonom China di ING Bank, kepada kantor berita Wall Street Journal.
Mereka juga menambahkan bahwa China mendesak provinsi yang lebih besar untuk memulihkan ekonomi yang terdampak lockdown.
"Beijing meminta provinsi yang posisinya relatif baik harus berusaha untuk mencapai target ekonomi dan sosial untuk tahun ini," ujar analis Nomura Ting Lu, Jing Wang dan Harrington Zhang dalam sebuah catatan.
"Kami pikir Beijing menyarankan bahwa target pertumbuhan PDB untuk provinsi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, terutama bagi mereka yang terpukul oleh varian Omicron dan lockdown, bisa lebih fleksibel,," tambah mereka.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi
China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.
Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara.
"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).
"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.
Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.
Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.
Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.
Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.
Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.
"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.
"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.
China Dikabarkan Bakal Bantu Para Pengembang Properti Terdampak Covid-19
Sebuah sumber mengatakan bahwa China akan meluncurkan dana bantuan real estat untuk mendukung para pengembang properti menyelesaikan krisis utang mereka, senilai 300 miliar yuan (USD 44 miliar).
Ini akan menjadi langkah besar pertama China untuk menyelamatkan sektor properti sejak masalah utang menjadi publik tahun lalu.
Srinivasan meyebut hal itu sebagai langkah perbaikan, tetapi menambahkan jumlahnya mungkin tidak cukup dan menyarankan China untuk mencari solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
"Anda perlu tahu pengembang mana yang menghadapi kendala, seperti apa, dan berapa banyak dari mereka yang layak," katanya.
"Strateginya perlu disempurnakan sepenuhnya, dan itulah yang masih kurang saat ini," sebutnya.
Advertisement