Liputan6.com, Jakarta - Analis memperingatkan hilangnya kepercayaan pada sektor properti dapat menyeret ekonomi China ke penurunan lebih lanjut.
Komentar itu muncul setelah perusahaan pengembang atau real estat China Evergrande Group gagal memberikan rencana restrukturisasi senilai USD 300 miliar yang dijanjikan selama akhir pekan.
Advertisement
"Bagi pemerintah, prioritasnya adalah memutus lingkaran umpan balik negatif yang menampilkan rasio yang tinggi dan krisis likuiditas di pihak pengembang," kata Shuang Ding, kepala ekonom Standard Chartered untuk China Raya dan Asia Utara, dikutip dari CNBC, Selasa (2/8/2022).
"Itu mengarah pada boikot hipotek dan selera yang sangat rendah di pihak pembeli rumah, dan kembali ke pengembang karena penjualan yang rendah memengaruhi likuiditasnya," jelasnya kepada CNBC "Street Tanda Asia."
Sebagai informasi, China tengah menghadapi masalah pada pembayaran hipotek, dengan pemilik rumah di 22 kota menolak untuk membayar pinjaman mereka pada proyek perumahan yang belum selesai.
"Jadi jika masalah ini tidak ditangani dengan baik, akan berdampak besar pada perekonomian, termasuk neraca pemerintah, neraca bank juga rumah tangga," beber Shuang Ding.
Shuang Ding menyebut, masalah di sektor properti mengancam fondasi penting dari ekonomi China, yaitu kepercayaan pasar.
Penjualan tanah, yang merupakan porsi dominan pendapatan pemerintah provinsi di China, turun 30 persen dalam setahun terakhir.
Ekonom Standard Chartered itu menyarankan, China baiknya berupaya meredam masalah di sektor properti dan menanganinya secara holistik, bukan dengan pendekatan sedikit demi sedikit, guna menghindari kebangkrutan massal.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pengamat Ragu Krisis Evergranda China Bisa Selesai dalam Waktu Dekat
Dan Wang, kepala ekonom China di Hang Seng Bank, mengatakan negara itu dapat menghindari kebangkrutan massal dengan memastikan perusahaan-perusahaan real estat yang bermasalah memiliki cukup uang untuk menyelesaikan pembangunan rumah setengah jadi atau menyelesaikan proyek yang dijual.
Di sisi lain, menurut co-head of Asia-Pacific research di CreditSights, yakni Sandra Chow melihat hanya ada kemungkinan kecil krisis Evergrande akan diselesaikan dalam waktu dekat, dan mungkin tidak akan pernah terselesaikan sama sekali.
"Saya pikir akan memakan waktu lama bagi investor untuk mendapatkan kepercayaan tidak hanya di Evergrande, tetapi di sektor properti China secara keseluruhan," ujar Chow.
"Pasar properti China masih dalam kesulitan, meskipun semua langkah pelonggaran dan nilai aset masih turun, terutama di wilayah tingkat bawah juga. Jadi akan sangat sulit untuk membangun kembali kepercayaan," imbuhnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
China Beri Sinyal Pertumbuhan Ekonomi Negaranya Meleset dari Target
China mengisyaratkan kemungkinan pertumbuhan ekonomi negaranya tidak akan mencapai target 5,5 persen di 2022 ini.
Hal itu merupakan dampak pembatasan ketat untuk meredam wabah baru Covid-19 membebani ekonomi negara itu.
Dilansir dari BBC, Senin (1/8/2022) Politbiro, badan pembuat kebijakan utama Partai Komunis China mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi dalam kisaran yang wajar.
Namun, dalam pernyataan itu, tidak disebutkan target pertumbuhan ekonomi 5,5 persen seperti yang telah ditetapkan sebelumnya.
Politbiro yang beranggotakan 25 orang, yang diketuai oleh Presiden Xi Jinping, mengatakan para pemimpinnya akan "berusaha untuk mencapai hasil terbaik".
Badan itu juga menyerukan provinsi-provinsi di China untuk bekerja keras memenuhi masing-masing target pertumbuhan ekonomi mereka.
Menurut analis, kurangnya penyebutan PDB penting, meskipun para ekonom sebelumnya memperkirakan akan sulit bagi China untuk mencapai target 5,5 persen.
"Target pertumbuhan 5,5 persen tidak lagi menjadi keharusan bagi China," kata Iris Pang, kepala ekonom China di ING Bank, kepada kantor berita Wall Street Journal.
Mereka juga menambahkan bahwa China mendesak provinsi yang lebih besar untuk memulihkan ekonomi yang terdampak lockdown.
"Beijing meminta provinsi yang posisinya relatif baik harus berusaha untuk mencapai target ekonomi dan sosial untuk tahun ini," ujar analis Nomura Ting Lu, Jing Wang dan Harrington Zhang dalam sebuah catatan.
"Kami pikir Beijing menyarankan bahwa target pertumbuhan PDB untuk provinsi dengan kondisi yang kurang menguntungkan, terutama bagi mereka yang terpukul oleh varian Omicron dan lockdown, bisa lebih fleksibel,," tambah mereka.
IMF Minta China Pikirkan Ulang Imbas Kebijakan Nol Covid-19 ke Ekonomi
China disebut perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan nol Covid-19 untuk menghindari penurunan ekonomi, serta menghasilkan solusi jangka panjang untuk krisis di sektor real estat.
Hal itu disampaikan oleh direktur Departemen Asia dan Pasifik di IMF Krishna Srinivasan, dalam sebuah wawancara.
"China telah membuat beberapa perubahan dalam membuatnya sedikit lebih fleksibel, tetapi kami merasa bahwa strategi ini dapat menjadi hambatan bagi perekonomian," kata Srinivasan, dikutip dari US News, Kamis (28/7/2022).
"Ini adalah masalah yang perlu ditangani," ujarnya.
Diketahui bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah memberlakukan serangkaian pembatasan ketat Covid-19, memicu ketidakpastian di antara penduduk dan bisnis atas kemungkinan lockdown lainnya di masa depan.
Kebijakan nol-Covid-19 di China juga menjadi salah satu faktor IMF memangkas perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara itu tahun menjadi 3,3 persen, dari semula 4,4 persen dalam World Economic Outlook (WEO) terbaru yang diterbitkan pekan ini.
Laporan WEO menyebut, ini akan menjadi pertumbuhan ekonomi terendah China dalam lebih dari empat dekade, tidak termasuk selama krisis Covid-19 awal pada tahun 2020.
Namun, kebijakan nol-Covid-19 bukan satu-satunya faktor di balik kekhawatiran IMF atas perlambatan ekonomi China.
Naiknya harga rumah dan melonjaknya utang rumah tangga juga memicu krisis di sektor real estat.
"Niat pemerintah untuk mengurangi leverage di sektor real estat sepenuhnya benar, tetapi telah menghambat pertumbuhan," ucap Srinivasan.
"Sekarang banyak rumah tangga yang menolak membayar KPR karena banyak proyek perumahan yang belum selesai," ungkapnya.
Advertisement