Liputan6.com, Jakarta Aktris Lola Amaria mengaku lega akhirnya film Pesantren bisa tayang di bioskop. Film cerita dokumenter ini bakal tayang di bioskop mulai 4 Agustus. Film ini mengambil cerita kehidupan pesantren di Pondok Kebon Jambu Al Islamy, Cirebon.
Lola Amaria mengaku memang tidak ikut terlibat dalam pembuatan film ini. Namun dirinya merasa terpanggil untuk membantu menyebarkan cerita dalam film ini.
"Film Pesantren ini awalnya dirilis pada 2019 dan dipertontonkan secara langsung di Amsterdam, Belanda dalam ajang International Documentary Festival Amsterdam. Saya membawa keliling film ini 10 pesantren. Awalnya dirilis 2019 di Belanda, lalu 2020 seharusnya dirilis tapi pandemi jadi ketahan dan baru naik ke bioskop 4 Agustus mendatang dengan layar terbatas," kata Lola Amalia usai premier film Pesantren di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta, Senin (1/8/2022).
Diakui oleh Lola Amaria dirinya memang melihat cerita dalam film ini sangat nyata dengan kehidupan para santri. Oleh karena itu dirinya berusaha untuk agara film ini bisa disaksikan banyak orang.
"Saya sebenarnya melihat utuh film ini 2018 dan dikerjakan dengan editor orang Jerman dengan proses pengerjaan yang panjang. Saya saat itu bilang kalau film ini harus naik sebagai perspektif bahwa pesantren dan islam itu berkembang dengan sangat baik," ujarnya.
Baca Juga
Advertisement
Barokah
Lola Amaria tak banyak berharap pada penjualan tiket. Apalagi layar yang diberikan juga hanya puluhan untuk seluruh Indonesia.
"Saya belajar ilmu barokah dari film ini. Karena itu saya tidak berharap tentang pendapatan dari penjualan tiket, tapi barokahnya. meski sedikit yang nonton tapi kalau berdampak besar, itu barokah," jelasnya.
Advertisement
Aturan
Film Pesantren sendiri menunjukkan bagaimana para santri tak terkukung aturan ketat sebagaimana dikenal di masyarakat dengan menampilkan sisi kesenian dan kemajuan perkembangan zaman.
Penayangan film ini diharapkan bisa mengurangi stigma pesantren adalah pusat tumbuh kembangnya radikalisme. Sutradara Salahuddin Siregar mengatakan keinginan untuk membuat dokumenter berdurasi dua jam adalah jawaban atas kekuatiran stigma tersebut.
"Saya pernah membuat film pada tahun 2012 ketika anak perempuan dimasukkan pesantren muncul stigma itu keputusan yang salah. Karena pesantren adalah sumber radikalisme," ujar Salahuddin Siregar.
Khawatir
Selain itu, berharap film Pesantren dapat menunjukkan bahwa kekhawatiran itu tidak ada. Justru yang ada adalah bagaimana pesantren berupaya melindungi perbedaan.
"Ada beberapa adegan yang berulang seperti tafsir Ar Rahman dan Ar Rahim. Ini untuk menunjukkan pengajaran di pesantren itu tidak radikal," tegasnya.
Advertisement