Liputan6.com, Pekanbaru - Kejaksaan Agung menetapkan mantan Bupati Indragiri Hulu, Raja Thamsir Rachman, sebagai tersangka korupsi lahan PT Duta Palma. Bersama pria yang pernah menjadi Ketua Demokrat Riau itu, penyidik juga menyeret Surya Darmadi.
Di Riau, Raja Thamsir Rachman dan Surya Darmadi bukanlah orang baru terjerat hukum karena masing-masing punya catatan hitam, khususnya korupsi.
Baca Juga
Advertisement
Surya Darmadi pernah menjadi pesakitan dalam kasus suap izin lahan yang menjerat mantan Gubernur Riau Annas Maamun. Sejumlah orang sudah masuk penjara dalam kasus ini, kecuali Surya Darmadi.
Surya Darmadi dinyatakan oleh penyidik KPK bersama-sama dengan Suheri Terta selaku Legal Manager PT Duta Palma Grup menyuap Annas Maamun sebesar Rp 3 miliar. Suap itu diberikan terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau.
Dalam kasus ini, Surya Darmadi sudah ditetapkan KPK sebagai buronan. Pasalnya pendiri perusahaan perkebunan terbesar di Riau itu tidak pernah memenuhi panggilan penyidik.
Sementara Raja Thamsir Rachman, saat ini masih dipenjara di Lapas Pekanbaru. Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2004 terjeret korupsi APBD bernilai Rp79 miliar.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tilap APBD
Informasi dirangkum, Raja Thamsir Rachman dijebloskan ke penjara pada 12 Januari 2016. Dia dijemput petugas dari Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu ke rumahnya di Pekanbaru karena tidak mengindahkan panggilan.
Dalam kasus APBD ini, Raja Thamsir Rachman dinyatakan terbukti bersalah dan divonis 8 tahun penjara. Vonis ini termaktub dalam amar putusan MA dengan Nomor: 336 K.PID.SUS/2014 tertanggal 10 Februari 2015.
Raja Thamsir Rachman juga dihukum dengan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 2 bulan penjara. Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti Rp28.822.753.000.
Thamsir terseret kasus penilapan APBD karena menyalahgunakan uang kas daerah sejak tahun 2005 sampai tahun 2008 sebesar Rp79 miliar. Perkara ini ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Riau.
Thamsir pertama kali disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru pada tahun 2012 dan divonis bersalah.
Perkara ini bergulir ke Pengadilan Tinggi Riau karena jaksa dan Thamsir mengajukan banding. Upaya Thamsir ini akhirnya kandas, begitu juga saat kasasi di Mahkamah Agung karena vonisnya sama.
Advertisement
Kesepakatan Jahat
Sementara dalam kasus lahan yang saat ini ditangani Kejagung, Thamsir dan Surya Darmadi melakukannya pada tahun 2003. Saat itu Surya Darmadi selaku Pemilik PT Duta Palma Group melaksanakan kesepakatan dengan Thamsir soal pembangunan kebun.
Perusahaan yang dibawa Surya Darmadi adalah PT Banyu Bening Utama, PT Panca Agro Lestari, PT Seberida Subur, PT Palma Satu dan PT Kencana Amal Tani.
Kesepakatan keduanya untuk mempermudah dan memuluskan perizinan kegiatan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit, juga usaha pengolahan kelapa sawit maupun persyaratan penerbitan HGU di Indragiri Hulu.
Lahan itu ternyata berada di kawasan hutan, baik Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Penggunaan Lainnya (HPL) di Kabupaten Indragiri Hulu.
Adapun modusnya dengan cara membuat kelengkapan perizinan terkait Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan secara melawan hukum dan tanpa didahului dengan adanya Izin Prinsip, AMDAL, dengan tujuan untuk memperoleh Izin Pelepasan Kawasan Hutan dan HGU.
Selain itu, PT Duta Palma Group sampai dengan saat ini tidak memiliki izin pelepasan Kawasan Hutan dan HGU. Perusahaan juga tidak pernah memenuhi kewajiban hukum untuk menyediakan Pola Kemitraan sebesar 20 persen dari total luas area kebun yang dikelola, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007.
Kegiatan perkebunan yang dilakukan oleh PT Duta Palma Group tersebut mengakibatkan kerugian perekonomian negara yakni hilangnya hak-hak masyarakat Kabupaten Indragiri Hulu yang sebelumnya telah memperoleh manfaat dari hasil hutan untuk meningkatkan perekonomiannya, serta rusaknya ekosistem hutan.
Menurut penyidik, perusahaan ini mengelola lahan secara ilegal seluas 37.095 hektare. Keduanya telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp78 triliun.