Ekonom Usul Anggaran Infrastruktur Dialihkan ke Subsidi BBM dan Listrik

Jika pemerintah mencabut subsidi energi saat ini, tingkat inflasi Indonesia terlampau tinggi dan bisa menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik.

oleh Tira Santia diperbarui 02 Agu 2022, 15:40 WIB
Petugas melayani warga yang mendaftar untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar subsidi untuk kendaraan roda empat di SPBU Pertamina 31.124.02 di kawasan Fatmawati, Jakarta, Rabu (27/7/2022). PT Pertamina (Persero) mencatat 80 persen kendaraan yang didaftarkan mengkonsumsi BBM jenis Pertalite. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah terus berupaya menahan kenaikan harga BBM dan listrik dengan subsidi. Namun angka subsidi energi kian membengkak, secara total anggaran pemerintah untuk subsidi dan kompensasi menjadi di sektor energi Rp 352 triliun.

Ekonom Indef Nailul Huda menyarankan, sebetulnya APBN bisa menahan pembengkakan anggaran subsidi dengan mengalihkan belanja infrastruktur ke subsidi.

“Jika pemerintah mengalihkan belanja infrastruktur ke subsidi, saya rasa bisa sampai akhir tahun untuk subsidi BBM dan listrik,” kata Nailul kepada Liputan6.com, Selasa (2/8/2022).

Menurutnya, Pemerintah harus bisa menjaga daya beli masyarakat dengan subsidi. Di sisi lain, tindakan pemerintah memberikan subsidi BBM dan listrik saat ini sudah tepat, karena menjaga inflasi tidak terlalu tinggi.

Namun memang tahun depan bisa dipertimbangkan untuk dikurangi. Saat ini dunia menghadapi inflasi yang cukup tinggi dan merembet ke domestik. Jika pemerintah mencabut subsidi saat ini, tingkat inflasi kita terlampau tinggi dan bisa menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik.

“Jangan sampai inflasi kita terlalu tinggi. Saat ini sudah termasuk menuju level “bahaya”,” katanya.

Oleh karena itu, dia menilai pengalihan anggaran belanja infrastruktur dialihkan ke subsidi mampu mengontrol inflasi, dan tentunya sangat membantu masyarakat miskin dalam menghadapi inflasi.

“Maka saya rasa pengalihan anggaran ke subsidi ini sangat penting. Bisa saja diganti dengan subsidi langsung ke masyarakat miskin, tapi tetap tidak mampu mengontrol inflasi saya rasa. Makanya bisa jadi banyak orang yang jadi miskin,” jelasnya.

Sebagai informasi, Pemerintah mengalokasikan dana Rp365,5 triliun untuk anggaran infrastruktur dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022. Nilai anggaran tersebut turun 14 persen dibandingkan dengan anggaran 2021.

Rinciannya, anggaran infrastruktur yang dialokasikan melalui belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 168,35 triliun, terdiri dari belanja Kementerian/Lembaga (K/L) Rp162,25 triliun dan belanja non K/L senilai Rp6,1 triliun.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Jokowi: Subsidi BBM Indonesia Sudah Rp502 Triliun

Presiden Jokowi saat berpidato di hadapan menteri-menterinya

Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diberikan pemerintah sudah sangat besar yakni, mencapai Rp 502 triliun. Menurut dia, tidak ada negara mana pun yang kuat memberikan subsidi sebesar itu.

"Perlu kita ingat subsidi terhadap BBM sudah terlalu besar dari Rp170 (triliun) sekarang sudah Rp502 triliun. Negara manapun tidak akan kuat menyangga subsidi sebesar itu," kata Jokowi dalam acara Zikir dan Doa Kebangsaan di halaman Istana Merdeka Jakarta, Senin 1 Agustus 2022.

"Tapi alhamdulilah kita sampai saat ini masih kuat. Ini yang perlu kita syukuri," sambungnya.

Dia menyampaikan bahwa harga bensin di negara lain mencapai Rp31.000 sampai Rp32.000 per liter. Sedangkan, harga Pertalite di Indonesia Rp7.650 per liter.

"Kita patut bersyukur, Alhamdulilah kalau bensin di negara lain harganya sudah Rp31.000, Rp32.000. Di Indonesia Pertalilte masih harganya Rp7.650," ucapnya.

Jokowi menuturkan bahwa dunia saat ini sedang dalam kondisi yang tak baik-baik saja. Setelah dihantam pandemi Covid-19 hampir 2,5 tahun, dunia kini dihadapi dengan munculnya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan krisis.

"Muncul sesuatu yang dadakan yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Sakitnya belum sembuh, muncul yang namanya perang di Ukraina sehingga semuanya menjadi bertubi-tubi, menyulitkan hampir semua negara. Semua negara berada dalam posisi yang sangat sulit," jelas Jokowi.

Menurut dia, negara-negara di Asia, Afrika, dan Eropa yang menjadikan gandum sebagai makanan harian, saat ini berada dalam posisi yang sulit. Pasalnya, 77 juta ton gandum dari Ukraina tidak bisa keluar atau di ekspor akibat perang.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Ancaman Kelaparan

Selain itu, kata Jokowi, 130 juta ton gandum dari Rusia juga tak bisa diekspor karena perang. Kondisi ini membuat 333 juta orang di dunia mengalami kelaparan.

"Berarti Ukraina plus Rusia, jumlah stok gandum ada 207 juta ton. Ini yang mengakitabkan 333 juta orang kelaparan dan mungkin 6 bulan lagi 800 juta orang akan kelaparan akut karena tidak ada yang dimakan sekali lagi," tuturnya.

"Alhamdulilah beras di Australia masih bisa kita cari dan tidak naik. Ini patut kita syukuri berkat kerja keras Bapak/Ibu, berkat ikhitar gotong royong kita bersama-sama," imbuh Jokowi.

Disamping itu, dia mengungkapkan bahwa dunia juga dihadapi oleh krisis energi. Kondisi ini membuat harga gas naik hingga lima kali lipat dan bensin naik dua kali lipat.

"Beberapa negara yang tidak kuat, ambruk karena sudah tidak memiliki uang cash baik untuk membeli energi bensin dan gas atau membeli pangan," pungkas Jokowi.

 

Infografis Journal Subsidi BBM Untuk Pendaftaran di MyPertamina Timbulkan Masalah. (Liputan6.com/Trie Yasni).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya