Liputan6.com, Jakarta Alpanya partisipasi pelaku industri hasil tembakau (IHT) sebagai objek terdampak implementasi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan membuat usulan revisi ini dinilai tak layak dilanjutkan.
Pakar Kebijakan Publik Riant Nugroho menjelaskan, pelibatan objek kebijakan dalam penyusunan kebijakan publik merupakan hal sangat krusial. Oleh karenanya, pelibatan para pelaku IHT perlu dilakukan sejak awal proses revisi PP 109/2012.
Advertisement
“Sebagai objek kebijakan, pelaku IHT harus dilibatkan dari proses awal, penyusunan naskah akademik, hingga keseluruhan proses. Apabila tidak ada keterlibatan dari objek kebijakan secara proses administrasi publik, kebijakan yang dibuat tidak memenuhi kelayakan,” paparnya di Jakarta, Selasa (2/8).
Pelibatan objek kebijakan, kata Riant, merupakan aspek penting dalam pembuatan kebijakan publik, khususnya terkait akuntabilitas.
Dalam prinsip good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, akuntabilitas memastikan adanya komunikasi secara detail, rinci, dan komprehensif dengan setiap pihak yang menjadi bagian atau objek dari kebijakan tersebut.
Sayangnya aspek ini kerap terlupakan oleh pembuat kebijakan publik, khususnya pemerintah. Mereka hanya fokus terhadap aspek responsibilitas, yaitu agar kebijakan-kebijakan yang telah dijadwalkan bisa rampung pada waktu dan sesuai anggaran yang ditentukan.
Karena ini pula, sejumlah proses pembuatan kebijakan publik hanya menjadi afirmasi terhadap ide maupun gagasan yang disusun pemerintah.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Uji Publik
Hal ini misalnya tercermin dari proses konsultasi maupun uji publik yang tak sesuai dengan amanat undang-undang, dan tidak mampu memotret kenyataan di lapangan.
Uji publik yang tidak inklusif dikhawatirkan hanya akan menghasilkan kebijakan yang tidak menjadi solusi yang mengena pada kebutuhan masyarakat luas.
Hal ini juga jelas bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tentunya nilai-nilai Pancasila yang sangat mengedepankan musyawarah mufakat sebagai bentuk keadilan.
“Dalam sejumlah konsultasi publik, sebenarnya bukan konsultasi publik, tapi bagaimana pejabat mengundang banyak stakeholder yang hanya setuju dengan gagasan pemerintah saja. Hasilnya terjadi ketidakseimbangan dalam proses konsultasi publik tersebut,” sambung Riant.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Tolak Revisi PP 109/2012, Petani Tembakau Surati Jokowi
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) menolak perubahan Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (PP 109/2012)
Ketua Umum DPN APTI Agus Parmuji berpendapat revisi PP 109/2012 ini merupakan penjajahan kearifan lokal yang tidak memandang pelestarian budaya pertanian, budaya ekonomi pedesaan dan kelestarian keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.
Enam+01:00VIDEO: Penting! Kenali Tindak Kejahatan Pencucian Uang APTI pun telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal penolakan revisi PP 109/2012.
"Kami pengurus DPN APTI berkirim surat resmi kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan revisi PP 109/2012. Semoga bapak Presiden mengabulkan permohonan kami, mengingat petani tembakau masih sebagai 'soko gurune negoro'," tegas Agus, Selasa (2/8/2022).
Penolakan perubahan PP 109/2012 juga dari kalangan pekerja pabrik rokok. Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menilai, PP 109/2012 yang berlaku saat ini sejatinya telah memberatkan bagi industri sehingga para pekerja juga ikut terimbas.
Pasalnya, ketentuan-ketentuan yang ada telah melampaui kerangka pengendalian tembakau global alias Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).
Menurutnya, dengan sifat yang eksesif dan menjadi payung terhadap pengendalian tembakau, PP 109/2012 berpotensi memicu sejumlah regulasi di tingkat daerah yang makin eksesif lagi sehingga mengancam eksistensi Industri Hasil Tembakau (IHT).
“FSP-RTMM ini bukan hanya melindungi para pekerja, melainkan dari aspek hubungan industrial mendorong keberlangsungan industri karena ini akan sangat terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan kesejahteraan pekerjanya,” tegasnya.
Bukan Hal yang Genting
Sementara, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi berpandangan upaya untuk merevisi PP 109/2012 bukanlah sesuatu yang genting, apalagi mengingat selama ini IHT telah patuh dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang termaktub dalam PP 109/2012.
Benny bilang, ketika industri berusaha bangkit dan memulihkan diri karena pandemi, justru gerakan, kampanye, dan regulasi terhadap IHT semakin eksesif. IHT selama ini disudutkan, dimusuhi, seolah tidak ada yang positif dari industri ini.
"Jelas sudah ada bias terhadap ekosistem pertembakauan dan sangat memberatkan. Ini yang sedang kami perjuangkan,” terang Benny.
Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menolak perubahan PP 109/2012 yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian tertentu.
“GAPPRI dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” tegas Henry Najoan.
GAPPRI menyoroti isi draf perubahan PP 109/2012 cenderung pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha IHT di tanah air.
“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” terang Henry Najoan.
Advertisement