Liputan6.com, Banyumas - Masjid Saka Tunggal, berdiri dari Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Keunikan masjid ini adalah saka gurunya yang hanya satu buah.
Keunikan lain yang mungkin tak ditemui di tempat lain adalah keberadaan monyet yang tinggal di sekitar masjid. Bahkan, ada kalangan yang percaya bahwa primata tersebut adalah monyet keramat.
Monyet yang tinggal di dekat masjid tak saja membuat masjid ini jadi tempat wisata. Balutan forklore bercampur mitologi berkembang karena keberadaan masjid ini.
Baca Juga
Advertisement
Dipercaya, ratusan monyet yang terbagi menjadi lima kelompok tinggal di sekitar masjid yang didirikan di pinggiran hutan. Mereka hidup berdampingan dengan masyarakat, meski terkadang merepotkan warga sekitar.
Ternyata, ada legenda di balik keberadaan ratusan monyet penunggu masjid ini. Cerita ini dituturkan secara lisan, turun-temurun di antara masyarakat Cikakak yang merupakan keluarga besar, bersaudara satu sama lain.
Alkisah, pada masa penyebaran agama Islam masa lalu, Kiai Mustholih mendirikan masjid dan mendirikan padepokan mengaji. Puluhan santri pun berdatangan dari berbagai daerah.
Suatu hari, tiba hari Jumat. Santri lelaki pun berkewajiban menunaikan salat Jumat. Namun, ada beberapa santri yang melanggar. Mereka justru asyik mencari ikan di sekitar masjid.
Ikan membutakan mata dan bikin tuli para santri sehingga mereka melupakan kewajibannya. Celakanya, mereka pun ribut sehingga mengganggu orang-orang yang tengah menjalankan salat Jumat.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pesan di Balik Legenda Monyet Keramat
Kiai Mustholih pun marah. Seusai salat Jumat, ia menghardik para santri yang telah kelewat batas. Saat itu, ia sempat mengatakan kelakuan santrinya tak beda dengan monyet yang nakal dan susah diatur.
Sebagaimana legenda kiai zaman kuno yang memiliki daya linuwih atau keramat, ujaran itu menjadi kenyataan. Santri-santri nakal itu berubah menjadi monyet.
Soal benar tidaknya legenda ini, ada pesan mulia di balik legenda santri yang dikutuk menjadi monyet. Bahwa, yang membedakan manusia dengan hewan adalah perilakunya. Jika manusia tak memiliki kemanusiaan, akal dan hati, maka ia tak beda dengan monyet.
Perilaku ratusan monyet yang nakal, iseng, dan susah diatur pun kerap dirasakan peziarah atau wisatawan yang berkunjung ke kompleks Masjid Saka Tunggal. Seringkali, barang-barang mereka dijambret.
Penduduk setempat pun kerap dibuat repot oleh ulah monyet yang menyerbu perumahan. Memorakporandakan genteng, mencuri makanan, dan menyerbu kebun penduduk. Biasanya, serbuan kawanan monyet menjadi-jadi pada musim kemarau.
Monyet adalah analogi keserakahan hewan yang tak terkekang. Manusia, mestinya bisa mengekang hawa nafsu, dengan akal sehat dan hati nuraninya. Otak dan hati mesti seimbang agar manusia tak kehilangan kemanusiaannya.
"Monyet-monyet cerminan perilaku yang harus kita kekang," kata Kiai Sulam, Imam Masjid Saka Tunggal.
Advertisement
Kalender Aboge
Sulam menyebut ada lima kelompok monyet yang hidup di hutan sekitar Masjid Saka Tunggal. Lima kelompok itu cenderung tetap, dengan populasi sekitar 200 ekor.
Meski nakal, keberadaan monyet-monyet ini sudah dimaklumi oleh warga sekitar. Mereka tak segan memberi makanan sisa.
Mereka pun tak pernah bertindak buruk kepada monyet. Monyet telah menjadi bagian hidup sehari-hari warga Cikakak.
Wilayah Banyumas raya, Jawa Tengah berada di antara dua kebudayaan besar, Mataram, dan Pasundan. Sebab itu perikehidupan masyarakatnya pun dependen pada dua kebudayaan besar tanah Jawa ini.
Masjid Saka Tunggal, saat ini statusnya baru terdaftar sebagai cagar budaya. Masjid yang diyakini sebagai yang tertua di Banyumas ini dibangun pada 1522-an Masehi oleh Kiai Musholih, tokoh penyebar agama Islam di Banyumas masa awal.
Tanda-tanda betapa tuanya Masjid Saka Tunggal bisa dilihat dari budaya yang tercipta di lingkungannya dan bisa disaksikan hingga saat ini.
Masyarakat Cikakak, terutama di sekitar Masjid menggunakan penanggalan Alif Rebo Wage (Aboge) yang memadukan kelander Masehi dan Hijriyah yang melandaskan penanggalan pada matahari (Syamsiyah) dan rembulan (Qomariyah).
Secara syariah, ritual ibadah yang dilakukan masyarakatnya tak berbeda dengan umat Muslim pada umumnya. Hanya saja, penanggalannya berbeda lantaran memakai kalender delapan tahunan (sewindu).
Tim Rembulan