Liputan6.com, Jakarta - Konflik yang kian tegang antara Taiwan dan China semenjak kedatangan Ketua DPR AS Nancy Pelosi memicu pertanyaan, "Akankah berakhir seperti Rusia dan Ukraina?"
Teuku Rezasyah, selaku ahli hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran menyatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Advertisement
"Konflik China-Taiwan tak akan berkembang menjadi konflik seperti Rusia-Ukraina," tegasnya ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat (5/8/2022).
Hal tersebut ia sampaikan dengan alasan bahwa masyarakat Taiwan dan pemerintahnya memiliki militansi yang sangat tinggi untuk mempertahankan sistem politik dan sistem demokrasi yang lama mereka, dan sudah terbukti menjadikan Taiwan sebagai negara unggulan saat ini.
Menurutnya China memahami bahwa konflik bersenjata antara keduanya akan menjerumuskan Amerika Serikat dan para sekutunya dalam ANZUS, Quad, dan AUKUS, termasuk pelibatan persenjataan dengan teknologi terkini. Dengan demikian, ada resiko penggunaan senjata Nuklir dalam skala kecil.
"Karena itu, China tetap mengamuk seraya menahan diri, dan menjawabnya dengan terus menyelenggarskan latihan militer diperbatasan lautnya dengan Taiwan," tambahnya lagi.
Sementara China melakukan latihan besar-besaran dan mengirimkan serangan drone ke selat Taiwan, China diperkirakan akan memperluas latihan militernya hingga perairan Laut China Selatan, dan sekali-sekali mendekati wilayah yang dipersengketakan dengan beberapa negara dalam ASEAN dan juga Taiwan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dampak Global
Teuku Rezasyah menyampaikan beberapa dampak yang berpotensi akan terjadi akibat ketegangan antara China dan Taiwan.
"Dampak global yang telah terjadi antara lain adalah kekuatiran atas konflik China-Taiwan itu sendiri, sehingga memudahkan beberapa negara ASEAN menyelenggarakan latihan militer dalam skala besar, dengan Amerika Serikat," paparnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa ampak global lainnya adalah kesulitan Amerika Serikat dan para sekutu globalnya mengelola dua konflik besar sekaligus, yakni yang melibatkan Rusia di Eropa, serta China di Asia Timur.
Dampak lainnya lagi adalah akan terjadi pacu senjata dalam skala besar di Indo-Pasifik, melalui percepatan pembelian alutsista, yang proses pembelian dan penbayarannya dipercepat oleh negara-negara penjualnya.
Sementara itu, potensi lainnya adalah diplomasi AS dan China untuk diam-diam berkonsultasi dengan negara-negara di dunia, untuk mendalami posisi mereka, seandainya konflik sekecil apapun yang melibatkan Taiwan ini terjadi.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Alasan Nancy Pelosi Kunjungi Taiwan
Pelosi telah membuat misi selama beberapa dekade untuk menunjukkan dukungan bagi gerakan demokrasi yang diperangi. Itu termasuk perjalanan pada tahun 1991 ke Lapangan Tiananmen, di mana dia dan anggota parlemen lainnya membentangkan spanduk kecil yang mendukung demokrasi, ketika petugas keamanan China yang cemberut mencoba untuk menutupnya. Pasukan China telah menghancurkan gerakan demokrasi dalam negeri di tempat yang sama dua tahun sebelumnya.
Pelosi menggambarkan perjalanannya ke Taiwan sebagai bagian dari misi yang lebih luas pada saat "dunia menghadapi pilihan antara otokrasi dan demokrasi".
Dia memimpin delegasi kongres ke ibu kota Ukraina Kiev pada musim semi, dan upaya terakhirnya berfungsi sebagai batu penjuru untuk tahun-tahunnya mempromosikan demokrasi di luar negeri.
“Kita harus mendukung Taiwan,” katanya dalam sebuah opini yang diterbitkan oleh The Washington Post setibanya di Taiwan.
Dia mengutip komitmen yang dibuat AS untuk Taiwan yang demokratis di bawah undang-undang 1979.
“Sangat penting bahwa Amerika dan sekutu kami menjelaskan bahwa kami tidak pernah menyerah pada otokrat,” tulisnya.
Hubungan AS-Taiwan
Pemerintahan Biden, dan Pelosi, mengatakan Amerika Serikat tetap berkomitmen pada “kebijakan satu-China”.
Taiwan dan China daratan berpisah selama perang saudara pada tahun 1949. Namun China mengklaim pulau itu sebagai wilayahnya sendiri dan tidak mengesampingkan penggunaan kekuatan militer untuk merebutnya.
China telah meningkatkan tekanan diplomatik dan militer dalam beberapa tahun terakhir. Ini memutuskan semua kontak dengan pemerintah Taiwan pada tahun 2016 setelah Presiden Tsai Ing-wen menolak untuk mendukung klaimnya bahwa pulau dan daratan bersama-sama membentuk satu negara China, dengan Komunis Beijing sebagai satu-satunya pemerintah yang sah.
Beijing melihat kontak resmi Amerika dengan Taiwan sebagai dorongan untuk membuat kemerdekaan de facto pulau yang telah berusia puluhan tahun itu permanen, sebuah langkah yang menurut para pemimpin AS tidak mereka dukung.
Baca Juga
Aktor Taiwan Derek Chang Kenang Momen Mendonorkan Hati untuk Ayahnya saat Masih Usia 21, Jadi Titik Balik Keakraban Mereka
Taiwan Klaim Deteksi Keberadaan Balon China, Pertama Kalinya Sejak April
TETO Rayakan 48 Tahun Kehadiran Taiwan Technical Mission di Indonesia, Dorong Kolaborasi Bidang Pertanian
Advertisement