Liputan6.com, Jakarta Badan Pengendalian Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengingatkan kepada pemerintah akan kuota BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar.
Menurut perkiraannya, dengan rasio penyaluran Pertalite dan Solar yang sudah melebihi 50 persen, kuota BBM subsidi akan habis pada bulan Oktober atau November 2022.
Advertisement
"Seperti yang kita sampaikan di berbagai tempat, Oktober atau November bisa sudah tidak ada lagi Pertalite dan Solar. Kecuali ada kebijakan untuk menambah kuota (BBM subsidi)," kata Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman dalam acara Polemik MNC Trijaya bertajuk Untung Rugi Subsidi BBM, Jakarta, Sabtu (6/8/2022).
Saleh mencatat, volume penyaluran BBM subsidi jenis Solar mencapai 8,3 juta kilo liter (KL) hingga Juni 2022. Sementara kuota solar subsidi dipatok sebesar 14,9 juta KL.
Adapun, realisasi penyaluran pertalite sudah menembus 14,2 juta KL. Padahal, kuota yang ditetapkan pemerintah sebanyak 23 juta KL.
Oleh karena itu, pihaknya berharap kebijakan pembatasan pembelian BBM bersubsidi yang tengah disusun bisa segera diselesaikan. Sehingga, BPH Migas dapat bekerja lebih maksimal dalam mengatur distribusi BBM subsidi tersebut.
"Jadi, memang kami berharap supaya aturan (pembatasan) Pertalite bisa kami dapatkan (segera). Sehingga, bisa action untuk mengatur konsumsi," tutupnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Jangan Cabut Subsidi BBM Pak Jokowi, UMKM Bisa Melintir
Para pengusaha berharap Pemerintah terus melanjutkan insentif-insentif hingga tahun depan. Termasuk tidak mencabut subsidi BBM, sebab daya beli masyarakat masih tertekan.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita, dalam MYEO Day 2: Prospek Pemulihan Ekonomi Indonesia di Tengah Perubahan Geopolitik Pascapandemi, Rabu (3/8/2022).
Dia menjelaskan, meskipun perekonomian Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Namun masih muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang dihadapi oleh masyarakat termasuk pengusaha.
“Sekalipun kita tuh punya optimis yang luar biasa tentu kita sementara ini pengusaha mempunyai suatu hati-hati. Kenapa kehati-hatian yakini masih ada resiko eksternal yang tidak terkendali misalkan perang dan wabah penyakit yang up and down, meskipun kita sudah menganggap apndemi menjadi endemic,” kata Suryadi.
Sebagian negara masih ketat dalam menangani pandemi covid-19. Begitupun dengan geopolitik perang Rusia dan Ukraina yang tidak bisa diprediksi kapan selesainya. Bahkan, ada informasi terbaru bahwa Taiwan dan China sedang mengalami gesekan.
“Kekhawatiran ini pun bukannya gak ada, tapi ada,” imbuhnya.
Sebab hal itu berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sensitif yang berpengaruh ke tingkat konsumsi masyarakat, seperti subsidi BBM akan dicabut, Bantuan sosial, upah ketenagakerjaan, dan sebagainya.
“Ini juga merupakan suatu kekhawatiran-kekhawatiran, kalau tidak disubsidi yang efeknya kena terhadap UMKM. Tapi kalau disubsidi bagaimana kita punya fiskal kita apakah kita cukup?,” ujarnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Insentif
Mengenai kepastian berusaha Kadin menginginkan pemerintah memberikan banyak insentif-insentif terus diadakan hingga tahun depan, terutama untuk untuk masyarakat seperti sektor properti pihaknya masih menginginkan untuk adanya insentif.
Lalu, Kadin juga meminta agar Pemerintah tidak mencabut kebijakan subsidi BBM, karena daya beli masyarakat masih lemah. Selain itu, perbankan jangan dulu menaikkan suku bunga, lebih baik dipertahankan dulu.
“Seperti BBM juga, ya jangan dihilangkan dia punya subsidinya karena rakyat kecil ini masih daya beli masih tertekan. Perbankan juga kalau bisa jangan dinaikkan dulu suku bunga supaya bisa kita pertahankan supaya bisa inflasi ini diatur sedemikian rupa,” jelasnya.
Kendati begitu, Inflasi Indonesia masih dibawah pertumbuhan ekonomi. Negara lain inflasinya melebihi 3 kali lipat pertumbuhan ekonominya. Oleh karena itu, Kadin sangat mengapresiasi Pemerintah terutama Bank Indonesia yang masih bisa mengontrol suku bunga hingga sekarang.
“Indonesia menurut saya inflasi kita dibawa pertumbuhan ekonomi. Kalau di negara lain punya mereka pertumbuhan ekonominya itu hanya 3 persen lebih tapi inflasi 9 persen lebih, jadi tiga kali di atas pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.