Subsidi BBM Bengkak, Ulah Mafia Migas?

Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menegaskan tak ada praktik mafia migas di tubuh Pertamina dan lingkungan Kementerian BUMN.

oleh Arief Rahman H diperbarui 06 Agu 2022, 15:00 WIB
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menanggapi subsidi BBM yang bengkak (dok: Arief)

Liputan6.com, Jakarta Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menegaskan tak ada praktik mafia migas di tubuh Pertamina dan lingkungan Kementerian BUMN. Hal ini menyangkut besarnya subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM).

Arya menyampaikan, hal itu bisa ditepis karena ada peran dari Satgas Anti Mafia Migas yang telah dibentuk. Kemudian, perbedaan harga antara dalam dan luar negeri tidak memilikiselisih yang terlalu mencolok.

"Saya rasa kan kemarin sudah terbentuk (Satgas) itu, perubahan sudah terjadi," kata dia dalam diskusi bertajuk 'Untung-Rugi Subsidi BBM', Sabtu (6/8/2022).

"Kita paling gampang bandingin aja gini, harga yang Pertamina punya (produk BBM) dengan yang di luar negeri yang memang normal, yang sama-sama impor ya, kalau memang beda jauh harganya, kita bisa bilang bahwa mafia migasnya masih ada," bebernya.

Sementara, menurutnya, perbedaan harga yang terjadi malah tidak terlalu jauh. Dengan catatan perbandigan dilakukan dengan negara yang kondisinya menyerupai atau sama dengan Indonesia, utamanya soal pengimpor minyak mentah.

"Tapi kalau mirip-mirip juga kan sama, misal RONnya Pertamax sama, atau (kadar RON) 98 misalnya, coba bandingkan sama di luar negeri, sama gak harganya? kalau beda baru kita bilang mafianya ada," papar dia.

"Kalau gak beda, gak jauh bedanya, sama-sama aja, berarti mafianya gak ada, sederhananya," tambah Arya.

Untuk diketahui, pemerintah menggelontorkan subsidi sebesar Rp 502 triliun untuk sektor energi. Dengan alokasi terbesar untuk BBM yang dikelola oleh Pertamina.

Beberapa pihak menduga ada permaina mafia migas yang juga berdampak buruk pada Pertamina. Sementara, menyoal potensi korupsi, Arya mengaku terus mengawasi setiap sisi.

"Soal adanya korupsi atau enggak, kan ini masih proses ya, makanya kita pantau semua," tegasnya.

 


Potensi Korupsi

Petugas mengisi BBM pada sebuah mobil di SPBU, Jakarta, Sabtu (5/1/2019). PT Pertamina (Persero) menurunkan harga BBM non subsidi yakni, Pertalite Rp 150 per liter, Pertamax Rp 200 per liter dan Pertamax Turbo Rp 250 per liter. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, menguatkan pernyataannya itu, Arya mengatakan Pertamina masih bisa menyebar deviden dengan jumlah yang tinggi. Selain itu, Pertamina juga menyetor triliunan pajak ke negara.

Padahal, secara tidak langsung Pertamina mengucurkan subsidi ke BBM jenis Pertamax. Di sisi lain, atas kenaikan harga minyak dunia, Pertamina masih menahan harga sejumlah bahan bakar di dalam negeri.

"kedua, tadi ditanya deviden ya, kondisi Pertamina dimana dia mensubsidi Pertamax dia masih bisa kasih deviden ke negara Rp 4 triliun tahun lalu, dan kemudian pajak dan PBB," kata dia.

"Dalam kondisi itu masih juga dia support untuk negara," tukas Arya.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Masih Ada Mafia

Papan petunjuk BBM yang berada di SPBU, Jakarta, Kamis (5/1). Penetapan harga BBM Umum jenis Pertamax, Pertamax Plus, Pertamax Turbo, Pertamina Dex, Dexlite dan Pertalite merupakan kebijakan korporasi Pertamina. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menduga mafia migas masih bermain hingga saat ini. Ia menyoroti soal kelembagaan minyak dan gas bumi di tanah air.

"Saya rasa kalau kami menengarai ya mafia migas ini ada ya, kita kan juga melihat perkembangannya bagaimana soal kelembagaan migas ini ya," ungkapnya.

Salah satu yang menjadi perhatiannya menyoal rencana pembangunan kilang minyak yang tak selesai dari tahun ke tahun. Ia menduga, ada permainan mafia yang sengaja untuk menahan proyek ini.

"artinya adalah baik di kilang sampai hari ini kilang kita belum jadi-jadi, sejak pak harto gak ada penambahan kilang minyak, akhirnya prosesinya di luar (negeri) kan. Kita bayar ongkos besar untuk kilang, artinya apa, ada cost yang hilang untuk mengolah itu," paparnya.

"Jadi efisiensi harus dilakukan yang berkeadilan, agar masyarakat diuntungkan," tambah Mulyanto.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya